Tersandera suku bunga The Fed

id the fed, suku bunga, bank indonesia, dolar, rupiah

Tersandera suku bunga The Fed

Dolar AS (ANTARA FOTO)

...Pasar selalu berhasil mencuri start dan merespon secara berlebihan...
Palembang (ANTARA Sumsel) - 2015 disebut sejumlah ekonom dan analis pasar sebagai tahun yang aneh karena hampir satu tahun tersandera oleh rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed.

Setiap menjelang rapat The Fed, Federal Open Market Committee, nilai tukar dolar AS selalu menguat lebih dulu.

Pasar selalu berhasil mencuri start dan merespon secara berlebihan, akibatnya The Fed selalu mengurungkan niatnya karena khawatir mata uangnya menjadi menguat lebih lanjut sehingga akan menurunkan daya saing produk AS.

Namun, di sisi lain, Amerika Serikat merasa penting menaikkan suku bunga untuk memberikan sinyal bahwa perekonomian mereka sudah membaik.

Dengan begitu, investor Negeri Paman Sam yang sebelumnya kabur akibat krisis AS pada 2008-2009 diharapkan pulang kampung untuk memacu pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam.

Pada 2015, The Fed menilai menaikkan suku bunga menjadi sesuatu yang urgensi karena rezim likuiditas longgar (easy money policy) harus segera diakhiri.

Kebijakan likuiditas longgar merupakan respon untuk mengatasi krisis subprime mortgage 2008-2009.

Pada saat itu, The Fed membuat kebijakan mencetak uang (quantitative easing) untuk menambah uang yang beredar di AS karena ekonomi sangat lemah.

Sayangnya, uang yang beredar itu tidak semuanya digunakan di negeri Paman Sam dan sebagian justru beredar di negara lain.

Jika likuiditas longgar terus dipertahankan, The Fed khawatir akan rawan digunakan untuk spekulasi karena total uang yang dicetak sudah mencapai 4,2 triliun dolar AS.

Sebenarnya, rencana menaikkan suku bunga ini sudah menyeruak sejak Mei 2013, saat perekonomian AS telah menunjukkan tanda-tanda bakal pulih. The Fed berencana menaikkan suku bunga sebesar 0,25 persen.

Namun, pada 2015 bisa dikatakan menjadi puncak kegamangan rencana kenaikan suku bunga ini, dan kondisi ini berdampak luar biasa pada perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia.

Dalam setahun ini, rupiah terdepresiasi tajam melebihi potensinya. Rupiah sempat berada dikisaran Rp14.700 per dolar AS atau sangat tidak merefleksikan kondisi objektifnya karena terlalu murah.

Akibatnya, cadangan devisa negara pun tergerus tajam menjadi 100 miliar dolar, tapi jika dibandingkan negara lain seperti Malaysia, dan Rusia maka lebih baik. Bahkan Tiongkok yang dikenal memiliki cadangan devisa terbesar di dunia mencapai 4 triliun dolar AS mengalami penurunan hingga 11 persen.

Lalu, setelah perekonomian dunia dibuat tak menentu, akhirnya pada pertengahan Desember, The Fed menaikkan suku bunga karena menilai tidak ada lagi hal yang mengganjal karena variabel ekonomi makro di AS sudah sangat mendukung.

Gubernur The Fed Janet L Yellen menyatakan, semua dalam kondisi prima seperti pertumbuhan ekonomi di atas dua persen, pengangguran 5 persen, penenyerapan tenaga kerja di atas 200.000 orang per bulan, dan inflasi rendah di bawah 1 persen.



Lantas bagaimana dengan Indonesia

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga Bank Indonesia sebesar 7,50 persen, dengan suku bunga deposit facility 5,50 persen dan lending facility pada level 8,0 persen.

BI memutuskan tetap memertahankan suku bunga di level yang sama selama 11 bulan berturut-turut.

Bank Sentral Indonesia ini memandang bahwa ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makro ekonomi, khususnya inflasi akhir tahun 2015 yang akan berada di bawah 3 persen dan defisit transaksi berjalan yang akan berada pada kisaran 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Langkah Bank Indonesia ini juga sejalan dengan yang terjadi di pasar uang.

Semula kenaikan suku bunga The Fed ini diduga akan melemahkan rupiah, tapi kenyataannya tidak. Rupiah tetap bergerak di kisaran Rp13.600 per dolar AS.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah Sumatera Selatan Hamid Ponco mengatakan terdapat beberapa penyebab mengapa pasar justru di luar perkiraan (aneh), di antaranya karena dolar AS sudah terapresiasi tajam, dan sebaliknya Rupiah terdepresiasi tajam selama satu tahun.

"Istilahnya rupiah sudah menyicil, dan investor mulai menyadari bahwa apresiasi terhadap dolar tetap ada batasnya, lalu pasar saat ini sudah mendapatkan kepastian," kata Hamid.



Belum pulih

Pemulihan ekonomi global diprediksi masih terhambat hingga akhir tahun ini karena sejumlah negara yang berpengaruh pada perekonomian dunia seperti Amerika Serikat dan Tiongkok dan beberapa yang berada di kawasan Eropa masih mengalami perlambatan ekonomi.

Kepala Divisi Statistik Sektor Rill Departemen Statistik Bank Indonesia Widya Agustin di Palembang mengatakan keadaan ini terpantau pada kondisi perekonomian dunia dari Mei hingga Agustus 2015.

"Tiongkok diperkirakan akan terus melambat hingga akhir tahun karena sejak Mei hingga Agustus masih membukukan pertumbuhan ekonomi 6,8 persen. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi tahun 2014 yakni sebesar 7,4 persen," kata Widya dalam acara temu responden survei Bank Indonesia.

Dari sisi permintaan, pelemahan ekonomi Tiongkok ini tercermin dari ekspor dan investasi aset tetap yang masih lemah.

Begitu pula dari sisi produksi, pelemahan ekonomi Tiongkok ini terindikasi dari penanaman modal industri manufaktur dan komposit yang menurun kembali akibat penurunan permintaan ekspor.

Sementara, Amerika Serikat masih rentan karena terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dari 3,0 persen pada Mei 2015, menjadi 2,5 persen di Agustus 2015.

Data non-farm payrolls mengindikasikan lemahnya indikator ketenagakerjaan dan berada di bawah ekspektasi pasar, begitu pula dengan angka pertumbuhan gaji yang mengalami penurunan secara bulanan dengan ditandai tingkat partisipasi tenaga kerja juga melemah.

"Hanya pertumbuhan ekonomi di kawasan Eropa yang diperkirakan akan terus membaik hingga akhir tahun karena trennya bergerak dari 1,4 persen pada Mei 2015 menjadi 1,5 persen pada Agustus 2015," kata dia.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Eropa diperkirakan terus membaik karena ditopang oleh kuatnya permintaan domestik dan sektor manufaktur yang mulai berani berekpansi.

"Penguatan permintaan domestik akan berimbas pada membaiknya konsumsi sehingga turut berdampak positif pada penjualan ritel. Perbaikan sektor konsumsi ini juga membenahi sektor tenaga kerja yang tercermin dengan penurunan tingkat pengangguran di Eropa," kata dia.

BI memandang bahwa perekonomian global belum begitu membaik pada tahun mendatang karena harga komoditas, seperti tembaga, batu bara, palm oil, karet, nikel, timah, almunium, kopi, juga masih belum sesuai harapan.

Namun, pada 2016 pemerintah sudah mencanangkan menjadi tahun pemulihan ekonomi karena telah membangun pondasi ekonomi yang cukup kuat pada 2015.