Dari Indonesia untuk Palestina

id palestina, rakyat palestina, Menlu Palestina, Riad Al-Malki, menlu indonesia, retno

Dari Indonesia untuk Palestina

Ilustrasi (Foto Antarasumsel.com/Feny Selly)

....Pengibaran bendera itu bukan hanya simbolis, tetapi langkah penting menuju keanggotaan tetap Palestina di PBB. Itu merupakan pengakuan universal untuk melegitimasi aspirasi nasional rakyat Palestina....
Jakarta, (ANTARA Sumsel) - Perjuangan panjang Palestina untuk menjadi negara merdeka dan berdaulat tampaknya masih sebatas harapan.

Terdapat enam isu utama yang perlu diselesaikan sebelum rakyat Palestina bisa benar-benar menghirup udara kemerdekaan yaitu tentang status Jerusalem, kembalinya pengungsi Palestina, pemukiman ilegal, batas wilayah, keamanan, dan ketersediaan air.

Dari keenam isu tersebut, Jerusalem dianggap sebagai masalah paling rumit, sensitif, dan paling sulit diselesaikan karena sama-sama diakui sebagai ibu kota Palestina dan Israel.

Selain itu, keberadaan Jerusalem sebagai Tanah Suci umat Yahudi, Muslim, dan Kristiani menjadi sumber konflik dan perselisihan yang mengatasnamakan agama.

Direktur jenderal organisasi HAM Palestina Al-Haq/Law in the Service of Man, Shawan Jabarin mengemukakan bahwa sejak aneksasi Jerusalem timur pada 1967, Israel telah menerapkan kebijakan komprehensif untuk memperkuat kendali di kota itu dan menerapkan kebijakan pembersihan etnis untuk mengusir rakyat Palestina.

"Pemindahan paksa, penghancuran rumah, dan meluasnya pendudukan di Jerusalem merupakan realita sehari-hari," katanya.

Dikatakannya, sekitar 120 ribu warga Palestina tidak diizinkan kembali ke Tepi Barat selama 1967-1989.

Penjelasan serupa disampaikan Menteri Luar Negeri Palestina Riad Al-Malki bahwa pendudukan ilegal dan kekerasan yang dilakukan Israel membuat rakyat Palestina kian menderita.

"Keluarga-keluarga kami dibakar, anak-anak muda kami dibunuh di jalan-jalan," tuturnya.

Menyadari pentingnya dukungan internasional terhadap penyelesaian konflik Israel-Palestina di Jerusalem, Indonesia pada 14-15 Desember 2015 bersedia menjadi tuan rumah Konferensi Internasional tentang Jerusalem yang diselenggarakan oleh Komite PBB untuk Palestina (CEIRPP) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Dalam pembukaan konferensi yang diikuti 25 negara anggota CEIRPP dan 24 negara pengamat itu, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menilai konflik berkepanjangan di Jerusalem yang merupakan ibu kota Palestina, disebabkan sikap Israel yang tidak menunjukkan komitmen sejati untuk mencapai perdamaian.

"Israel terus melakukan serangan teror di wilayah yang mereka duduki, ini jelas melanggar hukum internasional," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pendudukan Israel di Jerusalem tidak boleh terus berlanjut karena mengancam tatanan hukum internasional, menimbulkan ketegangan antarnegara, dan ketidakstabilan kawasan Timur Tengah.

Menlu juga menegaskan bahwa posisi Indonesia tentang Jerusalem timur sangat tegas dan tidak akan berubah, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 67/19 pada 29 November 2012.

"Jerusalem timur adalah ibu kota Palestina, maka resolusi PBB tentang status quo kota bersejarah itu sebagai pencapaian solusi akhir Palestina harus dihormati," kata dia.

Dalam konferensi bertema "Addressing the Present and Shaping the Future of Jerusalem" itu, Indonesia ingin memunculkan kembali isu Palestina di kalangan internasional yang kini tersingkir dengan isu lain seperti politik dan keamanan di Suriah, Yaman, serta ancaman kelompok bersenjata IS.

Menurut Menlu Retno, salah satu hal yang harus dibahas yakni bagaimana memperkuat hubungan antara warga Palestina dan Israel yang harus dimulai dengan menyadari pentingnya mewujudkan kehidupan berdampingan antarumat beragama dan berbeda latar belakang di Kota Suci Jerusalem.

"Saya percaya semangat hidup berdampingan sangat diperlukan sebagai dasar proses perdamaian yang sejati," tutur Menlu Retno.

    
   Hasil
Konferensi yang berlangsung selama dua hari tersebut membuahkan masukan tentang skenario penyelesaian konflik yang mungkin diterapkan di Jerusalem.

Fakta bahwa Israel menikmati 6 miliar dolar AS dari wilayah Palestina yang mereka duduki, menginspirasi Shawan Jabarin untuk mendesak boikot ekonomi dengan melarang produk-produk Israel.

Ia mendesak Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menerbitkan aturan kontrak bisnis untuk memastikan bahwa para pelaku bisnis "bersih" dan produk yang mereka tawarkan tidak terkait dengan pendudukan ilegal.

"Indonesia, Jordania, Arab Saudi, dan negara lain juga bisa menerbitkan aturan dalam negeri terkait hal tersebut. Untuk menjatuhkan sanksi tegas, semua negara harus bekerja sama juga dengan Pengadilan Pidana Internasional," tutur Shawan.

Sementara itu, akademisi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra beranggapan dialog antara pemimpin Muslim dan Yahudi dapat meningkatkan rasa saling menghormati berdasarkan kepentingan bersama untuk menciptakan perdamaian Palestina-Israel.

