Memaknai protes para pakar tanah ke presiden

id pakar tanah, agraria, lahan

Memaknai protes para pakar tanah ke presiden

Ilustrasi.(FOTO ANTARA)

Jakarta (Antara Sumsel) - Sekitar  143 orang pengajar hukum agraria dari sebagian besar universitas di Indonesia mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Surat itu antara lain berisi  petisi, nasehat dan keprihatiannya soal kian tergerusnya hutan akibat adanya konversi lahan dan terus munculnya ijin untuk  tambang, dan industri lahan sawit yang mengakibatkan berbagai dampak seperti rusaknya hutan, naiknya karbon dan terpinggirnya sebagian masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya kepada hutan itu.

Para dosen itu dalam menyampaikan keprihatinannya tentu tidak berdemo ala mahasiswanya. Tetapi mereka berkumpul, berdiskusi dan menyampaikan data yang riil agar pemerintah dapat memperbaiki kondisi yang dinilai dapat membahayakan kelangsungan hutan atau menimbulkan konflik sosial lebih luas akibat tersingkirnya masyarakat sekitar hutan.

Surat petisi itu ditandatangani awal Februari 2013 di Jakarta, usai melakukan rembug nasional di Jakarta. Hal itu  merupakan puncak dari keprihatinan atas situasi dan kondisi permasalahan agraria. Konflik pengusaha dengan petani, penggusuran serta perluasan lahan pertanian sawit serta usaha pertambangan lainnya  membawa dampak yang cukup besar bagi hajat hidup orang banyak sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.

Konflik tanah karena berbagai kepentingan serta tidak terintegrasinya pemberi izin serta pemangku hajat dalam hal ini pemerintah daerah dan pusat saling silang pendapat dalam membuat kebijakan.

Kebijakan dan praktik penerbitan izin khususnya bagi usaha berskala yang ada selama ini tidak mengindahkan prinsip hukum serta tata kelola hutan yang baik, bahkan cenderung  koruptif.

Data dari Kementerian Kehutanan tahun 2012 menyebutkan,  peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) atau moratorium pemberian izin  baru untuk hutan primer dan lahan gambut terus berjalan.

Dalam enam bulan terakhir,  data itu menyebutkan, pada  20 Juni 2011 jumlah hutan yang mendapat moratorium sebesar 69.144.073 ha. hingga  19 November 2012, jumlah hutan yang perizinannya ditunda tinggal menjadi 64.796.237 atau selama periode itu berkurang sekitar 4,3 juta hektare. Pengurangan jumlah hutan itu tak lepas dari adanya keputusan Menteri Kehutanan Zulkifli Hassan yang terus membuka lahan yang semula tertutup menjadi terbuka.

Pemberian izin pengelolaan dan pemanfaatan hutan tutup khususnya sebagai salah satu bukti bahwa Kementerian Kehutanan tidak bias menguasai pemberian hak; serta menjaga kelestarian hutan tutup. Hal ini berakibat langsung kepada kelestarian lingkungan.

Hal ini berakibat juga terhadap daya dukung lingkungan, tidak mengakui hak-hak dan membatasi akses kelompok masyarakat rentan utamanya mereka yang tidak bertanah (tunakisma).

        Batasi penguasaan tanah
Diantara poin penting yang disampaikan ke Presiden, para pakar itu juga menyinggung perlunya pembatasan tanah untuk segelintir orang. Terdapat konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang/ badan hukum yang mengakibatkan lebarnya kesenjangan penguasaan dan pemilikan  tanah.

Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2010) mencatat, saat ini sekitar 56 persen tanah hanya dikuasai 0,2 persen orang. Sementara itu, di sisi lain, ada sekitar 7,3 juta hektare tanah dikuasai pihak perusahaan swasta dan dibiarkan telantar. Sementara itu, hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia,  petani gurem dan petani tak bertanah.

Rata-rata petani gurem ini hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 hektare. Ketimpangan dalam kepemilikan tanah ini telah melahirkan kesenjangan dan kemiskinan sosial di kalangan kaum tani. Tanah  sebagai  sumber kehidupan menjadi barang langka yang harus diperebutkan, sementara pihak lain merasa memiliki jutaan hektare tanah dibiarkan terlantar hingga bertahun-tahun.

Demikian pula terdapat sejumlah perjanjian investasi dan perdagangan bilateral dan multilateral yang berseberangan dengan semangat keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup. Carut marutnya kewenangan antarinstansi menjadi penyebab muncul berlarut-larutnya konflik agraria serta tidak diatasinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Penyelesaian konflik lebih mengedepankan penyelesaian legal formal dengan mengabaikan keadilan substantif. Akibatnya, konflik agraria justru semakin meningkat. Sebagai gambaran, BPN  menyatakan,  ada sekitar 8.000 konflik pertanahan  yang belum terselesaikan. Terdapat 660 konflik di perkebunan kelapa sawit (Sawit Watch) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut konflik  agraria di sektor perikanan sepanjang 2012 melibatkan sedikitnya 60 ribu nelayan.

Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sekitar 1.700 konflik agraria, mencakup kasus-kasus perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Khusus di tahun 2012, KPA mencatat 156 petani ditahan tanpa proses hukum yang benar, 55 orang terluka dan dianiaya, 25 petani tertembak dan 3 orang tewas akibat konflik agraria.

Konflik agraria semakin tidak terdeteksi secara dini karena belum optimalnya penanganan pengaduan konflik. Di samping itu, konflik bereskalasi karena tindak kekerasan yang diduga  dilakukan oleh aparat keamanan yang seharusnya berdiri di atas semua pihak, tetapi pada umumnya justru melindungi kepentingan pemodal dengan cara yang patut diduga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar untuk menguasai tanah/sumber daya alam yang diklaim oleh masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal lain.

Petrus Gunarso, Ph.D, dari LSM  Tropenbos International  menyatakan,  sedikitnya ada tiga hal penting yang perlu diperbaiki pemerintah dalam menata hutan, yakni perlu keterbukaan informasi, kerja sama, dan keinginan untuk maju membangun bangsa dan negara yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Kedua adanya pendekatan dan intervensi pembangunan masih bersifat sektoral dan kurang integratif. dan ketiga, pendekatan multisektor dan multidisiplin ditengarai akan menjadi trend di masa datang.

Guna mewujudkan hal itu,  Kementerian Kehutanan perlu mengembalikan jati dirinya sebagai penyedia kayu, menjaga lingkungan,  jasa sosial dan  hutan untuk pembangunan berkelanjutan. Intinya, semua pihak harus dapat mawas diri, melakukan koordinasi dalam melakukan konversi hutan dan memberikan ijin baru kepada para penguasaha yang sudah menguasai jutaan ha tanah.

Penulis, dosen dan peneliti FH Universitas Sahid Jakarta

(Y005)