Menunggu langkah konkret penyerapan karet alam

id karet, harga karet, karet sumsel. komoditas, komoditas sumsel, ekonomi, gapkindo

Menunggu langkah konkret penyerapan karet alam

Seorang buruh penyadap karet melakukan penyadapan di kebun karet (Foto Antarasumsel.com/Feny Selly)

....Harga makin turun dan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani. Jika tidak ada intervensi dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini, bisa jadi ke depan tidak ada lagi yang mau menanam karet....
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Harga karet anjlok sejak 2014 hingga Minggu belum menunjukkan perbaikan sehingga perlu langkah konkret dari negara produsen untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan di pasar internasional.

Harga karet alam saat ini 1,2 dolar AS, atau jauh dari harga ideal yang pernah terbentuk pada tahun 2012, yakni 4,9 dolar AS, sementara di tingkat petani hanya berkisar Rp6.000,00 per kilogram untuk kondisi kering 100 persen.

Tiga negara produsen karet yan tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC), yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand, telah sepakat untuk mengurangi suplai ke pasar ekspor dalam Kesepakatan Skema Tonase Ekspor (AETS).

Namun, langkah ini dianggap kurang efektif jika negara baru penghasil karet (Laos, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja) yang bukan anggota ITRC tidak berkomitmen serupa.

Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengatakan bahwa negara bukan anggota ITRC ini dikhawatirkan justru menambah pasokan pada saat Malaysia, Thailand, dan Indonesia mengurangi suplai.

"Lantaran itu, saat ini anggota ITRC belum menerapkan AETS karena khawatir negara lain justru berubah sikap meski sudah menyatakan menjadi mitra ITRC seperti yang dinyatakan Vietnam," kata Bachrul.

Oleh karena itu, dalam International ITCR Ministerial Committe Meeting di Jakarta, Kamis (3/12), ketiga negara ini memilih fokus pada tiga langkah konkret ke depan, yakni meningkatkan serapan dalam negeri, menciptakan pasar regional paling lambat pada bulan Juni 2016 (dipercepat tiga bulan dari target sebelumnya), dan mencari pasar baru karet (selain Tiongkok dan India).

Terkait dengan serapan dalam negeri, Malaysia berjanji akan memanfaatkan karet untuk bantalan rel MRT, Thailand akan menjadi karet sebagai salah satu komponen pembangunan stadion olahraga, sementara Indonesia sendiri akan menyerap melalui beragam proyek infrastruktur.

Menurut, data ITRC, sejak penurunan harga karet terjadi peningkatan serapan karet alam di tiga negara in, yakni meningkat 5,9 persen atau sebesar 1,58 juta metric ton pada tahun 2014 menjadi 1,67 juta metric ton pada tahun 2015. 

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Selatan Alex K. Eddy mengatakan bahwa kesepakatan untuk meningkatkan serapan dalam negeri di masing-masing anggota ini sejatinya sudah didengungkan sejak 2014. Akan tetapi, hingga kini harga karet belum juga membaik.

"Artinya, diperlukan langkah lain yang lebih konkret dari anggota ITRC. Selain fokus meningkatkan serapan dalam negeri, juga harus melahirkan ide-ide baru dan kreatif untuk mengembangkan industri karet," kata dia.

Indonesia sendiri sebagai negara yang sangat terdampak persoalan penurunan harga karet ini diharapkan memanfaatkan momen pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan serapan karet alam dalam negeri.

Untuk itu, dia meminta pemerintah segera mengeluarkan instruksi presiden yang dijanjikan tentang peningkatan serapan karet dalam negeri.

"Harga makin turun dan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan petani. Jika tidak ada intervensi dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini, bisa jadi ke depan tidak ada lagi yang mau menanam karet," ujar dia.

Dengan adanya aturan yang jelas, menurut dia, target serapan karet alam dalam negeri sebesar 10 persen per tahun akan tercapai, yakni 100.000 ton sesuai dengan kesepakatan negara ITCR.

