Telaah - Frasa-frasa janggal

id frasa-frasa, mulyo sunyoto

Telaah - Frasa-frasa janggal

Wartawan senior LKBN ANTARA Mulyo Sunyoto menyampaikan materi bahasa Indonesia pada acara bimbingan tekniks (Bimtek) kepada pewarta ANTARA se-Sumbagsel di Palembang, Juni 2012. (Foto Antarasumsel.com/Feny Selly)

....Ternyata, usaha meluruskan yang janggal bisa melahirkan kejanggalan yang lebih parah. Jadi, biarlah frasa-frasa janggal itu tetap tampil dengan keunikannya....
Jakarta  (ANTARA Sumsel) -  Dalam pengalaman berbahasa sehari-hari, hampir semua orang sering tidak menyadari bahwa suatu kata atau frasa (gabungan dua atau lebih kata yang tidak memiliki kaitan predikat) yang mereka ucapkan berkali-kali mengandung makna yang janggal, unik alias tidak lazim jika dipahami maknanya secara logis.

Kejanggalan itu bisa karena aspek semantik atau maknawinya, maupun aspek sintaksis atau gramatikanya. Tampaknya hal ini merupakan gejala universal dalam dunia kebahasaan, begitu juga yang terjadi untuk bahasa Indonesia.

Mari menelusuri frasa-frasa janggal dalam khazanah bahasa Indonesia. Mulai dari masa duduk di bangku sekolah dasar hingga masa dewasa, warga Indonesia pastilah akrab dengan frasa ini: "mengheningkan cipta". Frasa ini dipakai sebagai ungkapan untuk suatu momentum dalam upacara bendera di sekolah-sekolah, yang di era 70 sampai 80 an dilaksanakan setiap hari Senin. Perkembangan berikutnya setiap bulan setiap tanggal 17. Puncaknya terjadi pada bulan Agustus, yang bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI.

Apa makna frasa "mengheningkan cipta"? Rata-rata pengucap dan pendengar frasa ini tak mempersoalkan lagi maknanya. Ya, pokoknya semacam berdoalah. Kalau pembina atau komandan upacara mengatakan: "Mari kita mengheningkan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan", peserta upacara segera tahu maksudnya. Mereka merundukkan kepala dalam beberapa menit, mendengar lagu instrumentalia "Hymne Pahlawan" sambil mengucapkan doa-doa sesuai dengan agama masing-masing. Dengan demikian, "mengheningkan cipta" semakna dengan "berdoa". Arti ini tak jauh berbeda dengan makna yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yakni "bertafakur", "diam merenung arwah", "bersamadi".

Namun, jika dikupas maknanya kata per kata, frasa itu terasa sekali kejanggalannya. Coba simak: "mengheningkan" bermakna "berdiam", "mengenangkan" sedangkan "cipta" bermakna "kemampuan pikiran mengadakan sesuatu yang baru" atau "angan-angan yang kreatif". Jadi, dalam kedua pengertian itu, "mengheningkan cipta" bermakna "berdiam atau mengenangkan kemampuan pikiran mengadakan sesuatu yang baru". Tentu tidak masuk akal bahwa "kemampuan berpikir bisa atau perlu  dikenang". Jadi secara harfiah, frasa-frasa janggal tidak bisa dipahami. Pemaknaan frasa-frasa seperti itu harus dilakukan secara metaforik.

Karakter frasa janggal sewarna dengan idiom atau ungkapan, yang harus dimengerti secara keseluruhan tanpa dipecah-pecah makna berdasarkan satuan kata. Terhadap frasa "mengheningkan cipta" yang ganjil itu, seseorang bisa melakukan interpretasi. Ya, ini semacam menafsir baris-baris puisi. Ada risiko spekulatif. Berikut ini adalah salah satu tafsir atas "mengheningkan cipta". Boleh jadi, sang pengubah  frasa itu memaksudkan kata "cipta" sebagai "ciptaan Tuhan". Dengan demikian ajakan "mengheningkan cipta" adalah ajakan "merenungkan semesta ciptaan Ilahi".

