Menjejak komodo di musim kawin

id sail komodo, komodo

Menjejak komodo di musim kawin

Komodo (FOTO ANTARA)

"Sekarang musim kawin, jadi kecil kemungkinan kita melihat komodo di jalur tracking," kata 'ranger' atau polisi hutan berkaca mata dan berseragam hijau itu.

Bagaimana dengan tracking panjang yang disiapkan pengelola Taman Nasional Komodo di Pulau Rinca? Sang ranger mengatakan hal sama. Pada musim kawin komodo (varanus komodoensis) mencari tempat tersembunyi untuk melepaskan syahwat dan berkembang biak.

Apa arti keterangan tersebut? Artinya, hanya nasib baik saja yang memungkinkan pengunjung melihat komodo liar di Rinca di musim kawin, yakni Juli dan Agustus.

Populasi komodo di Rinca yang seluas 19 kilometer persegi itu sebenarnya cukup banyak, yakni sekitar 2.300 ekor, lebih banyak dari pada di Pulau Komodo, yang sekitar 2.100 ekor. Binatang yang panjangnya bisa mencapai tiga meter (jantan) itu bisa hidup hingga usia 50 tahun.

Kehidupan komodo tergolong unik, berdarah dingin, bertelur setelah sebulan musim kawin (September), lalu telur akan menetas sekitar 6-7 bulan kemudiian atau sekitar April tahun berikutnya. Pada tiga tahun pertama anak komodo rentan dari pemangsa, bahkan dari komodo dewasa lainnya karena itu mereka hidup di atas pohon dengan memakan serangga.

Setelah itu akan hidup di darat dengan memangsa binatang dari rusa hingga kerbau liar dengan mencabik lalu menelannya. Setelah itu dia akan berjemur untuk membantu metabolisma agar makanan di perut hancur.

Jika makanan tidak hancur di dalam perut maka makanan itu akan dikeluarkan agar tidak membusuk dan tidak meracuni tubuhnya. Setelah hidup di darat (tidak di pohon lagi) pertumbuhan tubuh komodo berkembang pesat hingga 2-3 meter, setelah itu melambat hingga mati pada usia 30-50 tahun.

Reptil purba itu mampu berlari dengan kecepatan 18 kilometer perjam dan berenang dengan sangat baik dan menyelam hingga kedalaman 4,5 meter. Dia mempunyai penciuman tajam hingga bisa mendeteksi bangkai berjarak sembilan kilometer searah angin dan sekitar empat kilometer jika berlawanan arah angin.

Di samping di Pulau Komodo, binatang ini juga hidup di Pulau Rinca, Flores, Gili Motang dan Gili Dasami di Nusa Tenggara (Sunda Kecil).

Pulau Komodo, Rinca, Padar dan sekitarnya yang berluas 1.817 kilometer persegi, dimana 603 diantaranya daratan, ditetapkan sebagai Taman Nasional Komodo pada tahun 1980 untuk melindungi species yang rentan dari kepunahan.

Pada tahun 2011, setelah kampanye sejak 2007, Yayasan New7Wonders menetapkan taman nasional itu sebagai Tujuh Keajaiban Alam Dunia Baru bersama enam pemenang lainnya, seperti Hutan Amazon di sembilan negara Amerika Latin, Teluk Halong di Vietnam, Air Terjun Iguazu di Argentina dan Brazil, Pula Jeju di Korea Selatan, Puerto Princesa Underground River di Filipina dan Table Mountain di Afrika Selatan.

Komodo yang hidup di Pulau Rinca hidup berdampingan dengan manusia di desa nelayan yang berpenduduk sekitar 800 jiwa.

Dikatakan berdampingan, sebenarnya tidak juga karena jika lengah maka sang naga (dragon komodo, julukan keren untuknya) bisa memangsa manusia. Sang ranger yang asli penduduk Rinca mengisahkan, menjelang shalat Jumat, seorang ayah meminta anaknya usia delapan tahun untuk segera naik ke atas rumah panggung.

Sang anak yang sedang bermain mengatakan, dia akan segera naik. Setelah shalat Jumat, desa nelayan yang lokasinya cukup jauh dari Kantor Taman Nasional Komodo itu geger ketika teriakan bersahutan muncul.

Sang ayah menyaksikan sejumlah tetangga sedang menarik anggota badan anaknya yang sebagian sudah di mulut komodo. Nasib malang, sang anak tidak terselamatkan.

Namun, seperti layaknya orang Indonesia, kondisi tersebut masih disyukuri karena komodo tidak menelan habis si anak karena keluarga masih bisa melihat jasadnya.

Hubungan antara manusia dengan alam yang unik itu menjadi kajian menarik Wally Siagian yang di kartu namanya mencantum "gelarnya" DDTB (diving, drinking and talking busshit) Master. Master menyelam, "minum" dan omong kosong.