"Harus juga ada dialog di kalangan akademisi dan pegiat perdamaian dari kedua negara untuk menekan para pemimpin politik agar berkomitmen pada perdamaian, bukan kekerasan," tuturnya.

Indonesia sendiri melalui dua organisasi Islam terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah telah mengundang ulama Palestina untuk bergabung dalam dialog atau konferensi antarkeyakinan.

Pemerintah Indonesia memfasilitasi sebuah dialog antara kelompok-kelompok Palestina yang berselisih seperti Fatah dan Hamas.

Kegiatan serupa juga dilakukan oleh para pegiat dan akademisi Indonesia yang berpartisipasi menyuarakan perdamaian di Israel melalui konferensi, kuliah umum, dan kemah perdamaian.

Tradisi pluralisme dan multikulturalisme yang dimiliki Indonesia, menurut Azyumardi, menjadi sebuah aset yang bisa "dijual" dalam forum internasional dengan menunjukkan bahwa Indonesia merupakan titik temu umat berbagai agama dengan masyarakat majemuk.

Selain itu, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia, Indonesia bisa memperkenalkan konsep Islam moderat dan "wasatiyyah" atau Islam jalan tengah yang memiliki tradisi inklusivitas kuat, toleransi, dan hidup berdampingan dengan penganut agama lain.

Dengan nilai-nilai positif tersebut, Indonesia dapat membantu penguatan hubungan antara penganut Muslim Palestina dan Yahudi Israel yang selama puluhan tahun terlibat dalam konflik politik yang kemudian berkembang menjadi konflik agama.

"Kalangan moderat dari kedua negara harus memainkan peran lebih besar dalam penciptaan perdamaian antara Palestina dan Israel," kata Azyumardi.

Masukan dan gagasan dari para ahli yang bicara dalam forum tersebut dituangkan dalam Kesimpulan Pimpinan (Chair's Summary) yang akan dibahas dalam Sidang Umum PBB di New York, Amerika Serikat.

Kesimpulan itu diharapkan dapat dikembangkan menjadi formula penyelesaian konflik, juga untuk memastikan kepatuhan Israel terhadap hukum dan resolusi internasional yang selama ini diabaikan.

    
   Konsulat dan Pelatihan
Sebagai salah satu negara yang mendukung perjuangan bangsa Palestina dalam mencapai kemerdekaan sejati, pemerintah Indonesia berinisiatif membuka konsulat kehormatan di Ramallah pada awal 2016 dan akan dipimpin seorang perempuan Palestina.

"Konsul kehormatan kita itu memang warga Palestina, dia akan berkedudukan di Ramallah," ujar Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Hasan Kleib.

Pembukaan konsulat kehormatan di Ramallah sejauh ini dipandang sebagai upaya maksimal untuk menegaskan keberadaan Indonesia di Palestina.

Hasan juga menjelaskan bahwa konsul perempuan yang belum disebutkan namanya itu tidak akan menangani urusan politik atau proses perdamaian dengan Israel, namun hanya mewakili kepentingan-kepentingan warga negara Indonesia di Ramallah.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa konsulat kehormatan tersebut bukan hanya untuk meningkatkan representasi Indonesia di Ramallah, namun sebagai upaya Indonesia untuk lebih dekat dengan Palestina.

"Pihak Palestina menyetujui calon konsul kehormatan kita dan saat ini kita sedang dalam tahapan akhir proses administrasi (sebelum resmi dibuka)," tutur Menlu Retno usai pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Palestina Riad Al-Malki.

Selain pembukaan konsulat kehormatan, bentuk dukungan Indonesia terhadap Palestina juga diterjemahkan dalam pelatihan peningkatan kapasitas bagi 1.338 warga Palestina di bawah Kemitraan Strategis Baru Asia-Pasifik (NAASP) selama 2008-2013.

"Di bawah program NAASP untuk pembangunan kapasitas Palestina, Indonesia telah menginisiasi 128 program dan melatih 1.338 warga Palestina," ujar Menteri Retno.

Program pembangunan SDM dan kerja sama teknis yang dilakukan Indonesia melingkupi beberapa bidang, yaitu usaha kecil menengah, keuangan dan perpajakan, keuangan mikro, pertanian, pelatihan diplomatik secara reguler, kearsipan, kesehatan, dan energi.

Selanjutnya, pemberdayaan perempuan, demokratisasi dan pemerintahan yang baik, perindustrian, konservasi dan restorasi monumen dan situs, konstruksi, dan tekstil.

Selain memberikan program pelatihan, Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam Konferensi Kerja Sama antara Negara-Negara Asia Timur untuk Pengembangan Palestina (CEAPAD) dengan menjadi tuan rumah pada 2014, dan akan menghadiri pertemuan lanjutan pada 2016 di Jepang.

"Ini merupakan konsistensi sikap Indonesia untuk mendukung rakyat Palestina," tutur Menlu.

Saat menjadi tuan rumah 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA), April lalu, Indonesia dan negara peserta konferensi lainnya menghasilkan Deklarasi untuk Palestina. Dokumen tersebut berisi dukungan terhadap bangsa Palestina untuk memperoleh kemerdekaan sejati.

Indonesia juga mendukung pengibaran bendera Palestina sebagai negara pengamat non-anggota melalui di Markas Besar PBB pada 30 September 2015.

"Pengibaran bendera itu bukan hanya simbolis, tetapi langkah penting menuju keanggotaan tetap Palestina di PBB. Itu merupakan pengakuan universal untuk melegitimasi aspirasi nasional rakyat Palestina," tukas Menlu Retno.