Ketika seseorang dalam suasana batin "merenungkan ciptaan Ilahi", yang muncul tak lain adalah rasa syukur, rasa haru. Munculnya perasaan yang mendekati dimensi religius itu secara otomatis mendorong seseorang untuk berdialog dengan Sang Ilahi. Dialog paling lazim adalah mengucapkan doa-doa atau puji syukur. Karena konteks upacara bendera adalah lahirnya fakta negara bangsa, yang diperjuangkan dengan berdarah-darah oleh para pejuang kemerdekaan, logislah jika ¿mengheningkan cipta¿ itu diorientasikan bagi usaha mengenang kembali jasa dan pengorbanan para perintis dan pejuang kemerdekaan.

Di kalangan pengguna bahasa substandar, frasa janggal juga bertebaran. Salah satunya, yang cukup mutakhir adalah frasa yang terbentuk atas nomina dan ajektiva "banget". Anda bisa menyusun frasa janggal dengan konstruksi demikian seperti: "Indonesia banget", "Pancasila banget", "LSM banget" dan seterusnya. Frasa semacam itu dimaksudkan menciptakan suatu kata sifat dengan merujuk karakter atau watak paling kental dari nomina yang dipakai.

Ada juga yang mempersoalkan frasa-frasa berikut ini: "menanak nasi", "menggali lubang". Kata orang yang usil: "mestinya menanak beras, menggali tanah. Masak nasi ditanak. Masak lubang digali". Jika frasa demikian dianggap ganjil, frasa "memasak rawon" pastilah janggal juga sebab "bukan rawon yang dimasak tapi daging beserta bumbu-bumbunya. Frasa "menjahit baju" juga jadi janggal sebab "yang dijahit adalah potongan-potongan kain untuk dijadikan baju".

Semua kejanggalan frasa di alinea atas itu bisa dinormalkan dengan mengganti verba spesifik tersebut dengan verba yang umum "membuat". Jadi membuat nasi, membuat lobang, membuat rawon, membuat baju. Jika ini dilakukan, ungkapan jadi kehilangan tenaga khususnya, ketajamannya. Memang ada paradok dalam pembentukan frasa-frasa janggal itu. Ketika verba yang khusus dipilih, munculnya pemaknaan yang terasa menyimpang dari yang dituju.

Frasa "menanak nasi" bisa juga dipahami begini: frasa itu sebetulnya bentuk ringkas, alias frasa eliptik dari serangkaian ungkapan "menanak beras untuk membuat nasi". Begitu juga dengan "menggali lubang" adalah bentuk ringkas dari "menggali tanah untuk membuat lubang". Dengan landasan  "the least effort principle", alias prinsip ikhtiar terminim, ungkapan lima kata itu diringkus menjadi dua kata saja.

Bagi sejumlah pengguna bahasa yang berhasrat meluruskan segaja sesuatu yang terasa janggal, pilihan untuk membetulkan yang salah kaprah terasa dominan. Mereka bersikeras untuk mengatakan "menanak beras" dan "menggali tanah". Pilihan sikap seperti ini tentu tak kalah janggalnya. Sebab, mereka juga akan mengubah khazanah peribahasa yang menjadi harta kultural bangsa. Mereka akan meralat sejumlah ungkapan atau pepatah jadi "beras sudah menjadi bubur" dan "membuat lubang, menimbun lubang" alih-alih "nasi sudah menjadi bubur" dan "gali lubang, tutup lubang".

Ternyata, usaha meluruskan yang janggal bisa melahirkan kejanggalan yang lebih parah. Jadi, biarlah frasa-frasa janggal itu tetap tampil dengan keunikannya, karena itulah yang memperkaya warna dan watak sebuah bahasa! (M020/Z002)