Pemandu menyelam yang cukup kondang di Bali --dia tinggal dan jadi pemandu selama 30 tahun di Pulau Dewata-- itu mengatakan ada hubungan unik antara penduduk lokal dan komodo.

"Mereka tidak mempertanyakannya, apa lagi mengusik dan membunuh komodo," kata penulis buku "diving Bali, The Underwater Jewel of Southeast Asia", terbitan Periplus Edition (HK) Ltd. (2010).

Penduduk lokal menjadikan komodo sebagai bagian dari mereka, bukan karena binatang bisa berenang di laut dan pemangsa ganas itu sedang naik daun, tetapi pemaknaan itu ada sejak dahulu.

Penduduk lokal hanya bisa bersikap preventif (mencegah) tidak memburu dan memusnahkan sang naga.

Kini setelah Taman Nasional Komodo ditetapkan sebagai keajaiban dunia, animo penduduk lokal, terutama turis asing untuk melihat komodo semakin besar.

Wally tidak tahu pasti angkanya, tetapi sebagai pengelola diving dan membantu anaknya mengelola Tree Top Cafe di Labuan Bajo sejak dua tahun terakhir, dia kecipratan tamu asing yang terus berdatangan, meski di bulan-bulan musim kawin komodo, Juli dan Agustus.

Kini turis Italia semakin banyak terlihat, di samping dari Perancis, Australia dan Kanada dan negara lainnya.

Sail Komodo

Jelang perayaan Sail Komodo pada 14 September 2013, Labuan Bajo semakin ramai. Di sejumlah titik semakin banyak spanduk dan baliho yang mengajak masyarakat untuk menyukseskan ajang internasional itu.

Sekitar 80-an kapal layar sedan dan akan menyusuri pulau-pulau dan obyek wisata di NTT. Mereka pada 3 September akan berlabuh di sekitar Labuan Bajo. Dulu desa nelayan yang kini menjadi Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat itu akan semakin meriah.

Pemerintah akan menjadikan Sail Komodo  sebagai tonggak pembangunan Labuan Bajo, Manggarai Barat dan NTT. Kepala Humas Sail Komodo yang juga Dirjen IKP Kemenkominfo Freddy Tulung di rapat koordinasi di Labuan Bajo mengatakan, pemerintah tidak ingin setelah Sail Komodo kemudian kehidupan kembali semula.

Dia ingin ajang internasional itu menjadikan komodo semakin mendunia, turis berdatangan yang pada ujungnya meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya. Karena itu pula promosi Sail Komodo akan digencarkan.

Freddy berharap pemerintah daerah berbenah dan bersiap menyambut ajang tersebut.

Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika, Mabruri Ak, mengatakan di samping mengundang wartawan untuk mempromosikan Sail Komodo, bisa juga dilengkapi dengan membanjiri informasi di media sosial seperti face book dan twiter.

Dia menilai foto-foto tentang Labuan Bajo, Taman Nasional dan Komodo sangat menarik. Jika di-update di media sosial secara rutin akan memberi dampak besar, tidak hanya secara nasional, juga internasional.

"Biaya murah dan mudah, dan bisa dilakukan siapa saja," kata Mabruri.

Di sisi lain, pegiat lembaga swadaya masyarakat Emmy Hafild mengharapkan koordinasi intensif pemerintah dan masyarakat untuk menyukses acara tersebut.

Emmy yang giat berkampanye melalui Yayasan Komodo Kita untuk memenangkan Taman Nasional Komodo sebagai Tujuh Keajaiban Alam Dunia Baru dengan menggandeng Jusuf Kalla itu mengingatkan bahwa pelestarian komodo dan pembangunan bertujuan menyejahterakan masyarakat.

Sejumlah kalangan yang kritis di NTT mempertanyakan mengapa komodo yang diperhatikan sementara masih banyak masyarakat yang membutuhkan perhatian, terutama untuk pendidikan dan kesehatan.

Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat sebenarnya cukup banyak berbuat untuk masyarakatnya meski harus diakui mereka membutuhkan bantuan dari pusat,  seperti menyelesaian bangunan bandara baru dan infrastruktur pendukung lainnya.

Salah satunya Nurhayati, perintis usaha makanan serta oleh-oleh khas yang mendapat perhatian dari Dinas Perdagangan, Kabupaten Manggarai Barat, di Labuan Bajo.

Usaha yang dirintisnya sejak 2007 itu kini menjadi satu-satunya pemasok makan khas Bajo, seperti ikan sancara kering, keripik cumi, abon ikan tenggiri dan terasi udang.

"Kalau gak dibantu Disperindag Labuan Bajo mana mungkin saya bisa mendatangkan petugas Badan POM dan petugas sertifikasi halal MUI dari Kupang (NTT, red)," kata Nurhayati.

