Semangat pulihkan alam dengan merestorasi lahan gambut

id lahan gambut, peneliti, restorasi lahan gambut, kebakaran lahan, hutan tanaman industri

Semangat pulihkan alam dengan merestorasi lahan gambut

Satu juta ha lahan gambut di Sumsel terbakar (Foto Antarasumsel.com/Evan Ervani/15)

....Gagasan restorasi ini harus efektif dan efisien dan jangan menimbulkan masalah baru....
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Kebakaran lahan dan hutan sepanjang tahun 2015 telah menyadarkan bangsa ini pentingnya memulihkan alam dengan memperbaiki tata kelola lahan gambut.

Lahan gambut yang memiliki karakteristik unik karena basah dan berpori secara sengaja telah dibuat "overdrain" agar bisa ditanami tanaman kering hutan tanam industri (HTI), kelapa sawit dan pohon akasia.

Akibatnya, di saat musim kemarau, lahan gambut yang telah dibuka kubahnya ini menjadi rentan terbakar karena beragam sumber daya hayati yang ada di dalamnya sudah berubah menjadi bahan bakar, karena sejatinya gambut merupakan cikal bakal batu bara.

Tersulut sedikit saja, maka sangat sulit untuk dipadamkan karena api menjalar di bawah permukaan tanah karena kedalaman gambut berkisar 1,5 meter hingga 15 meter seperti di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Pada saat puncak kebakaran hutan dan lahan tahun ini, Satgas Kebakaran Hutan dan Lahan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan mencatat fakta mencegangkan karena kecepatan api mencapai 1-2 km per hari akibat dibantu kencangnya tiupan angin.

Akibatnya, total lahan yang terbakar tahun ini menurut data Kementerian Lingkungan Hidup mencapai 1,7 juta hektare dan memapar kabut asap bagi 45 juta jiwa di enam provinsi.

Sebanyak 17 orang meninggal, dan 501 orang di rawat di RS dan terdapat kerugian ekonomi sebesar 2 miliar dolar Amerika Serikat.

Lantaran itu, pemerintah merasa perlu mengkaji ulang mengenai tata kelola lahan gambut yang menjadi cadangan karbon dunia ini karena metode yang selama ini digunakan tidak dapat menghentikan kebakaran hutan dan lahan, yang sudah terjadi sejak setengah abad lalu.

Lalu, moratorium dipandang sebagai langkah paling tepat untuk jangka pendek sembari menemukan pola terbaik dalam mengelola lahan gambut.

Pemerintah melalui surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 5 November 2015, menyatakan bahwa pemerintah tidak lagi menerbitkan izin membuka lahan gambut.

Selain itu, perusahaan yang sudah memiliki izin dilarang untuk membuka lahan baru, dan lahan yang sudah terbakar diambil alih oleh negara.

Keputusan pemerintah ini mendapat respon positif dari kalangan penggiat lingkungan, tapi sebaliknya justru menuai resah bagi perusahaan perkebunan dan pemerintah kabupaten/kota.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, larangan menggunakan lahan gambut yang sudah mendapat izin ini justru memberikan ketidakpastikan hukum bagi investor perkebunan.

"Saat ini pengusaha menunggu, apa langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah setelah memutuskan moratorium. Mau semua berdiam diri saja seperti ini, atau apa ?," ucap Togar yang dijumpai seusai diskusi bertema "Restorasi Lahan Gambut".

Menurutnya, Gapki sepakat dengan rencana pemerintah memperbaiki tata kelola lahan gambut. Namun, upaya ini sebaiknya tidak mematikan bisnis perkebunan HTI yang sudah memberikan sumbangsih bagi perekonomian Indonesia. (Tahun 2015, ekspor sawit menyumbang 21 persen dari devisa negara).

Gapki sama sekali tidak anti restorasi lahan gambut seperti semangat yang didengungkan pemerintah, asalkan negara mau menyiapkan kompensasi atas investasi yang sudah dikeluarkan perusahaan.

"Restorasi boleh saja, Gapki tidak anti. Tapi bagaimana parameter dan indikator lahan yang harus direstorasi, dan kompesasinya. Asalkan Gapki dilibatkan, maka akan mendukung," ujar Togar.

Pertanyaan serupa juga mengelayuti pemerintah kabupaten/kota setelah pemerintah memutuskan moratorium izin karena pengambilalihan lahan terbakar oleh negera justru dikhawatirkan menimbulkan konflik lahan di masyarakat.

Sekretaris Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Husin mengatakan, saat ini pemerintah kabupaten memasang tanda patok pada lahan terbakar yang mencapai sekitar 300 ribu hektare karena mengkhawatirkan adanya perebutan lahan oleh warga.

Pertanyaannya saat ini, lantas bagaimana di saat musim kemarau karena pemerintah kabupaten dipastikan tidak akan sanggup menjaga ribuan hektare lahan gambut ini agar tidak terbakar.

"Jika lahan masih dikelola perusahaan perkebunan, maka jika terbakar menjadi tanggung jawab mereka. Tapi, dengan kembali ke negara seperti saat ini, bagaimana ?. Terus terang, pemkab tidak mampu menjaganya supaya tidak terbakar," kilah Husin.

