Menjadikan rupiah berdaulat di negeri sendiri

id rupiah, uang, cinta rupiah, negeri, mata uang

Menjadikan rupiah berdaulat di negeri sendiri

Uang kertas rupiah pecahan Rp50.000 dan Rp100.000. (Foto Antarasumsel.com/13/Yudi Abdullah)

Makassar (AANTARA Sumsel) - Pengaruh ekonomi global yang melanda negara mitra Indonesia yakni Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Pasifik, menyebabkan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak dapat dihindari.

Hubungan Indonesia dari sisi ekonomi dengan negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Pasifik merupakan mata rantai yang kuat, sehingga ketika terjadi resesi ekonomi di negara tersebut, Indonesia yang merupakan salah satu sentra komiditas dunia turut merasakan imbasnya.   

"Komoditas kita seperti kakao yang banyak disuplai dari Sulawesi Selatan, ketika ekonomi Eropa dan Amerika lesu yang kemudian berdampak pada penurunan daya beli, tentu dirasakan juga di sini," kata Kepala Devisi Sistem Pembayaran Bank Indonesia Wilayah Sulawesi Selatan Derry Rossianto.

Sementara ketika terjadi nilai rupiah yang terus terpuruk dan hingga mencapai diatas Rp13 ribu per dolar AS, masyarakat kalangan tertentu pun memanfaatkan kondisi tersebut untuk menampung uang dolar AS sebanyak-banyaknya untuk merup keuntungan dibalik melemahnya nilai tukar rupiah.

Tak heran, jika sektor jasa maupun transaksi perdagangan dalam negeri menjadikan nilai dolar AS sebagai acuan transaksi untuk mendapatkan keuntungan seperti sewa apartemen, sewa gedung atau hotel dan jual beli elektronik menggunakan mata uang dolar AS.    

Dari transaksi tersebut dinilai terjadi penyimpangan, pasca dicanangkannya "Gerakan Cinta Rupiah" ketika ekonomi Indonesia terpuruk pada 1997-1998 dan 2008.

Mencermati fenomena itu, maka pihak Bank Indonesia kembali menegaskan penerapan penggunaan uang rupiah per 1 Juni 2015 dalam setiap transaksi tunai maupun non tunai di dalam negeri.

Hal itu menyusul penerbitan peraturan mengenai kewajiban penggunaan rupiah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peraturan itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/3/PBI/2015 dan berlaku sejak diundangkan pada 31 Maret 2015.

Regulasi PBI itu kemudian diperkuat dengan Surat Edaran No 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Uang Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Untuk menjalankan regulasi tersebut, pihak Bank Indonesia telah berkoordinasi dengan kepolisian untuk mengawasi kepatuhan masyarakat terhadap aturan penggunaan rupiah di Indonesia.

Bagi pelanggar kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi tunai dan non tunai dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur Undang-Undang tentang Mata Uang, yakni kurungan maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp200 juta sesuai Pasal 33 Ayat (2) UU No 17 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Kendati demikian, BI juga membuat pengecualian dari kewajiban menggunakan uang rupiah itu, seperti untuk transaksi dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hibah internasional, simpanan di bank dalam valuta asing, trasaksi untuk perdagangan internasional yang meliputi ekspor impor dan perdagangan jasa internasional serta pembiayaan internasional.

PBI yang sudah diterbitkan sejak 1 April 2015, mulai efektif diberlakukan per 1 Juli 2015.

Menurut Asisten Direktur, Divisi Relasi Media dan Opinion Maker, Departemen Komunikasi Bank Indonesia Dedy Irianto disela-sela Media Gathering Komunitas Wartawan Sulawesi Selatan pada pekan ketiga Oktober 2015, kebijakan penerapan mata uang lokal itu merupakan wujud cinta rupiah.

"Ini merupakan bagian dari nasionalisme, membuat rupiah berdaulat di negeri sendiri. Apalagi rupiah sebagai simbol negara itu gambarnya adalah para pahlawan," katanya.

Sebagai contoh, mata uang rupiah itu ada yang bergambar pahlawan nasional Pattimura dari Maluku, Pangeran Antasari dari Kalimantan Selatan, Tuanku Imam Bonjol dari Sumatera Barat hingga proklamator Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta.

Hal senada dikemukakan Asistent Direktur Bank Indonesia Devisi Kebijakan Ekonomi dan Moneter Muslimin Anwar.

Menurut dia, wajarlah jika kedaulatan  rupiah diangkat kembali ke permukaan, agar rupiah tidak semakin terpuruk.

"Peran dan fungsi BI di sini selaku stabilisator moneter, berupaya agar nilai kurs rupiah terhadap dolar AS tidak di atas 5 persen dan dibawah 5 persen," katanya.

                                                          Angin Segar
Adanya kebijakan BI yang mewajibkan penggunaan rupiah dalam bertransaksi dalam negeri, rupanya menjadi "angin segar" bagi penguatan rupiah pada awal Oktober 2015.

"Nilai tukar rupiah menguat setelah mengalami tekanan depresiasi pada September 2015," kata Muslimin.

Asisten Direktur Bank Indonesia Devisi Kebijakan Ekonomi dan Moneter ini mengungkapkan, penguatan rupiah pada awal Oktober 2015 itu didukung oleh sentimen positif terkait kemungkinan penundaan Federal Funds Rate (FFR) atau suku bunga dan membaiknya optimisme terhadap prospek ekonomi Indonesia.

Hal itu sejalan dengan rangkaian paket kebijakan pemerintah dan paket stabilisasi nilai tukar yang dikeluarkan Bank Indonesia.

Kedua faktor tersebut mendorong masuknya aliran modal asing ke pasar keuangan Indonesia yang berdampak pada penguatan rupiah 9,7 persen (ptp 21 Oktober terhadap September 2015).  

Sementara dari sisi kondisi ekonomi saat ini, diakui jauh berbeda dengan kondisi pada saat krisis ekonomi 1997-1998.

"Kondisi ekonomi saat ini tidak sama dengan kondisi era 1997-1998, karena fundamental ekonomi saat ini jauh lebih baik," katanya.

Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB) pada 1997-1998 tercatat 4,7 persen dan -13,7 persen. Sedangkan PDB 2015 tahun berjalan sekitar 4,7-5,1 persen.

Dari sisi cadangan devisa berdasarkan data BI, periode 1997 tercatat 21,41 miliar dolar AS, periode 1998 sebanyak 23,76 miliar dolar AS dan per September 2015 tercatat 102 miliar dolar AS atau lima kali lipat dari periode 1997 - 1998.

Muslimin juga mengatakan, "buah" dari kebijakan kewajiban penggunaan uang rupiah itu dapat dicermati dari transaksi valuta asing (valas). Sebelum dikeluarkan kebijakan itu, transaksi valas mencapai 7,2 miliar dolar AS per bulan, namun setelah penerapan PBI transaksi valas turun menjadi 5,2 miliar dolar AS per bulan.

Sejumlah indikator yang memberikan "angin segar" bagi penguatan rupiah yang membawa dampak positif terhadap perekonomian dalam negeri, diharapkan terus berlanjut seiring dengan penerbitan paket kebijakan ekonomi pemerintah tahap V oleh Presiden Joko Widodo.

Sementara gerakan moral untuk cinta rupiah pun harus terus digelorakan demi membangun kedaulatan rupiah di negeri sendiri.