Mantan Ketua KPK Akil minta kewarganegaraannya dicabut

id akil, mantan ketua kpk

Mantan Ketua KPK Akil minta kewarganegaraannya dicabut

Ketua MK nonaktif Akil Mochtar (FOTO ANTARA)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Akil Mochtar yang juga mantan Ketua Hakim Konstitusi meminta agar kewarganegaraannya dicabut.

"Sesungguhnya saya ingin bukan hanya dijatuhkan pencabutan hak memilih dan dipilih, tapi juga dijatuhkan hak kewarganegaraan saya sebagai Warga Negara Indonesia karena sesunguhnya dengan hukuman tambahan ini saya tidak punya arti apa-apa sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Jadi saya juga meminta agar saya divonis agar kewarganegaraan saya sebagai WNI dicabut," kata Akil dalam pembacaan nota pembelaan dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Akil dalam perkara dugaan penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK dan tindak pidana pencucian uang dituntut maksimal yaitu pidana seumur hidup dan denda Rp10 miliar.

Dalam sidang tuntutan pekan lalu, jaksa meminta pidana tambahan terhadap Akil yaitu pencabutan hak memilih dan memilih dalam pemilihan umum yang ditentukan menurut aturan umum.

"Pidana tambahan mencabut hak-hak tertentu merupakan hukuman peninggalan kolonial yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan karena mematikan hak-hak sipil warga negara dimana dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 huruf b ayat 1," tambah Akil.  

Akil saat menutup nota pembelaannya mengutip sajak penyair WS Rendra berjudul "Batu tanpa hati".

"Mereka adalah batu tanpa hati, kita adalah air yang mengalir, maka air akan mengikis batu," kata Akil.

Akil dituntut dengan enam pasal, yaitu pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas, Lebak, Pelembang dan Empat Lawang.

Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Lampung Selatan, Buton, Morotai, Tapanuli Tengah.

Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel.

Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten.

Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif hingga Rp161 miliar saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.

Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.