Menjaga api sepak bola tetap menyala

id sepak bola, sriwijaya fc, Presiden Klub Sriwijaya FC, Dodi Reza Alex

Menjaga api sepak bola tetap menyala

Ilustrasi - Pemain Sriwijaya FC Patrick Wanggai menyundul bola pada pertandingan melawan Semen Padang di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang. (Foto Antarasumsel.com/15/Feny Selly)

....Apalah jadinya pemain bola tanpa adanya kompetisi, seperti penyanyi yang tidak pernah naik panggung....
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Di tengah vakumnya kompetisi, kehadiran turnamen terbuka bak angin segar bagi insan sepak bola Tanah Air.

Setelah Piala Presiden, kini Piala Jenderal Sudirman yang diharapkan terus menyalakan api sepak bola di tengah derunya konflik PSSI dan pemerintah yang belum mereda.

Bagi Sriwijaya FC, mengikuti turnamen terbuka menjadi pilihan terbaik saat ini karena sebagai klub profesional membutuhkan panggung untuk terus menghidupkan mesin tim.

Mengapa kompetisi? Presiden Klub Sriwijaya FC Dodi Reza Alex mengatakan bahwa klub hanya bisa mencairkan dana bantuan sponsor jika ada kompetisi. Begitu pula, dengan urusan perekrutan pemain dan pelatih.

"Seperti diketahui, pascapembubaran kompetisi pada bulan April 2015, klub juga dibubarkan sementara, dan baru ada kegiatan lagi setelah adanya Piala Presiden. Dari sini saja sudah tergambar, betapa pentingnya suatu kompetisi untuk menjaga keberlangsungan klub," kata Dodi.

Lantaran itu, meski sempat galau setelah finis pada urutan kedua Piala Presiden, akhirnya "Laskar Wong Kito" mendaftarkan diri menjadi peserta Piala Jenderal Sudirman yang mulai digelar pada tanggal 14 November 2015.

Sriwijaya FC berada di Grup A bersama tuan rumah Arema Cronus, Persija Jakarta, PBR, dan Gresik United. 

Hanya saja, karena kompetisi yang diikuti itu sifatnya turnamen terbuka atau bukan kompetisi selama satu musim, muncul suatu anomali.

Menurut Dodi, manajemen Sriwijaya FC kecolongan dengan langkah lima pemain SFC (Asri Akbar, Fathul Rahman, Patrick Wanggai, Titus Bonai, dan Ferdinand Sinaga) yang mengikuti Piala Habibie di Makassar setelah Piala Presiden.

Meski tanpa seizin klub, manajemen tidak bisa berkutik karena sejak awal hanya merekrut untuk kepentingan Piala Presiden saja.

Komposisi pemain Sriwijaya FC pun menjadi terancam, apalagi jarak antara Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman kurang lebih satu bulan.

"Untunglah lima pemain ini tetap ingin bermain di klub sehingga tetap optimistis menatap Piala Jenderal Sudirman," kata Dodi.

Berkaca dari pengalaman itu, manajemen klub akhirnya memutuskan mengontrak pemain selama tiga bulan atau tidak hanya untuk turnamen Piala Jenderal Sudirman.

Manajer Sriwijaya FC Nasrun Umar menambahkan bahwa klub merasa lebih nyaman menerapkan pola seperti itu daripada hanya membayar pemain per pertandingan seperti layaknya liga tarkam (antarkampung).

"Pemain yang sudah direkrut dan dikontrak tiga bulan sejak Oktober hingga kompetisi selesai. Pola ini dipilih tidak lain ingin meningkatkan loyalitas pemain terhadap klub, dan menumbuhkan kedekatan emosional," kata manajer baru "Laskar Wong Kito" ini.

Dalam menetapkan pola itu, kata dia, manajemen klub sangat berhati-hati karena Sriwijaya FC ingin menjaga reputasi sebagai klub yang sudah teruji di kancah sepak bola Tanah Air.

"Sriwijaya FC sedapat mungkin sesuai dengan aturan, sementara ini memang ada imbauan agar tim menerapkan sistem kontrak," ujarnya.

Terkait dengan besaran nilai kontrak kerja pemain, Nasrun enggan memerinci. Dia hanya memastikan bahwa ada kenaikan jika dibandingkan saat memperkuat klub di ajang Piala Presiden.

Sebelumnya, Asosiasi Pesepak bola Profesional Indonesia (APPI) sudah memberikan penjelasan hanya Persipura Jayapura, Mitra Kukar, dan Sriwijaya FC sebagai peserta Piala Jenderal Sudirman yang sudah memberikan kontrak kepada pemain. Langkah tiga klub ini diharapkan turut diikuti klub lain.

