Gugatan KLHK antiklimaks di penghujung tahun

id sidang kebakaran lahan, gugatan kebakaran lahan, klhk, kebakaran hutan

Gugatan KLHK antiklimaks di penghujung tahun

Saksi Ahli Hukum Perdata Arbijoto dari PT Bumi Mekar Hijau (BMH) memberikan keterangan di Persidangan gugatan kebakaran lahan tahun 2014 di Pengadilan Negeri (PN), Palembang, Sumsel. (Foto Antarasumsel.com/Nova Wahyudi/15/den)

Palembang, 30/12 (Antara) - Optimisme pemerintah dapat menjerat perusahaan perkebunan di Sumatera Selatan, PT Bumi Mekar Hijau, harus berakhir antiklimaks ketika proses hukum masuk ranah pengadilan perdata.

Pemerintah yang awalnya sangat percaya diri karena berkaca dari kasus gugatan perdata terhadap tergugat, PT Kallista Alam Aceh, senilai Rp366 miliar yang berhasil dimenangi di tingkat kasasi. Kini, harus menerima kenyataan bahwa tidak mudah menjerat perusahaan dari sisi perdata, atau sama sulitnya seperti di sisi pidana.

Majelis hakim Pengadilan Tinggi Palembang yang diketuai Parlas Nababan, Rabu, memutuskan menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap tergugat, PT Bumi Mekar Hijau, dan sekaligus membebani biaya perkara Rp10.521.000,00 kepada pihak penggugat.

Putusan ini sekaligus menandai berakhirnya pertarungan KLHK melawan PT BMH yang sudah berlangsung sejak Februari 2015 dari proses mediasi hingga persidangan di tingkat pengadilan negeri. 

Dalam pembacaan putusan pada sidang terbuka yang turut dihadiri kedua belah pihak, organisasi penggiat lingkungan, dan puluhan awak media lokal dan internasional ini, hakim menyatakan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan adanya perbuatan melawan hukum beserta nilai kerugian.

Majelis hakim yang terdiri atas Parlas Nababan (ketua), Eli Warti (anggota) dan Kartidjo (anggota/hakim lingkungan) menilai justru PT BMH yang mengalami kerugian atas terbakarnya areal seluas 20.000 hektare pada tahun 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Selain itu, adanya faktor lain juga menjadi pertimbangan hakim, di antaranya perusahaan sudah memenuhi peralatan pengendalian kebakaran berdasarkan keterangan sejumlah ahli, yakni adanya menara api, pompa air, eskavator, dan regu pemadam kebakaran.

Hakim menilai perusahaan tidak dapat digugat lantaran tidak memenuhi sarana dan prasarana karena dari sisi skala jumlah, hingga kini pemerintah juga belum mengeluarkan peraturan bakunya.

Kemudian, lahan yang terbakar itu masih dapat ditanami dan tanaman tetap tumbuh subur (berdasarkan peninjauan ketika menggelar sidang di lapangan), adanya pelaporan secara reguler yang dilakukan perusahaan, dan diketahui bahwa tidak ada laporan kerusakan lahan di kawasan Byuku di Dinas Kehutanan OKI.

Gugatan juga dinilai prematur karena hingga detik terakhir tidak dapat menunjukkan persisnya waktu dan lokasi kejadian, eksepsi gugatan juga kabur, dan dalil tidak jelas.

Sementara itu, berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium diketahui bahwa tidak ada indikasi tanaman rusak karena setelah terbakar justru tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik karena unsur hara yang tetap terjaga.

Kemudian, pihak penggugat juga tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi seperti yang digugatkan dengan nilai nominal Rp7,8 triliun, seperti adanya perhitungan kehilangan unsur hara, kehilangan keanekaragaman hayati.

Dengan demikian, hakim menyatakan tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian.

Atas dasar pertimbangan itu, hakim menilai bahwa pengugat tidak dapat membuktikan adanya perbuatan melawan hukum.



Banding

Negara melayangkan gugatan dengan jumlah fantastis Rp7,8 triliun atas terbakarnya lahan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20.000 hektare milik PT BMH.

Sejak awal, perusahaan juga mempertanyakan besaran nilai gugatan ini. 

Negara menghitung melalui lembaga penelitian Institut Pertanian Bogor (belum bersertifikasi, tetapi untuk kerusakan tanah sudah bersertifikasi internasional) telah mengalami kerugian lingkungan hidup sebesar Rp2,6 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp5,2 triliun dengan total Rp7,8 triliun.

Namun, perhitungan itu dipandang lemah oleh hakim karena hanya bersumber dari lembaga penelitian Intitut Pertanian Bogor (IPB) yang diketahui belum bersertifikasi, padahal undang-undang mengharuskan untuk dijadikan bukti di pengadilan harus dari lembaga bersertifikasi.

