Negara 'versus' perusahaan perkebunan di meja hijau

id sidang klhk, sidang pt bmh, kebakaran hutan dan lahan

Negara 'versus' perusahaan perkebunan di meja hijau

Hakim Ketua Parlas Nababan (tengah) berdiskusi dengan saksi ahli dari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hero (kiri) saat sidang lapangan gugatan kebakaran lahan tahun 2014 di Districk Simpang Tiga, Tulung Selapan, Ogan Komering Ilir

...Bagaimana mungkin memutuskan orang bersalah tanpa ada pembuktian. Di Akhirat saja, akan ditanya dulu tangan dan kaki, apakah memang berbuat...
Palembang, 28/12 (Antara) - Tahun ini menjadi catatan sejarah dalam penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melayangkan gugatan perdata bernilai fantastis senilai Rp7,8 triliun ke sebuah perusahaan perkebunan Hutan Tanam Industri yang beroperasi di Sumatera Selatan, PT Bumi Mekar Hijau atas dugaan perbuatan melawan hukum.

Gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri Palembang sejak Februari 2015 dan mulai disidangkan sejak Juni ini, sudah melewati proses panjang yang menguras waktu, tenaga dan pikiran, mulai dari menghadirkan barang bukti, keterangan saksi dan ahli, hingga sidang di lokasi kejadian.

Bukan hanya masyarakat Indonesia yang menanti keputusan final majelis hakim yang rencananya akan dibacakan pada Rabu (30/12). Warga dunia melalui komunitas pecinta lingkungan internasional yang kerap hadir di persidangan juga bertanya-tanya muara dari kasus kebakaran hutan dan lahan ketika masuk ranah pengadilan. Apakah nilai gugatan itu akan benar-benar dikabulkan majelis hakim ?

Pihak penggugat KLHK menyatakan sangat optimistis bakal memenangkan gugatan perdata atas terbakarnya lahan hutan tanam industri pohon akasia seluas 20 ribu hektare pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) itu.

Penasihat hukum KLHK Umar Suyudi mengatakan, rasa percaya diri itu dilatari keberhasilan pemerintah dalam memenangkan gugatan perdata senilai Rp366 miliar atas PT Kallista Alam Aceh yang sudah berkekuatan hukum (inkrah) pada 29 Agustus 2015.

"KLHK merujuk pada kasus Kallista, kurang lebih untuk PT BMH ini ada kemiripan. Upaya KLHK pada kasus Kallista juga dilakukan di kasus PT BMH ini," kata dia.

KLHK sangat yakin bahwa gugatan ini akan menjerat PT BMH karena didukung oleh dalil dan keterangan ahli hukum dan lingkungan hidup. 

Salah satu dalil yakni teori segitiga api bahwa kebakaran terjadi karena ada oksigen, udara, dan yang menyulut (faktor manusia), kemudian keterangan ahli bahwa UU Lingkungan Hidup mengarah pada pertanggung jawaban mutlak tanpa pembuktian (strick liability).

Namun sebaliknya, saksi dari pihak tergugat, mantan Hakim Agung Arbijoto yang memberikan keterangan berbeda dengan menilai bahwa gugatan KLHK ini hanya bisa lolos jika memenuhi syarat formil dan materil. Sementara ia menilai, keduanya tidak terpenuhi karena tidak ada bukti dan hanya berlandaskan asumsi ada kebakaran lahan di kawasan konsensi. 

Menurutnya, kasus ini sedari awal ditolak pengadilan karena UU harus bersumber dari asas, asas bersumber dari teori, dan teori bersumber dari filsafat, dan filsafat yang dianut Indonesia yakni Pancasila.

"Bagaimana mungkin memutuskan orang bersalah tanpa ada pembuktian. Di Akhirat saja, akan ditanya dulu tangan dan kaki, apakah memang berbuat," kata dia.

Jika merujuk pada materi gugatan yakni dugaan melanggar hukum, Arbijoto menilai, jika pihak yang digugat sudah memenuhi semua ketentuan (persyarat izin, sarana dan prasarana kebakaran) maka apa yang didugakan seharusnya dibatalkan. "Ini faktor alam, masak Tuhan yang mau disalahkan," ujar dia. 

Ahli hukum lingkungan hidup Atja Sondjaja juga mengatakan kondisi luar biasa (force majeure) bisa dinyatakan dalam kasus kebakaran lahan asalkan dapat dibuktikan melalui badan berakreditasi terdapat pengaruh cuaca. Jika kondisi ini ditetapkan maka perusahaan dapat lepas dari gugatan.

"Ini pun harus dilihat lagi, apakah perusahaan yang digugat membakar lahan telah menerapkan seluruh standar operasional prosedur. Jika sudah diterapkan tapi memang ada pengaruh cuaca, maka bisa ditetapkan kondisi force majeure," kata mantan hakim agung ini.

Terkait dengan hal ini, ahli hukum lingkungan hidup dari Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana dalam keterangannya sebagai saksi ahli yang dihadirkan penggugat, Selasa (20/10), mengatakan, sebenarnya negara tidak perlu kesulitan untuk menyeret pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan.

Menurutnya, Pasal 88 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menegaskan bahwa pemilik izin harus bertanggung jawab mutlak (strict liability).

Dalam pasal ini dinyatakan bahwa setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup maka bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Bahkan, ia melanjutkan, pasal 49 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan lebih ketat dan masuk kategori absolut yakni pemilik izin tidak memiliki kesempatan untuk menyangkal. Ketentuan ini juga diturunkan ke pasal 18 PP Nomor 4 tahun 2001 dan pasal 30 PP Nomor 45 tahun 2004.