Biaya sertifikasi itu mahal untuk ukuran usaha rumah tangga, tetapi dia tidak menyerah. Usaha yang dirintis dengan modal ratusan ribu rupiah dengan tiga item, ikan sancara, abon ikan tenggiri dan terasi udang Pulau Rinca kini cukup berkembang dengan memberdayakan ibu-ibu setempat.

Kini variasi produknya sudah 25 item, termasuk keripik pisang dan keripik singkong. Permasalahannya, kata Ketua Kelompok Naga Putri, Labuan Bajo, adalah mengantisipasi peningkatan kebutuhan turis pada acara puncak Sail Komodo yang akan dihadiri Presiden Yudhoyono nanti.

Dia mencontohkan, diperlukan 10.000 ekor ikan sancara basah @Rp1000 untuk 1.000 paket ikan khas Bajo tersebut  untuk kemudian dikeringkan. Artinya, diperlukan modal Rp10 juta untuk hanya untuk satu item produksi Rumah Oleh-oleh Khas Komodo --toko milik Nurhayati di depan Polres Labuan Bajo.

Sementara untuk mempersiapkan kemasan saja dia sudah menginvestasi Rp50 juta. "Jadi, kami butuh modal untuk mempersiapkan buah tangan agar turis bisa pulang membawa makanan khas Bajo," kata ibu berkacamata itu.

Meski merintis usaha makanan khas lebih ribet dari pada bisnis lain, tetapi penduduk asli Pulau Papagaran yang bersebelahan dengan Pulau Rinca itu mengaku malu jika Labuan Bajo tidak memiliki makanan khas sendiri.

"Saya sudah ke Yogya, Bali dan daerah tujuan wisata lain, mereka buat dengan sederhana juga tetapi laku. Saya
fikir kami juga bisa buat makanan khas karena bahan bakunya melimpah di sini," ujarnya optimis.

Dia berharap, Rumah Oleh-oleh Khas Komodo ke depan hanya menjadi rumah produksi yang memasok untuk semua toko dan hotel di Labuan Bajo, juga di toko dan kantin di kantor taman nasional di Pulau Rinca dan Pulau Komodo.

Dia menggunakan nama komodo untuk tokonya karena memang binatang langka itu yang "menjual". Tidak hanya orang Indonesia, orang mancanegara sudah kadung mengenalnya, bahkan bintang film Hollywood peraih Oscar, Gwynet Paltrow jatuh cinta pada binatang pemakan daging itu.

Pemeran Pepper Potts dalam Iron Man 3 itu berkesempatan berlibur selama empat hari ke Pulau Komodo pada Mei lalu dan beruntung bisa melihat kadal raksasa yang bisa berusia 30-50 tahun dan disebut ora oleh penduduk setempat itu.

Namun, tidak semua turis punya keberuntungan yang sama dengan Gwynet, terutama di saat musim kawin. Jauh jalan ditempuh, delapan kilometer di track panjang, mereka belum tentu melihat komodo berjalan di hutan Rinca.

Beruntung di sekitar kantor Taman Nasional di pulau itu empat ekor komodo, tiga berukuran sekitar dua meter dan satu anakan usia tiga tahun terlihat berjemur di bawah nauangan atap rumah.

Mereka terlihat jinak, sementara di kecil terlihat atraktif dan berjalan mengamati pengunjung. Bau amis yang tercium di bawah rumah panggung itu agaknya menjadi daya tarik keempatnya.

Setelah lelah berjalan, di atas perahu menuju pulang, seorang pemandu dari travel di atas perahunya berteriak, apakah bertemu dengan komodo di saat menyusuri track di hutan?

Itulah yang menjadi masalah bagi para turis asing, terutama Prancis, katanya. Mereka acap kali cerewet. "Mrin (mungkin nama pemandu Thamrin), kami sudah jauh berjalan, tetapi hanya melihat komodo berjemur di bawah atap rumah bukan di alam liar," kata sang pemandu.

Sejumlah turis asing kadang sulit diberi pengertian bahwa pada kondisi tertentu komodo liar hidup sesuai dengan siklusnya. Thamrin dan Wally tidak setuju jika dilakukan rekayasa di taman nasional agar komodo diatur agar bisa terlihat oleh turis kapan saja.

Jika kondisi itu dilakukan, maka mereka sama saja melihat komodo di kebun binatang di negara asal mereka. Di taman nasional, komodo hidup liar. Untuk menghindari mereka dari kepunahan maka keberadaan hewan lain di dalamnya, seperti banteng liar, rusa, ayam liar, serangga dan lainnya harus dijaga agar rantai makanan selalu tersedia.

Rangers di Pulau Rinca mengatakan pada musim kawin sekalipun, komodo masih bisa terlihat berjalan di sekitar jalur tracking pada pagi atau sore hari. Jadi tinggal waktu kunjungan yang harus diatur untuk melihat binatang langka tersebut di alam aslinya.