Salah seorang pemain Sriwijaya FC Asri Akbar mengatakan bahwa sangat menyambut baik langkah yang diambil manajemen klub yang mengontrak selama tiga bulan.

"Kami (pemain) ini pesepak bola profesional maka perlakukanlah secara profesional. Jika dibayar per pertandingan, di mana kami memosisikan diri di dalam klub, sementara sebagai pemain profesional dituntut untuk tampil maksimal di setiap pertandingan," kata Asri.

Dalam kondisi krisis seperti ini, Asri tidak menyangkal bahwa pemain dihadapkan pada pilihan sulit terkait dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi sehingga bertahan menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

"Ada yang ikut tarkam, ini karena tidak ada pilihan. Jika ada pilihan lain, sebagai pemain profesional jelas tidak mau karena sangat berisiko," kata dia.

Atas keadaan tersebut, dia mengharapkan manajemen klub dapat bertindak bijak dengan tetap memanusiawikan pemain.

"Kehadiran turnamen terbuka ini bisa dikatakan sedikit lebih baik jika dibandingkan bertanding di liga tarkam. Akan tetapi, janganlah hal ini membuat klub bertindak semaunya, sama-sama mengertilah," ujar Asri.



Butuh Kompetisi

Pengamat sepak bola Sumatera Selatan Indrayadi mengaku miris melihat kondisi sepak bola saat ini karena pemain, pelatih, dan manajemen klub profesional hanya menjajal turnamen terbuka.

Padahal, jika dibandingkan kompetisi penuh selama satu musim, turnamen terbuka sejatinya tidak ada apa-apanya.

"Sedih melihatnya, setelah euforia sepak bola Piala Presiden, mereka harus kembali ke titik nol. Kini, ada Piala Jenderal Sudirman, dan sepertinya cerita akan berulang lagi," kata mantan pemain nasional ini. 

Oleh karena itu, dia mengharapkan pemerintah secepatnya mengambil kebijakan terkait dengan sepak bola Tanah Air karena kehadiran turnamen terbuka hanya bersifat solusi jangka pendek.

Menurut dia, kehadiran turnamen terbuka sebelumnya, Piala Presiden tidak cukup untuk menyembuhkan luka karena telah banyak korban pemain yang terpaksa gantung sepatu atas ketidakadaan kompetisi.

"Presidenlah yang harus bertindak. Memberikan instruksi yang jelas kepada Menpora. Jika terus berlarut, turnamen itu hanya akan terasa sebagai tarkam dengan skala nasional," kata pelatih penjaga gawang Sriwijaya FC ini.

Punggawa Sriwijaya FC Asri Akbar menambahkan bahwa merumput di lapangan hijau itu tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga memenuhi hasrat sebagai olahragawan.

"Apalah jadinya pemain bola tanpa adanya kompetisi, seperti penyanyi yang tidak pernah naik panggung," kata dia.

Ia berharap turnamen terbuka ini hanya dijadikan solusi jangka pendek karena sejatinya yang diinginkan para insan sepak bola, yakni kompetisi.

"Harapannya saya, konflik yang ada segera diselesaikan dan mulai menatap ke depan. Ini adalah yang lebih baik, dibandingkan ribut-ribut tak menentu seperti ini," kata dia.

Piala Jenderal Sudirman diikuti 15 tim yang terbagi menjadi tiga grup, yakni Grup A digelar di Stadion Kanjuruhan Kepanjen; Grup B di Stadion Kapten Dipta Bali; dan Grup C di Stadion Delta Sidoarjo.

Babak penyisihan Piala Jenderal Sudirman berlangsung pada tanggal 12--22 November. Babak semifinal digelar di masing-masing semifinalis (home and away) pada tanggal 9--17 Januari 2016 dan final digelardi Stadion Gelora Bung Karno pada tanggal 24 Januari 2016. 

Untuk hadiah pemenang pertama sebesar Rp2,5 miliar dan pemenang kedua sebesar Rp1,5 miliar, sedangkan masing-masing semifinalis menerima hadiah sebesar Rp500 juta.

Kehadiran turnamen Piala Jenderal Sudirman yang relatif berdekatan dengan Piala Presiden ini relatif cukup membuat para pesepak bola tersenyum kembali karena kaki mereka tidak sempat dingin.

Akan tetapi, di tengah ingar-bingar Piala Jenderal Sudirman ini tetap muncul pertanyaan di benak pemain apakah akan ada turnamen serupa lagi setelah ini? Apakah akan ada kompetisi yang dijanjikan?