Kemudian, hingga detik terakhir, penggugat juga tidak dapat menunjukkan dengan pasti mengenai waktu dan titik kebakaran.

Saksi warga yang sempat dihadirkan juga bukan saksi yang melihat langsung, melainkan saksi yang hanya mendengar dari warga lain.

Ada seorang saksi yang dihadirkan oleh KLHK, yakni warga yang memancing di lokasi kebakaran pada dua pekan setelah kejadian.

Sulitnya memenangkan gugatan ini, terutama dalam menghadirkan bukti juga diakui oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan Hadi Jatmiko.

Sejak awal, Walhi sudah mengingatkan pemerintah untuk benar-benar serius terhadap kasus itu dengan menyiapkan penasihat hukum andal, hingga ahli dan saksi.

"Di awal, Walhi sudah meminta majelis hakim diganti karena tidak bersertifikat lingkungan sehingga mereka tidak mengerti esensi penyelamatan lingkungan. Soal ahli, sebenarnya ada yang sudah andal, seperti Andri Wibisana yang mengatakan bahwa UU Lingkungan Hidup itu sifatnya `strict liability` (pertanggung jawaban mutlak)," kata Hadi.

Namun, terlepas dari kegagalan ini, Wahli mengapresiasi langkah pemerintah yang memperkarakan perdata perusahaan perkebunan.

"Walhi berharap untuk banding di Pengadilan Tinggi benar-benar diurus. Jika perlu penasihat hukum dicari yang benar-benar bagus, dan sebaiknya melibatkan akademisi dan pengiat lingkungan agar cara yang dipilih menjadi tepat," kata dia.

KLHK menilai putusan hakim terkait gugatan negara ke PT BMH senilai Rp7,8 trilun tidak mempertimbangkan fakta sehingga memutuskan untuk banding ke tingkat Pengadilan Tinggi.

Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani di Palembang, Rabu, seusai mendengar putusan di Pengadilan Negeri, mengatakan bahwa seharusnya majelis hakim mempertimbangkan fakta bahwa memang benar telah terjadi kebakaran di areal milik PT BMH.

Kemudian, hakim juga hanya melihat kerugian dari sisi kerusakan tanah, tidak menilai lebih jauh seperti dampaknya bagi lingkungan pada masa datang.

"Selain itu, bukankah di persidangan berdasarkan keterangan ahli, diketahui bahwa perusahaan tidak memiliki peralatan yang memadai. Demi keadilan bagi rakyat yang selama ini menderita, pemerintah memutuskan banding," kata Rasio.

Menurut dia, majelis hakim juga tidak mempertimbangkan makna dari UU Lingkungan Hidup yang sejatinya mewajibkan pemilik izin bertanggung jawab mutlak atas kebakaran yang ada di areal konsesinya, tanpa melihat penyebabnya.

"Satu lagi yang penting bahwa kebakaran ini malah terjadi berulang, bukan saja 2014, melainkan juga pada tahun 2015. Pemerintah juga telah membekukan izin PT BMH, seharusnya hakim juga mempertimbangkan ini," katanya.

Ketua Tim Penasihat Hukum PT BMH Maurice sejak awal pihaknya optimistis karena menilai gugatan tersebut prematur, tidak ada dalil yang kuat dan terlalu mengada-ada seperti yang menjadi pertimbangan majelis hakim.

Selain itu, perhitungan nilai kerugian ini juga terlalu berlebihan karena kondisi lingkungan dinilai dalam kondisi terbaik, sementara saat menerima lahan pada tahun 2004 sudah rusak setelah terjadi kebakaran lahan dan hutan hebat di Sumatera pada tahun 1997.

"Saat mendapatkan lahan, perusahaan mendapatkan lahan terdegradasi atau rusak, kemudian menginvestasikan dana Rp1,2 triliun. Lantas logikanya di mana jika perusahaan membakar, atau dianggap (lalai) karena, toh, pohon-pohon akasia itu justru sedang siap panen," kata Maurice.

Kasus tersebut mendapatkan perhatian luas dari masyarakat karena menilai penegakan hukum terkait dengan kasus kebakaran hutan dan lahan belum dilakukan sebagaimana mestinya.

Bagi pemerintah, hasil itu belum final karena masih ada upaya banding. Sementara itu, bagi PT BMH, hasil ini sudah bisa dijadikan acuan bahwa sesuatu yang tidak logis menuduh perusahaan yang sudah menginvestasikan dana hingga triliunan rupiah membakar lahannya sendiri. Lantas bagi masyarakat?