"Berbagai produk diperkirakan bisa dihasilkan pengusaha karet dalam negeri, seperti campuran untuk pembuatan aspal, dok kapal, sistem antigempa gedung, dan bantalan rel kereta api, dan bahan untuk pintu air irigasi. Jika ini dioptimalkan, harga karet diperkirakan akan terangkat kembali. Dengan catatan harus bersama-sama," kata dia.

Anwar, petani karet Mesuji Raya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, mengatakan bahwa harga getah karet bongkahan anjlok sejak awal tahun dari Rp7.000,00 menjadi hanya Rp6.300,00 (kering 100 persen) dan Rp5.300,00 (masih basah dengan masa pengeringan dua hari atau kering 75 persen).

"Saat ini sulit, lahan banyak dibiarkan petani karena harga jatuh. Jika dihitung pendapatan per bulan, berkisar Rp700 ribu, tentunya ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga," kata dia.

Untuk menyambung hidup, dia dan rekan-rekan sesama petani terpaksa berkerja sebagai buruh di pabrik pengolahan kelapa sawit PT Sampoerna Agro.

"Biasanya penduduk di Mesuji ini, pagi sampai sore kerja di Sampoerna, nanti sore sampai siang, kemudian sorenya kerja di kebun. Pohon karet tetap disadap meski murah karena tidak ada pilihan lain," katanya.

Kirom, petani karet Desa Tambangan Kelekar, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, Sumsel, mengatakan bahwa dirinya lebih suka bekerja secara serabutan sejak harga karet jatuh di tingkat petani.

"Apa saja dikerjakan, mulai jadi tukang bangunan, menangkap ikan, hingga kerja di perkebunan sawit. Yang penting dapat uang untuk makan," kata dia.

Ia mengatakan bahwa penurunan harga karet demikian terasa sejak awal tahun dan tidak kunjung membaik hingga kini.

Keadaan ini dibarengi juga dengan meningkatnya harga kebutuhan bahan pokok sehingga makin memberatkan petani karet.

"Harapannya, pemerintah mengatasi masalah ini. Bagaimana caranya agar harga karet ini sesuai, dalam arti tidak merugikan petani. Ini serba salah, dipanen salah, tidak dipanen salah juga," kata dia.



Masalah Akut 

Pada tahun 2011, harga karet harga karet melambung dengan mencapai lima dolar AS/kg seiring dengan tingginya pertumbuhan ekonomi di Tiongkok yang menembus angka 9,2.

Pada masa itu, Sumsel membukukan nilai ekspor karet sebesar 3.868.385.000 dolar AS, atau melonjak tajam dibandingkan 2010 yang hanya 1.904.324.306 dolar AS, dan 2009 sebesar 1.110.906.904 dolar AS.

Kemudian, pada tahun 2013, mulai terjadi tren penurunan penyerapan pasar luar negeri sehingga pada periode Januari--April 2015, ekspor karet hanya 481,25 juta dolar AS, atau turun hampir separuh dari nilai periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 38,69 juta dolar AS. 

Sementara itu, di tengah rendahnya serapan pasar internasional itu, serapan dalam negeri hanya sekitar 2.000 ton. 

Ketidakberdayaan Sumsel menyediakan industri hilirisasi ditenggarai menjadi penyebab utama mengapa sektor perkebunan karet tidak bisa menjamin kesejahteraan petani. 

Sumsel yang menjadi salah satu provinsi penghasil getah terbanyak di Indonesia, selain Sumatera Utara, dan Jambi tidak dapat berbuat apa-apa ketika terjadi penurunan permintaan dari luar negeri.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumsel Permana mengatakan pemerintah daerah telah berupaya mengajak investor untuk menanamkan modal dengan membangun industri hilirasasi.

Investor asal Belarus sempat mengunjungi Palembang dengan didampingi Presiden Direktur Bluebird sebagai jaminan bahwa produk ban yang akan dihasilkan akan langsung diserap pasar dalam negeri. Kemudian, investor asal Prancis dan beberapa negara Eropa juga mengutarakan niat yang sama.

