Berburu makanan arab di jalur Mekkah-Madinah

id berburu makanan, makanan di jalur mekkah-madinah

....Jangan banyak-banyak makan kambing, nanti repot nggak ada 'lawan'....
Jakarta  (ANTARA Sumsel) - Orang Inggris bilang "You are what you eat". Apa yang dimakan dan bagaimana cara memakannya akan menentukan siapa anda. Pepatah itu banyak benarnya.

Orang Arab, misalnya, akan ketahuan ke-Arab-annya dari tradisi kulinernya. Bagi orang Arab yang hidup di jazirah Arab, makan adalah konsep dari sebuah keramahtamahan. Di Arab Saudi, sebagai contoh, makanan adalah urusan keluarga, bahkan urusan keluarga besar. Makanan biasanya dihidangkan dalam tampah besar yang diisi aneka ragam menu dan disantap ramai-ramai.

Sebagai anggota rombongan Amirul Haj, tahun lalu saya diundang jamuan makan oleh Muassasah untuk menikmati nasi mandi. Itu istilah yang betul-betul harfiah, karena tumpukan nasi dalam tampah besar dicampur atau "dimandiin "dengan daging ayam, domba, unta. Lalu ditaburi dengan macam-macam rempah, sayur-sayuran, saus sambal dan saus tomat.

Bersama dengan sekitar tujuh orang tamu, di meja saya dihidangkan satu tampah berisi satu domba yang sudah dipotong-potong lengkap dengan kepalanya. Sementara di meja utama, saya melihat sekitar 10 orang tamu dengan tampah berisi satu ekor unta guling.

"Betul-betul mandi unta," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bahrul Hayat menceritakan jamuan makan dari Muassasah bagi rombongan Amirul Haj Indonesia.

"Mata domba muda maknyus rasanya," kata staf ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto sambil asyik mengorek-korek kepala kambing dengan garpu.

Itu cerita tahun lalu. Tahun ini, tepatnya pekan lalu, saya kembali ke Arab Saudi bersama Bahrul Hayat atas undangan Liga Muslim Dunia atau Rabithah Alam Islamy. Kali ini, kata Bahrul, "kita berburu makan sendiri".

Maka dimulailah perburuan makanan Arab di negerinya sendiri.

"Saya tahu dimana makan yang enak," kata Bahrul.

"Tidak perlu di restoran mahal, tapi di kaki lima juga banyak yang enak," katanya lagi.

Sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Bahrul jelas hampir setiap tahun berangkat haji dan berkunjung ke Arab Saudi. Dia paham betul apa dan bagaimananya kuliner Arab Saudi, termasuk tempat-tempat makan enak di jalur Jeddah-Mekkah-Madinah. Sebagai pejabat dan birokrat, Bahrul cenderung tidak protokoler. Ia bisa makan dimana saja dan sama siapa saja, termasuk di kaki lima.

"Saya sudah bosan dengan makanan di hotel atau restoran mewah. Saya carinya makanan yang enak, bukan yang mewah," katanya merendah.

                                       Roti Arab
Maka petualangan berburu kuliner Arab bersama petinggi Kementerian Agama itu dimulai seusai tawaf di Masjidil Haram. Kami mencari sarapan otentik Arab di kaki lima di belakang Masjidil Haram.

"Kita sarapan roti khas Arab ya," katanya mengajak mojok di kedai Arab.

Roti khas Arab itu namanya Khubz. Roti ini dibuat dari gandum dan berbentuk bundar. Biasanya khubz dipotong membentuk segitiga terlebih dahulu sebelum disajikan. Masyarakat Arab  menggunakan Khubz sebagai teman memakan Fuul (bubur kacang) atau bubur pisang.

Yang membuat roti gandum bundar itu enak adalah disajikan selagi panas. Begitu juga kari ayam, kari kambing, atau kari ikan tuna yang berfungsi sebagai kuahnya. Semuanya masih panas karena baru dikeluarkan dari tungkunya. Bagi yang senang pedas, disajikan cabe hijau mentah yang kalau digigit menimbulkan bunyi "krenyes...krenyes".

Untuk minumannya tersedia susu, yoghurt, teh dan kopi. Tapi yang paling disukai adalah jus kurma segar yang diblender dari biji kurma mentah. Ada juga jus buah delima dan strawberry.

"Saya harus bilang wow sambil koprol tiga kali," kata Ihwanul Kiram, mantan Pemimpin Redaksi Republika, memuji lezatnya sarapan khas Arab itu.