"Berdasarkan ketentuan UU ini, maka khusus kebakaran lahan dan hutan artinya tanpa harus ada unsur kesalahan dan tidak ada celah untuk mengelak. Jika kedua UU ini digabungkan maka maknanya strict absolut," kata dosen mata kuliah hukum lingkungan hidup ini.

Menurutnya, UU terkait lingkungan hidup ini menerapkan pertangungjawaban penuh yakni tidak perlu adanya unsur kesalahan ini tak lain untuk membuat semua kalangan sangat berhati-hati atas perilakunya terhadap lingkungan yang kategori beresiko tinggi, dan menyadari sulitnya melakukan pembuktian.

"Dalam Undang-Undang ini sebenarnya semuanya jelas, bahwa dapat digunakan untuk proses hukum perdata, pidana, dan administrasi, jadi tidak ada alasan lagi meskipun pemilik izin sudah sedemikian hati-hatinya, tetap saja mereka yang bertanggung jawab," kata dia.



Pergulatan

Persidangan yang penuh dengan pergulatan telah diprediksi oleh Direktur Eksekutif Daerah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko karena ia mengakui tidak mudah untuk menjerat perusahaan dengan gugatan melawan hukum telah membakar lahan.

Lantaran itu, sedari awal setelah gugatan dilayangkan pada 3 Februari 2015, Walhi sudah mengingatkan pemerintah untuk secara serius membuat materi gugatan agar tidak mentah di muka persidangan.

Namun, terlepas dari sisi lemah materi gugatan ini, gugatan ini sangat penting untuk langkah penegakan hukum di bidang lingkungan di Tanah Air.

Ketukan palu hakim diharapkan Walhi dapat membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perhutanan menjadi jera untuk aksi tipu-tipu membakar lahan (memakai tangan warga). 

Dia juga meminta majelis hakim tidak terpengaruh intervensi meski perusahaan yang terlibat adalah perusahaan besar di bidangnya. 

"Jika nanti pemerintah kalah, nanti banyak korporasi baik di Sumsel maupun tingkat nasional yang akan lepas dari jeratan hukum. Hakim juga harus berpihak pada kebenaran yang hakiki dan jangan takut pada intervensi dari pihak mana pun," kata Hadi.

Tim penasihat hukum PT BMH dalam pembacaan kesimpulannya pekan lalu memandang gugatan KLHK ini sangat lemah dan tidak ada dasar karena hingga persidangan terakhir (di lokasi), pihak penggugat tidak dapat membuktikan siapa pelaku dan titik kebakaran.

Selain itu, lahan yang dimaksud itu bukan masuk rencana kerja perusahaan tahun 2014, selain itu berdasarkan uji laboratorium dibuktikan bahwa kebakaran itu terjadi di lahan mineral (bukan lahan gambut).

"Jadi lahan ini masih bisa digunakan, karena masih menyimpan air dan tidak rusak sama sekali," ujar penasihat hukum PT BMH.

Atas dasar itu, tergugat berharap majelis hakim bebas dari tekanan, sehingga bisa membuat suatu keputusan yang adil meski kasus lingkungan kebakaran lahan yang menimpa perusahaannya sedang menyita perhatian masyarakat.

"Perusahaan menyadari bahwa kasus kebakaran lahan ini sedang menarik perhatian, tapi kami cukup optimistis bahwa hakim akan bertindak adil dan memutuskan seadil-adilnya berdasarkan fakta dan keterangan saksi di persidangan," kata Maurice.

Perusahaan juga mempertanyakan besaran nilai gugatan ini. Negara menghitung melalui lembaga penelitian Institut Pertanian Bogor (belum bersertifikasi, tapi untuk kerusakan tanah sudah bersertifikasi internasional) telah mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.

Menurut perusahaan, perhitungan ini terlalu berlebihan karena kondisi lingkungan dinilai dalam kondisi terbaik, sementara saat menerima lahan pada 2004 sudah rusak, setelah terjadi kebakaran lahan dan hutan hebat di Sumatera pada 1997.

"Dari alamnya saja sudah berubah ketika diterima, lalu perusahaan memperbaikinya. Jika nilai gugatannya seperti ini, maka sama saja seperti gubuk yang terbakar tapi minta ganti rumah. Seharusnya melihat kondisi awal, bukan kondisi idealnya, kecuali memang dari awal sudah bagus," kata dia.

Persoalan kebakaran lahan yang melanda negeri ini mulai terdata sejak tahun 1967 yakni mulai ditemukan bencana kabut asap di Palembang atas terbakarnya lahan seluas 2,5 hektare.

Setelah berjalan setengah abat, pada 2015, lahan terbakar sudah mencapai 1,7 juta hektare yang mengakibatkan bencana kabut asal yang memapar 43 juta orang di enam provinsi. Sebanyak 17 orang meninggal, dan 501 orang di rawat di RS dan terdapat kerugian sebesar 2 miliar dolar Amerika Serikat.

Penegakan hukum dipandang sangat penting karena kaitannya pada perubahan perilaku, sementara hampir 90 persen disebabkan ulah manusia, selain ada juga faktor lain yakni ekosistem dan fenomena el nino. Kini, masyarakat menunggu langkah-langkah nyata yang menunjukkan bahwa semua pihak tidak abai dengan bencana ini.***2***