Antisipasi DBD dengan pengasapan ramah lingkungan

id dbd, fogging, pengasapan, demam berdarah dengue, nyamuk

Antisipasi DBD dengan pengasapan ramah lingkungan

KIlustrasi - Kader Juru Pembasmi Jentik (Jumantik) menunjukkan bubuk abate yang akan dibagikan untuk membasmi jentik di kawasan kelurahan Lorok Pakjo kecamatan Ilir Barat I Palembang, Sumsel (Foto Antarasumsel.com/Feny Selly/16)

....Penggunaan zat malathion akan mengeluarkan aroma buah jambu sehingga seolah-olah sudah benar-benar di-fogging karena sudah menjadi kebiasaan. Padahal ini yang merusak lingkungan....
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Metode pengasapan sebagai upaya membunuh nyamuk dewasa aedes aegypti terbilang sudah hampir 40 tahun dikenal masyarakat.

Namun patut disayangkan, sejak tahun 1972, masyarakat terbiasa pada penggunaan zat fogging yang tidak ramah lingkungan, yakni golongan organophosporester insectisida, seperti malathion, sumithion, fenithrothion, perslin, dan lain-lain.

Dari beragam zat kimia itu, zat malathion yang paling banyak digunakan dengan cara diencerkan terlebih dahulu menggunakan cairan solar atau minyak tanah.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang Anton Suwindro mengatakan Pemerintah Kota Palembang sejak dua tahun terakhir telah menganjurkan masyarakat beralih ke pengasapan ramah lingkungan.

Pemkot menempatkan sarana dan prasarana pengasapan di setiap puskesmas dengan siap memberikan layanan secara gratis atas permintaan warga.

Sementara, kalangan swasta dideteksi masih banyak yang menggunakan zat malathion karena permintaan dari masyarakat sendiri yang ingin menggunakan zat malathion.

"Penggunaan zat malathion akan mengeluarkan aroma buah jambu sehingga seolah-olah sudah benar-benar di-fogging karena sudah menjadi kebiasaan. Padahal ini yang merusak lingkungan," kata dia.

Untuk itu, pemkot akan menggencarkan sosialisasi mengenai pengasapan ramah lingkungan.

Masyarakat harus mengetahui bahwa pencemaran udara yang dilakukan juga akan merusak lingkungan.

Selain itu, jika dibandingkan metode biologi yakni menebar ikan tempalo dan metode kimia yakni menebar bubuk abate di kolam penampungan air, maka pengasapan justru membuat nyamuk menjadi resisten (kebal dan tak mati karena diasap).

Berdasarkan Jurnal Epidemiolgy 1992 juga diteliti mengenai hubungan antara paparan malathion dengan kejadian kelainan gastrointestinal (saluran cerna).

Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa wanita hamil yang terpapar malathion mempunyai risiko 2,5 kali lebih besar anaknya menderita kelainan gastrointestinal.

Masalah lain yang juga pernah diteliti adalah paparan terhadap malathion ini mengakibatkan gagal ginjal, gangguan pada bayi baru lahir, kerusakan gen dan kromosom pada bayi dalam kandungan, kerusakan paru, dan penurunan sistem kekebalan tubuh.

Malathion juga diduga mempunyai peran terhadap 28 gangguan, mulai dari gangguan gerakan sperma hingga kejadian hiperaktif pada anak.

Belum lagi bahaya dari solar yang menjadi bahan pengencer malation.

Hasil pembakarannya mengikat hemoglobin (Hb) dalam darah dibandingkan oksigen.

Selain itu, racun hasil pembakarannya mengakibatkan radang paru-paru (sembuh 6-8 minggu), penyumbatan bronchioli (dapat meninggal 3-5 minggu), serta iritasi dan produksi lendir berlebihan pada saluran napas.

Adapun bahaya dari pestisida termasuk insektisida dalam penanganan DBD dapat menimbulkan dampak kronis pada tubuh, seperti ganguan sistem syaraf, berupa masalah ingatan yang gawat, sulit berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, kehilangan kesadaran dan koma.

Gangguan perut, berupa muntah-muntah, sakit perut dan diare, gangguan sistem kekebalan dan keseimbangan hormon.

Dampak jangka panjang yang mungkin disebabkan oleh racun tersebut akan bersifat karsinogenik (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenik (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), teratogenik (kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan), dan residu sisa berbahaya bagi konsumen.

"Sebab fogging mengandung zat yang bersifat racun maka jika disemprotkan ke rumah-rumah penduduk akan sangat berbahaya bagi seluruh anggota keluarga, terlebih anak-anak dan balita," kata Anton.

Meskipun pihak pembuat bahan ini telah melakukan uji keamanan, kita harus semakin menyadari bahwa ada risiko-risiko yang akan kita tanggung apabila terpapar bahan tersebut.

Artinya, pengasapan hanya bisa membunuh nyamuk yang besar sedangkan jentik-jentik nyamuk tetap bisa hidup dan menjadi dewasa.

"Oleh karena itu, cara pencegahan dan penularan nyamuk DBD yang paling baik adalah melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSM) dengan cara menguras, menutup, dan mengubur serta memantau (4M)," kata dia.

Pengasapan kerap dilakukan di suatu kawasan secara massal pada saat sebelum dan sesudah musim hujan, atau pada lokasi khusus yang merupakan tempat diketemukannya kasus Demam Berdarah Degue (DBD).

