Saksi beratkan terdakwa korupsi di BPN OKI

id kasus korupsi, korupsi bpn oki, tari, bpn, pengadilan

Saksi beratkan terdakwa korupsi di BPN OKI

Saksi memberikan keterangan pada sidang proyek retribusi tanah pertanian di Pengadilan Negeri Palembang, Rabu (17/7). (Foto Antarasumsel.com/13/Dolly Rosana/Aw)

Palembang (ANTARA Sumsel) - Keterangan saksi selaku koordinator pengumpul dana pembuatan sertifikat, Tari (46), semakin memberatkan tiga terdakwa korupsi proyek retribusi tanah pertanian Badan Pertanahan Nasional di Desa Cahaya Mas, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Tari dalam keterangannya di Pengadilan Negeri Palembang, Senin,  menyatakan telah mengumpulkan dana untuk biaya pembuatan sertifikat dari sekitar 250 orang warga Desa Cahaya Mas, Kecamatan Mesuji Makmur atas perintah Esbon Pardede (Kasubsi Pertanahan BPN Kabupaten OKI) selaku terdakwa pertama.

"Biaya setiap warga bervariasi antara Rp500.000-Rp800.000, dan pada prinsipnya warga tidak keberatan," katanya dihadapan Majelis Hakim yang diketuai Porman Situmorang.

Pernyataan dari Tari ini pun mengugah Majelis Hakim untuk mengetahui alasan saksi bersedia menjadi koordinator pengumpulan dana.

Pada awalnya saksi berkilah hanya untuk membantu warga setempat, namun setelah didesak akhirnya mengakui mendapatkan imbalan sebesar Rp9 juta dari terdakwa pertama.

Lantaran pernyataan itu, Majelis Hakim meminta Jaksa Penuntut Umum melakukan pendalaman mengingat tindakan saksi bisa mengarahkan dirinya sebagai terdakwa karena terlibat langsung dalam kegiatan korupsi tersebut.

Sementara, Tari yang diwawancarai seusai persidangan menyatakan tidak mengetahui bahwa tindakannya mengumpulkan dana masyarakat itu menyalahi aturan.

Apalagi, sejak awal tidak mengetahui jika proyek pembuatan sertifikat itu merupakan program pemerintah yang sifatnya gratis.

"Malahan setelah sekian lama menanti sertifikat tidak keluar, saya membawa sekitar 15 orang warga untuk menanyakan ke BPN, bahkan setelah melapor baru ketahuan jika terjadi suatu penyimpangan," katanya.

Ia menerangkan, setelah terbongkar kemudian terdakwa pertama pun menyuruh kepala desa mengembalikan uang yang dikumpulkan warga itu.

"Jika tahu akan bermasalah seperti ini, saya tidak mau jadi koordinator mengumpulkan dana," ujarnya.

Pada persidangan itu juga dihadirkan tiga saksi lainnya yang menjadi korban. Ketiganya membenarkan bahwa terjadi pungutan dalam pembuatan sertifikat.

Ketiga terdakwa yakni Esbon Pardede (Kasubsi Pertanahan BPN Kabupaten OKI), Agus Warih Prihatin (selaku Kepala Desa Cahaya Mas Tahun 2003-2008) dan Imam Subandi (Kepala Desa Cahaya Mas 2008-2015) didakwa Jaksa Penutut Umum atas tindakan korupsi berupa pemungut biaya kepada sekitar 250 orang warga pada periode 2007-2011 untuk pembuatan sertifikat.

Retribusi ilegal itu berkisar Rp2.000.000 per sertifikat tanah atau mencapai Rp417.500.000.

Kepala Seksi Landreform Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Amir Zulkifli dalam keterangan di persidangan sebelumnya menyatakan tidak dibenarkan petugas menarik retribusi untuk pembuatan sertifikat tanah untuk lokasi yang telah ditetapkan pemerintah pusat.

Lokasi di Desa Cahaya Mas, Kecamatan Mesuji Makmur itu sendiri telah masuk dalam proyek retribusi tanah BPN berdasarkan usulan Kantor Wilayah lantaran merupakan tanah yang dikuasai negara tapi telah digarap oleh warga setempat (area transmigrasi) dengan ukuran maksimal lima hektare.

Pernyataan dari saksi itu semakin memberatkan ketiga terdakwa yang dalam didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum Andi Supriyadi pada sidang perdana lalu dengan Pasal 12 (e) UU RI Nomor 13/1999 jo Pasal 18 UU RI Nomor 13/1999 sebagaimana diubah UU Nomor 2/2001 jo Pasal 55 (1) ke KUHP jo Pasal 64 (1) KUHP.

Kemudian, subsider Pasal 12 (e) UU RI Nomor 13/1999 jo Pasal 18 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah Nomor 2/2001 jo Pasal 15 jo Pasal 64 (1) KUHP atau kedua primer Pasal 11 UU RI 31/1999 jo Pasal 18 UU RI jo Pasal 55 (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 64 (1) KUHP.

Kasus ini terkuak berdasarkan laporan masyarakat sehingga dilakukan penyelidikan sejak tahun 2012 yang akhirnya menyeret tiga tersangka ke pengadilan.