Pemerintah ternyata tidak main-main dengan semangat untuk membenahi pengelolaan lahan gambut.

Rencana ini pun dilontarkan Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Paris, Prancis pada akhir November lalu.

Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan Indonesia telah memoratorium izin, mereview ulang izin lama, dan berencana merestorasi lahan gambut.

Presiden mengatakan pemerintah bisa saja mencabut izin pengelolaan hutan bila terbukti menyalahi peruntukan, dan akan mengembalikan fungsi-fungsi wilayah serapan air dan hutan di masa mendatang.



Restorasi 

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan terdapat dua kesalahan yang dilakukan pemerintah terdahulu terkait kebakaran hutan dan lahan, pertama yakni membuka tutupan lahan gambut, kedua menyerahkan lahan gambut untuk ditanami tanaman kering.

Akibatnya, kebakaran hutan dan lahan nyaris tidak tertangani selama setengah abat karena hingga kini belum ditemukan teknologi ampuh pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman kering yang tidak berisiko kebakaran.

Seperti diketahui kebakaran lahan terinformasi pertama kali melalui media massa pada 1967 yakni atas terbakarnya lahan perkebunan sawit seluas 2,5 hektera yang mengakibatkan kabut asap di Palembang.

Karena itu, pemerintah memilih untuk merestorasi lahan gambut yakni memulihkan lahan gambut menjadi seperti aslinya.

"Apa boleh buat dari pada begini setiap tahun. Karena itu harus terencana dan dari dasar, yaitu restorasi," kata JK.

Untuk merestorasi lahan gambut selama lima tahun, negara akan meminta bantuan swasta karena dibutuhkan dana yang besar.

"Saat ini skemanya sudah disiapkan," imbuh Wapres.

Direktur Wetlands International Indonesia, Nyoman Suryadiputra, mengatakan sangat mendukung rencana pemerintah untuk merestorasi lahan gambut ini.

"Tutup semua kanal, dan biarkan lahan gambut seperti aslinya yakni basah, jangan digunakan lagi. Itulah obat satu-satunya," kata dia.

Ia menilai, pemerintah mulai dari sekarang harus memikirkan mengenai model pengawasan terbaik agar program restorasi ini benar-benar berjalan ketika diterapkan di tingkat kabupaten/kota.

Pemerintah dapat membentuk badan restorasi atau dewan penasihat restorasi.

Kedua model ini memiliki kelebihan dan kekurangan, jika badan maka melibatkan Pegawai Negeri Sipil sehingga ada kemungkinan tidak begitu efektif karena ketika di lapangan menjadi kaku.

Tapi, jika membuat model seperti dewan penasihat maka akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, perusahaan, masyarakat, organisasi penggiat lingkungan, sehingga tidak ada satu pun lahan yang luput dari restorasi.

Sementara itu, pengamat lingkungan asal Institut Pertanian Bogor Ricky Avenzora mengatakan pemerintah harus mengkaji lebih mendalam sebelum merestorasi lahan gambut karena sektor perkebunan sawit dan Hutan Tanam Industri belum siap menghadapinya.

"Secara teori memang benar, bagaimana agar tidak terbakar maka hentikan penggunaan lahan gambut. Tapi harus diingat bahwa kondisi saat ini bukan berada dari titik nol, tapi sudah berubah. Artinya, sudah ada orang yang bergantung hidup dengan sawit dan HTI," tuturnya dalam sebuah diskusi bertema "Restorasi Lahan Gambut".

Ia mengatakan, bukannya tidak setuju pada restorasi tapi negara harus bisa membuat motif yang jelas atas maksud ini mengingat sudah memiliki pengaturan komposisi pembagian penggunaan lahan gambut dan hutan.

Oleh karena itu, ia mengajak berbagai pihak untuk mewaspadai faktor lain karena saat ini industri sawit Indonesia berada pada peringkat satu dunia, sementara industri bubur kertas berada pada urutan ke-6.

Lalu, negara-negara yang mempermasalahkan industri sawit Indonesia pada umumnya merupakan saingan Indonesia di bisnis bubur kertas dan sawit.

"Artinya gagasan restorasi ini harus efektif dan efisien dan jangan menimbulkan masalah baru," tukas dia.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2015 telah menarik perhatian dunia karena Indonesia memiliki luas hutan terluas nomor tiga di dunia, dan luas lahan gambut terluas di Asia yakni mencapai 20,6 juta hektare (sudah terpakai 8,2 hektera).

Mereka berbondong-bondong menawarkan bantuan mulai dari dana perbaikan lingkungan, riset, hingga mengirimkan tim pemadam secara langsung ke lokasi kebakaran seperti yang dilakukan Malaysia dan Australia.

Namun, terlepas dari sokongan warga dunia itu, semua tetap kembali pada pemerintah karena sejatinya pemerintah yang menjadi benteng terakhir penyelamatan lingkungan.

Di tengah perekonomian dunia yang cenderung kapitalis sehingga membuat semua pihak cenderung serakah dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah memilih untuk merestorasi lahan gambut.