Akan tetapi, terlepas dari pilihan tersebut, Anton mengapresiasi langkah aktif masyarakat untuk menjaga lingkungannya dari berkembangnya jentik nyamuk, meski sejatinya pengasapan ini merupakan pilihan terakhir setelah cara biologi dan secara kimia dilakukan masyarakat.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes Mohamad Subuh mengatakan hingga kini pengasapan tetap menjadi pilihan ketika ditemukan kasus DBD di suatu kawasan yang lebih dari satu.

"Petugas akan melakukan penyelidikan epidemologi di lokasi dengan radius 100 meter karena nyamuk hanya bisa terbang maksimal 100 meter," kata Subuh.

Namun, pelaksanaan pengasapan ini hanya meliputi radius 200 meter persegi dengan cara melakukan dua kali dalam satu pekan untuk mengikuti siklus perkembangan nyamuk dewasa.

Jika ditemukan pengasapan ini tidak dilakukan dalam dua siklus selama satu minggu maka masyarakat harus melaporkan ke Dinas Kesehatan setempat karena tujuan dari pengasapan yakni membunuh nyamuk dewasa dan memutus rantai penularan.

Di sisi lain, pemerintah juga melarang melakukan pengasapan terlalu sering karena dapat menimbulkan resistensi vektor (nyamuk yang menularkan penyakit) terhadap insektisida, pencemaran lingkungan, dan keracunan insektisida pada penduduk.

Alifah Aziz, warga Jalan Rawasari, Kelurahan Bukit Sangkal Palembang mengatakan tidak terlalu menghiraukan mengenaikan persyaratan pengasapan.

Baginya, jika ada petugas dari pemerintah maupun kalangan swasta akan langsung dipersilakan melaksanakan tugas.

"Tidak tahu menahu, jika mau pengasapan, maka langsung saja tanpa tanya ini dan itu, seperti pakai zat apa. Yang jelas setelah diasap tidak ada nyamuk selama beberapa hari," kata dia.



Pengasapan Terlambat

Pakar entomologi parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Isra Wahid mengatakan ada keterlambatan struktural dalam mengantisipasi penyakit Demam Berdarah Dengue.

"Seharusnya antisipasi dilakukan sejak musim kemarau, ketika populasi nyamuk masih rendah, tetapi pengasapan selalu terlambat dilakukan," katanya.

Menurut Isra, selama ini pengasapan baru dilakukan pada musim hujan ketika kasus DBD mulai muncul. Padahal sejak pasien terinfeksi hingga kasus tersebut dilaporkan, butuh waktu antara tujuh hingga empat belas hari.

"Ketika pengasapan datang, virus sudah terlanjur menyebar, sudah terlambat," ujarnya.

Di sisi lain berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Dinas Kesehatan, pengasapan baru dapat dilakukan jika ada kasus DBD.

"Padahal yang diasap itu nyamuknya, bukan kasusnya, makanya pengasapan tidak pernah bisa menurunkan jumlah penderita," ujarnya.

Karenanya, ia menilai SOP tersebut menunjukkan adanya keterlambatan struktural mengantisipasi penyakit tersebut.

"Hal ini sebenarnya sudah berkali-kali kami sampaikan, SOP itu harus dilawan," ucap Isra.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk secara efektif memberantas penyakit ini, hal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kontrol terhadap faktor penyakit ini, yaitu nyamuk aedes aegypti.

"Kalau pengendalian dilakukan pada musim kemarau, ketika populasi nyamuk rendah, jumlah populasinya ketika musim hujan akan lebih rendah," paparnya.

Menurut dia, seharusnya ada entomolog yang melakukan kontrol, dan bekerja sama dengan Dinas Pertanian terkait resistensi nyamuk terhadap insektisida yang selama ini digunakan oleh pertanian.

"Kontrol harus dilakukan, karena penyemprotan pada musim hujan itu tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya untuk menenangkan masyarakat," ujarnya.

Sementara itu, dalam upaya antisipasi penyakit DBD, peneliti dari Universitas Indonesia Budi Haryanto mengatakan masyarakat perlu mewaspadai waktu beraktivitas nyamuk aedes aegypti agar tidak terkena gigitan yang dapat menyebabkan DBD.

"Nyamuk aedes aegypti aktif menggigit pada jam 08.00-11.00 pagi dan jam 14.00-17.00 sore. Kalau kebetulan pada jam-jam tersebut ada jentik di genangan air, tempat itu punya risiko besar terkena demam berdarah," kata peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari UI ini.

Budi mengatakan nyamuk aedes aegypti akan beristirahat di daerah kebon atau dedaunan di luar jam aktif tersebut.

Masyarakat diharapkan menutup semua pintu agar nyamuk tidak bebas memasuki ruangan dan menemukan tempat penampungan air untuk berkembang biak.

Pada musim pancaroba, Budi menjelaskan penyakit demam berdarah memang menjadi yang paling banyak diderita, bahkan jumlah kasusnya meningkat selama dua bulan terakhir.

Suhu yang sering berubah-ubah, yakni panas pada siang hari kemudian hujan pada malam hari menyebabkan daya tahan tubuh seseorang melemah.

"Suhunya terkadang panas sekali, kemudian hujan sehingga tubuh seseorang seringkali tidak bisa menangkal bakteri atau virus yang biasa ditoleransi," kata Budi.

Penanganan DBD bukan hanya melalui kegiatan pengasapan dan pembagian abate, melainkan juga perlu didukung masyarakat dengan ikut bergotong-royong membersihkan lingkungan serta tidak membiarkan air yang tergenang sehingga bisa menjadi media perkembangbiakan nyamuk.

Berjangkitnya kasus DBD belakangan ini yang berujung pada penetapan kejadian kuar biasa di 11 kabupaten/kota di Indonesia, harus menjadi perhatian semua pihak sehingga penyakit itu tidak semakin meluas.