Menurut Permana, pada umumnya investor ini mengurungkan niat lantaran Sumsel tidak memiliki pelabuhan untuk pintu perdagangan mengangkut barang ke pasar Eropa mengingat Pelabuhan Tanjung Api Api tidak kunjung terealisasi. 

"Jika melalui darat, misalnya melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, biaya logistik akan sangat mahal sekali," ujar dia,

Pada keadaan lain, kata dia, perusahaan lokal yang telah berdiri di Sumsel pada era 80-an justru tidak lagi beroperasi lantaran mengalihankan bisnis ke sektor lain atau berpindah tempat produksi ke Jawa.

"Sebelumnya, ada Intirub dan PT Krama Yudha Tiga Berlian. Akan tetapi, kini sudah tidak terdengar lagi di Sumsel," kata dia.

Kondisi tersebut, lanjut dia, makin diperparah iklim persaingan yang sedang berlangsung di pasar internasional. 

Produk olahan getah Sumsel mulai mendapatkan saingan baru, yakni dari Vietnam, Myanmar, dan Thailand dengan menawarkan produk berkualitas ekspor lebih baik.

"Saat ini pasar memiliki banyak pilihan karena pemain bukan Indonesia saja. Negara seperti Vietnam, Myanmar, dan Thailand sudah mampu menghasilkan produk yang lebih baik seperti karet berbentuk lembaran, sementara petani karet Sumsel sebatas menjual getah yang hanya dijadikan bongkahan dengan terlebih dahulu dicuci," kata Permana.

Lantaran petani sebatas getah berbentuk bongkahan, kata dia, yang melakukan penyempurnaan sebelum diekspor adalah pabrik pengolahan.

"Pabrik pun hanya sebatas membuat Sir 5, Sir 10, dan Sir 20 (berbentuk bongkahan yang sudah dipotong), sementara negara pesaing sudah membuat lembaran. Jelas yang dicari pasar adalah yang lembaran karena lebih mudah untuk mengolahnya jadi barang jadi," kata dia.

Ia mengatakan bahwa keengganan untuk membuat produk turunan yang mendekati keinginan pasar itu juga menjadi pangkal persoalan mengapa harga karet di tingkat petani Sumsel terbilang rendah.

Pemerintah telah menawarkan beragam solusi kepada petani. Namun, budaya yang berlangsung turun-temurun dalam berkebun karet menjadi kendala utama.

Berbagai forum edukasi pengolahan karet yang diperuntukkan kepada petani karet terbilang kurang mendapatkan respons positif.

"Biasa menghasilkan getah, jadi maunya getah terus. Mereka tidak mau memproses karena butuh waktu lama. Beda dengan jual getah bisa langsung dapat uang. Padahal, jika tahu, harga jual getah dengan jual lembaran itu bisa berselisih dua kali lipat," ujar dia.

Selain terkendala kebiasaan petani, pemerintah juga mendapati kenyataan berkurangnya peran koperasi unit desa (KUD) di dalam masyarakat perkebunan.

"Jika saja semua kompak dan percaya KUD, tentunya harga bisa dikendalikan oleh petani. Coba saja, jika pabrik tidak dapat bahan baku, tentunya tidak dapat beroperasi," kata dia. 

Kini, di tengah goncangan ekonomi yang melanda produk ekspor, sepatutnya berbagai pihak memaknai keadaan ini sebagai pemicu untuk bangkit dari ketidakmandirian.

Sudah saatnya, petani dan pemerintah saling bersatu padu untuk menaikkan derajat perkebunan karet Sumsel yang selama ini sebatas penyedia barang baku.

Petani diharapkan memperbaiki kualitas dengan menghasilkan produk olahan bermutu, sementara pemerintah menyediakan infastruktur pelabunan untuk mendorong munculnya investor agar masyarakat mendapatkan kehidupan lebih baik.