Mendekatkan jarak ''si miskin'' dan ''si kaya''

id ekonomi, ekonomi indonesia, masyarat miskin, masyarakat kaya,

Mendekatkan jarak ''si miskin'' dan ''si kaya''

Ilustrasi (Foto Antarasumsel.com/Feny Selly)

...Penguasaan yang luar biasa oleh sekelompok kecil masyarakat Indonesia terhadap kekayaan di republik ini....
Jakarta, (ANTARA Sumsel) - Ekonomi Indonesia bisa saja tumbuh tinggi, namun pertumbuhan yang melejit tidak otomatis menjamin manfaat ekonomi terdistribusi secara adil untuk seluruh lapisan masyarakat.

Ibarat bola salju, masalah pemerataan manfaat ekonomi di Indonesia, sejak 15 tahun terakhir terus menggelinding dan membesar.

Pascareformasi, atau terhitung sejak tahun 2000, ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh enam persen. Sebuah "prestasi" yang mengantarkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk kelompok G-20.

Namun, sejak 15 tahun terakhir itu pula, salah satu ukuran terpopuler ketimpangan yakni gini rasio di Indonesia menunjukkan pelebaran yang signifikan.

Perhitungan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat gini rasio Indonesia pada 2002 sebesar 0,329. Perhitungan termutakhir pada Maret 2015 menunjukkan gini rasio bercokol di 0,41.

Mengkonfirmasi data terakhir di Desember 2015, Deputi Kependudukan dan Ketengakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Rahma Iryanti menyebutkan rasio gini sudah turun ke 0,408. Angka 0 gini rasio menunjukan kesetaraan sepenuhnya. Sedangkan angka 0,100 menunjukkan ketidaksetaraan sepenuhnya.

Data rinci terakhir yang diungkapkan BPS menunjukkan peningkatan rasio gini banyak terjadi di wilayah-wilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ibarat pedang bermata dua, kebijakan mendorong pertumbuhan yang tinggi selama ini juga ternyata berdampak pada rasio gini yang membengkak.

Papua menjadi wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada 2013 sebesar 14,84 persen, namun rasio gininya pun paling besar di 0,442. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara kedua tertinggi saat itu sebesar 9,38 persen dan Papua Barat 9,3 persen. Setali tiga uang, rasio gini wilayah tersebut juga sangat besar, masing-masing 0,426 dan 0,431.

Lalu, apakah ada kekeliruan dalam kebijakan membangun struktur perekonomian dalam 15 tahun terakhir ? Ataukah benar pandangan yang kerap beredar, yang menyebutkan pertumbuhan dan pemerataan kerap saling meniadakan ?.

Menurut Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, dalam seminar kebijakan fiskal di Bali, selama ini ada dua pandangan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang kuat selalu berkonsekuensi pada melebarnya ketimpangan. Namun, teori lain menyebutkan, pertumbuhan dan pemerataan bisa beriringan.

    
Karena Ketimpangan Peluang
Laporan Bank Dunia pada November 2015 lalu, salah satunya menitikberatkan pada ketimpangan kesempatan dan peluang masyarakat bawah yang akhirnya memicu ketimpangan ekonomi di Indonesia.

Mengutip data WHO dan Susenas, Bank Dunia melaporkan tingkat kesempatan memperoleh akses sosial yang baik bagi masyarakat miskin di Indonesia cukup rendah, bahkan jauh lebih rendah dibanding negara-negara di Asia Tenggara.

Ketimpangan peluang itu disebut sebagai faktor ketimpangan "di luar kendali individu" yang disebabkan buruknya akses kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak. Misalnya, akses nutrisi, air bersih dan sanitasi yang buruk bagi anak-anak telah meyebabkan Indonesia menempati posisi kedua dari bawah di Asia Tenggara untuk jumlah anak yang memiiliki tinggi tubuh ideal (sebesar 39 persen).

Faktor buruknya kesehatan ini yang menyebabkan kemampuan kognitif inidvidu menjadi lambat dibandingkan anak-anak yang tumbuh sehat, sehingga tingkat pendidikan yang diperoleh menjadi rendah dan mendapat penghasilan yang tidak memadai saat dewasa. Ini adalah salah satu akar dari masalah ketimpangan ekonomi di Indonesia.

Oleh karena itu, Bank Dunia meminta pemerintah untuk melakukan empat hal yakni memperbaiki fasilitas dan layanan publik di daerah terutama untuk masyarakat miskin, meningkatkan akses dan keterampilan pekerja masa kini, meningkatkan perlindungan sosial untuk rumah tangga, dan mengoptimalkan pajak dan belanja fiskal untuk program penurunan ketimpangan.

    
Posisi Indonesia
Berbagai laporan menyebutkan, masalah ketimpangan kesejahteraan merupakan tantangan besar terutama untuk negara-negara berkembang. Bank Dunia menyimpulkan, selain dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi, --atau yang dirumuskan Bappenas sebagai bentuk pertumbuhan tidak berkualitas--, ketimpangan juga dapat memicu konflik sosial.