Sejumlah orang Arab yang juga lagi sarapan menengok ke meja kami. Saya mengacungkan jempol kepada mereka sambil bilang: "Roti Arab, lezaaattttt....!".

Untuk makan malam di Mekkah, kami memilih nasi kabsa yang terbuat dari beras basmati dicampur cabe, daging, dan sayur-sayuran. Nasi kabsa dihidangkan dalam satu nampan besar untuk dimakan empat sampai tujuh orang. Lalu untuk lauknya disediakan macam-macam kebab di piring yang terpisah. Kami bisa memilih sesuai selera kebab daging ayam, daging sapi, daging kambing, daging unta. Ada juga tersedia ikan bakar dan udang goreng.

Untuk makanan pembuka, dihidangkan shawarma atau sandwich khas daerah Timur Tengah. Shawarma, yang di Indonesia lebih terkenal sebagai kebab Turki, terdiri atas irisan daging tipis-tipis, potongan tomat dan mentimun, lalu dibungkus dengan roti.

Di restoran tempat kami makan, daging yang dipakai untuk membuat shawarma diambil dari lempengan yang ditumpuk sehingga berbentuk seperti gelendong silinder. Di bawahnya ada tungku api untuk memanaskan. Lalu dipotong dalam irisan kecil-kecil oleh pisau panjang yang tajam.

"Jangan banyak-banyak makan kambing, nanti repot nggak ada 'lawan'," kata Adam, petugas dari Misi Haji Indonesia, meledek kami yang saat itu tidak membawa isteri.

Maka pembicaraan sambil makan lebih menarik dan menantang karena topik diskusi berubah ke mengapa orang Arab dikesankan kuat dan panas, termasuk dalam kaitannya dengan kemampuan seksual.

"Pantas saja kuat dan besar, makanannya kambing melulu," celoteh Hasbu Marzuki, staf dari Kementerian Agama.

Lalu Bahrul Hayat, seorang doktor ahli psikologi lulusan Universitas Chicago, Amerika Serikat, menjelaskan kaitan antara makanan dan karakter kelompok-kelompok etnis manusia. Ia menjelaskan bahwa karakter manusia terutama dipengaruhi oleh faktor genetikanya, baru kemudian oleh asupan makanan dan minumannya.

Menurut Bahrul, orang Arab suka makan daging karena struktur geografinya memang mendukungnya. Di jazirah Arab yang dipenuhi gunung-gunung batu dan gurun pasir, hewan yang hidup hanyalah kambing gunung dan unta gurun. Karena air terbatas, maka ikan-ikanan sulit hidup di jazirah Arab.

"Jadi jangan heran kalau orang Arab lebih banyak makan daging," katanya.

                           Seafood Arab juga ada
Meskipun demikian, kata Bahrul, bukan berarti orang Arab tidak suka makan ikan. Bahrul membuktikan jika di Arab Saudi restoran seafood juga ada. Makanya dalam perjalanan dari Mekkah ke Medinah sepanjang 400 km, kami mampir di sebuah restoran makanan laut.

Kira-kira 150 km sebelum kota Madinah, di kawasan yang disebut Sasco, kami berhenti untuk makan siang.

"Yang istimewa di restoran Arab Sasco ini adalah ikan gorengnya. Buktikan sendiri," kata Bahrul begitu kita buka pintu mobil Toyota Explorer SUV 4700 cc yang kami tumpangi dari Mekkah menuju Madinah.

Setiap kali melewati jalur Mekkah-Madinah, Bahrul mengaku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk makan enak di restoran Sasco. Kali ini, dia mengajak kami untuk membuktikan kelezatan ikan goreng Arab di tengah gurun pasir itu.

Ikan sejenis kakap atau kerapu itu digoreng kering begitu saja. Tidak dikasih bumbu lagi. Hanya disajikan dengan sup kaldu kambing, sayuran, dan cabe hijau mentah. Bahkan, kecap dan sausnya pun tidak tersedia.

"Saya bawa kecap dan saus dari Jakarta. Persediaan untuk pak Sekjen setiap makan disini," kata Kahar, supir yang membawa kami berburu makanan Arab di jalur Mekkah-Madinah.

Ikan-ikan segar itu didatangkan dari Laut Merah dan baru digoreng ketika dipesan. Enaknya bukan main. Entah karena kami lapar setelah tiga jam perjalanan, atau karena memang masakannya yang enak. Yang jelas, saya menghabiskan tiga ekor ikan dengan dua piring nasi biryani.

 Khalas! Kenyang banged.  (ANT/A017/a011)