Rendahnya apresiasi nikah di KUA

id nikah, kua, apresiasi nikah rendah

Rendahnya apresiasi nikah di KUA

Sebanyak 50 pasang pengantin mengikuti nikah massal yang diselenggarakan Pemerintah Kota Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (9/10). (Foto Antarasumsel.com/Nila Fuadi)

....Persoalan nikah di rumah merupakan bagian dari kultur kita yang harus dihormati....
Dari aspek sosial kultural, ternyata anjuran nikah di kantor urusan agama atau KUA dari para petinggi di Kementerian Agama tidak mendapat apresiasi dari masyarakat.

Bahkan realitas yang ada justru penolakan, karena masyarakat di berbagai daerah sudah lama menempatkan penghulu dan KUA sebagai "garda" terdepan dari Kementerian Agama dalam berbagai urusan yang menyangkut syariat Islam.

Adanya protes beberapa warga di KUA Kecamatan Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, terkait diberlakukannya moratorium bedolan nikah dan pernikahan harus dilakukan di salah satu institusi Kementerian Agama itu merupakan suatu bentuk kemustahilan yang dapat dilakukan. Ini adalah gambaran nyata, bahwa warga tidak memberikan apresiasi dari imbauan jajaran kementerian tersebut.

Warga menolak bedolan nikah seperti yang diberlakukan Kepala KUA setempat, Nurudin dan penghulunya Muhammad Aminuddin. Pemberlakuan hanya berlangsung tak lebih dua pekan, setelah itu  sekitar beberapa warga memadati halaman kantor KUA setempat. Mereka memprotes atas diberlakukannya moratorium itu.

Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa menarik setelah Kementerian Agama, melalui Sekjennya Bahrul Hayat mengimbau umat Islam yang hendak menikahkan putra-puterinya atau anggota keluarganya, agar melakukan di KUA setempat.

                                                            Gratifikasi
Imbauan agar nikah di KUA tersebut terkait dengan tudingan miring bahwa para penghulu dan sohibul bait atau tuan rumah penyelenggara pernikahan telah melakukan tindakan gratifikasi.

Memberi dan menerima dana yang dinilai melanggar tindak pidana, berupa menerima imbalan ilegal.

Penghulu dari KUA Juntinyuat, Muhammad Aminuddin mengaku menikahkan warga di kantor KUA lebih praktis. Sayangnya, warga memprotes moratorium bedolan nikah. Akhirnya, moratorium hanya berjalan beberapa hari.

Kepala KUA Juntinyuat, Nuruddin menyatakan tak bisa berbuat banyak. Ternyata kultur masyarakat setempat sangat kuat. Menikahkan anggota keluarga di kediaman mempelai perempuan sudah menjadi kultur yang berakar di masyarakat. Bahwa pernikahan yang dilangsungkan di kantor KUA tak memiliki nilai lebih.

Justru jika dilangsungkan di rumah akan terasa punya nilai. Kedatangan seorang pejabat yang merupakan wakil terdepan dari Kementerian Agama bagi sohibul bait merupakan suatu bentuk kehormatan dan kebanggan.

"Persoalan nikah di rumah merupakan bagian dari kultur kita yang harus dihormati," kata Muhammad Aminuddin.

Persoalan nikah, bagi sebagian masyarakat Indonesia, memiliki nilai sakral. Alasannya, dua insan berlainan jenis yang kemudian menyatu merupakan suatu peristiwa bersejarah bagi pasangan bersangkutan.

Mereka membentuk rumah tangga yang kemudian dapat memberikan kontribusi nyata dan bermanfaat bagi orang banyak. Termasuk pula bagi para keturunan pasangan bersangkutan di kemudian hari.

KUA bagi Kementerian Agama memang berada pada barisan terdepan. Bagi Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan tentu memiliki beragam permasalahan, eksistensi KUA makin dirasakan kebutuhannya. Terutama terkait pada persoalan pernikahan itu sendiri, perceraian, persoalan rumah tangga, warisan, wakaf, zakat, arah kiblat, izin pendirian rumah ibadah dan persoalan kemasyarakatan lainnya seperti kematian dan pemakaman. Bahkan KUA pun dilibatkan dalam bimbingan manasik haji.

Jadi, bebannya demikian besar. Namun di sisi lain peran KUA masih kurang mendapat perhatian dari para penyelenggara negara. Bahkan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat mengakui bahwa negara telah melakukan pembiaran dan kesalahan terhadap KUA bertahun-tahun.

                                                      Dana operasional
Pasalnya, negara tak memberikan dana operasional bagi KUA bertahun-tahun. Kalaupun ada, jumlahnya sangat minim yang diberikan sejak 2008 sebesar Rp2 juta. Jelas, dana sebesar itu tak mencukupi untuk operasional kantor.  Belum lagi masih banyak kantor KUA ngontrak.

Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banjarnegara H. Zulkifli S.Ag bercerita bahwa kultur masyarakat Indonesia terkait dengan persoalan pernikahan lebih banyak memposisikan penghulu dan petugas KUA sebagai pelayan umat yang harus berada di barisan terdepan.

Hal itu terlihat tatkala acara pernikahan berlangsung, tuan rumah tak akan memulai kegiatan acara pernikahan sebelum penghulu hadir. Padahal dari aspek syariat Islam, bisa saja ulama setempat menikahkan anggota keluarga dari sohibul bait.

Kepala KUA Kota Banjarnegara H. Alimustofa yang dijumpai secara terpisah mengakui bahwa tugas penghulu dalam prosesi pernikahan ternyata tidak sekedar bertindak sebagai pencatat nikah. Warga menuntut penghulu sebagai: pemandu acara, menjadi wakil wali nikah, khotbah nikah dan pembaca doa. Tentu saja jika dikaitkan dengan penghulu diposisikan seperti itu, prosesi pernikahan akan berbeda jika diselenggarakan di kantor KUA.

Nikah di kantor KUA, menurut Kasubag TU Banjarnegara, Drs. H. Sukarno MM dikesankan atau oleh masyarakat diberi lebel sebagai nikah yang dilakukan oleh orang-orang bermasalah, seperti "kecelakaan" akibat salah dalam pergaulan bebas. Kebanyakan pula jika nikah di kantor KUA dikesankan sebagai orang paling miskin, karena setelah itu tak disusul dengan acara resepsi bagi kedua mampelai.

Sukarno mengatakan, minat warga menikah di kantor KUA sangat rendah. Hanya sekitar 10 persen. Sementara tatkala musim nikah, seperti pada bulan Dzulhijjah, bisa mencapai 15 pernikahan dalam satu hari.

Di kabupaten Banjarnegara, pada 2011 angka pernikahan 11 ribu. Sementara angka perceraian pada 2010 mencapai dua ribu. Angka cerai bersar, karena warga di daerah ini sebagian masyarakatnya hidup merantau.

"Jika tak tahan kehidupan kota, suami banyak melupakan istri," katanya.