Suahasil, selaku otoritas fiskal, menyebutkan Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, ingin mendorong pertumbuhan tinggi sekaligus mendorong ekonomi yang berkeadilan. Hal tersebut diterjemahkan juga dalam Konsep Nawacita dengan konsep ekonomi yang berkeadilan, dan membangun dari pinggiran.

Namun, menurut Suahasil, hasil dari upaya untuk mendorong ekonomi berkeadilan, dan menurunkan ketimpangan tidak bisa dirasakan dalam jangka pendek. Dia menyebutkan Brazil saja, membutuhkan waktu 10 tahun untuk menurunkan rasio gini sebesar 0,1 dari 0,6 ke 0,5.

Indonesia menargetkan pada 2016 rasio gini dapat turun ke 0,39, dibarengi dengan tingkat kemiskinan yang turun ke 9-10 persen, tingkat pengangguran 5,2-5,5 persen dan Indeks Pembangunan Manusia sebesar 70,10.

Suahasil lebih menekankan pentingnya konsistensi dalam mereformasi kebijakan fiskal untuk lebih "pro-poor", "pro-job" dalam kerangka mendorong ekonomi yang berkeadilan.

Untuk masalah pendidikan dan kesehatan, Suahasil mengatakan, perbaikan kebijakan fiskal diterapkan dengan amanat konstitusi yang mewajibkan anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari belanja negara dan pendidikan sebesar 20 persen.

    
Reformasi Fiskal
Suahasil mengatakan reformasi fiskal untuk ekonomi yang berkeadilan sudah dimulai dengan dua terobosan. Pertama memangkas subsidi energi, serta mengubah mekanisme subsidi agar tepat sasaran menyentuh masyarakat miskin.

Ruang fiskal dari pemangkasan subsidi energi antara lain digunakan untuk memperbesar alokasi anggaran program perlindungan sosial dan pembangunan infrastruktur.

Program perlindungan sosial merupakan "bantalan" untuk melindungi masyarakat bawah. Sedangkan pembangunan infrastruktur memberikan akses yang memadai bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan infrastruktur pula, diharapkan kue ekonomi terdistribusi ke masyarakat bawah.

Kemenkeu memiliki skenario, anggaran subsidi energi hanya 0,8 persen pada 2016, kemudian turun menjadi 0,5 persen pada 2017, 0,4 persen pada 2018 dan 0,3 persen pada 2019.

Relokasi dari subsidi energi tersebut akan meningkatkan anggaran belanja modal termasuk infrastruktur di APBN yang pada 2015 baru sebesar 2,2 persen dari PDB menjadi 2,5 persen di 2016, 4,0 persen di 2017, 4,6 persen di 2018, 5,3 persen di 2019.

Kedua, dalam APBN, pemerintah juga mendorong desentralisasi fiskal dengan meningkatkan alokasi anggaran belanja transfer ke daerah dan dana desa, sekaligus memperkecil selisih jumlah anggaran dengan pagu pemerintah pusat.

Belanja transfer ke daerah dan dana desa yang dialokasikan dalam APBN 2016 sebesar Rp770,17 triliun atau 36 persennya dari total belanja negara.

Dari kebijakan pembangunan, pemerintah menyatakan bahwa manufaktur dan sektor padat karya lainnya akan menjadi sektor priotitas di 2016.

Menurut Rahma Iryanti, saat 2009-2011 ketika periode ketimpangan meningkat, sektor industri manufaktur tumbuh lambat. Seharusnya sektor manufaktur dikembangkan, karena sektor tersebut paling efektif menyerap banyak tenaga kerja.

Pertumbuhan ekonomi di periode itu ditopang ekspor komoditas berbasis sumber daya alam yang dinilai lebih menguntungkan para pemilik modal dan lahan.

Alhasil, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja juga menurun menjadi sekitar 1 persen pertumbuhan berdaya serap 250 ribu tenaga kerja.

Selain kebijakan mendorong stimulus bagi masyarakat miksin, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga menyebutkan besarnya ketimpangan karena tinggi konsentrasi kekayaan pada segelintir pihak. Namun, diakuinya, tingginya pengumpulan kekayaan oleh segelintir pihak itu, karena tarif pajak yang kurang progresif.

"Sehingga masih terjadi penguasaan yang luar biasa oleh sekelompok kecil masyarakat Indonesia terhadap kekayaan di republik ini," ujarnya.

"Kebijakan fiskal kita sekarang berhadapan dengan kebutuhan pertumbuha ekonomi tinggi, tapi pada saat yang sama, kita juga ada masalah dengan tingkat kualitas. Tentu kebijakan fiskal sangat berperan untuk menunjang pertumbuhan tinggi dan berkeadilan," tambahnya.