"Menjerumuskan" PNS dalam pusara korupsi Muba

id korupsi muba, pns, sidang muba

"Menjerumuskan" PNS dalam pusara korupsi Muba

Dua terdakwa korupsi suap Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, kepada sejumlah anggota DPRD, Faisar (kiri) dan Syamsuddin Fei (kanan) mendengarkan pembacaan dakwaan pada sidang perdana di Pengadilan Negeri Palembang, Kamis (3/9) pag

...Ini karena perintah dari pimpinan `bu hakim`, jadi saya tidak bisa menolak, mengenai bagaimana mengganti uang istri, saya belum memikirkannya...
Palembang (ANTARASumsel) - Kasus suap Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ke anggota DPRD setempat membuka mata masyarakat bahwa demikian mudahnya Pegawai Negeri Sipil terlibat dalam pusaran korupsi.

Berlatarkan `taat pada pimpinan` seorang PNS yang terpilih karena hubungan kedekatan atau tanpa seleksi secara profesional bersedia menyediakan sejumlah uang yang dimintakan bupati untuk kepentingan pribadi.

Hal ini terungkap dalam keterangan sejumlah saksi yang menjabat sebagai kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah pada persidangan terdakwa Bupati Musi Banyuasin (Muba) Pahri Azhari dan istrinya Lucianty di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Muba Andre Sopan (Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga) mengatakan dirinya diminta mencarikan dana senilai Rp2 miliar untuk kepentingan bupati menyuap anggota DPRD setempat.

Dia merasa terdesak karena beberapa kali ditelepon penghubung bupati yakni Syamsuddin Fei (Kepala Badan Pengelola Aset Daerah/sudah divonis) dan Faisyar (Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah/sudah divonis) untuk segera menyerahkan dana "urunan" tersebut.

Andre mengaku tidak dapat berbuat apa-apa karena pola ini sudah berlangsung lama di Pemkab Muba sementara dirinya merupakan kepala dinas baru.

Menurutnya, sudah menjadi `rahasia umum` di Muba bahwa uang senilai satu persen dari belanja modal APBD akan diserahkan ke DPRD.

"Karena sudah sering ditelepon, akhrinya uang Rp2 miliar itu saya dapatkan yakni Rp1,5 miliar dari kontraktor Khairil Zaman, dan Rp500 juta dari Effendi Soni. Setahu saya, kedua orang ini kemudian menang tender di PU," kata Andre.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan Musi Banyuasin HM Yusuf terkait seluruh SKPD di Muba diharuskan untuk menyediakan uang urunan dana suap bagi anggota DPRD.

"Khusus untuk Disdik diminta Rp25 juta, saat itu uang saya pinjam dari tabungan istri," kata dia.

Mendengar pernyataan saksi ini, anggota Majelis Hakim Zuraidah bertanya alasan saksi mau berjibaku mencari dana suap tersebut untuk kepentingan bupati hingga rela meminjam uang tabungan istri.

"Untuk apa membantu bupati, apa tujuannya, sampai pinjam uang tabungan istri pula. Lantas, cara mengembalikannya bagaimana? Apa mengambil dari anggaran dinas, ayo jelaskan," tanya Zuraidah yang hanya ditanggapi dingin oleh saksi.

"Ini karena perintah dari pimpinan `bu hakim`, jadi saya tidak bisa menolak, mengenai bagaimana mengganti uang istri, saya belum memikirkannya," kata Yusuf.

Pengaruh bupati dalam memimpin anak buahnya juga masih terlihat jelas di persidangan tersebut.

Saksi Syamsuddin Fei yang sudah divonis 2,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Palembang berupaya mengaburkan peran Bupati Pahri Azhari dalam keterangannya dihadapan majelis hakim yang diketuai Saiman.

Ia berupaya berkelit ketika hakim menanyakan siapa yang memerintahkan untuk mengumpulkan uang bagi anggota DPRD.

"Atas perintah atau inisiatif sendiri, saudara mengumpulkan uang yang akan diserahkan ke anggota DPRD itu ?" kata Zuraidah, salah seorang anggota majelis hakim mempertanyakannya.

Mendengar pertanyaan tersebut, saksi yang dihadirkan pada sidang dengan terdakwa Bupati Muba non aktif Pahri Azhari dan istrinya Lucianty itu, berupaya berkelit dengan menjawab di luar konteks pertanyaan.

"Saya mengumpulkan uang untuk memenuhi komitmen kepada anggota DPRD Muba yakni menyerahkan uang senilai Rp2,56 miliar dari total kesepakatan Rp17,5 miliar agar Laporan Keterangan Pertanggungjawaban bupati dan RAPBD disahkan. Jika tidak maka DPRD akan menggunakan hak interpelasi," kata Syamsuddin.

Tak puas dengan jawaban saksi, hakim Zuraidah kembali mencecar dengan pertanyaan. "Lantas siapa yang memerintahkan anda, apakah terdakwa pertama (Pahri, red)," tanya hakim.

Karena sudah tersudut, akhirnya Syamsuddin Fei menyebutkan bahwa ia bertindak atas suruhan Pahri Azhari yang dihadapkan persoalan akan berakhirnya batas waktu pengesahan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban sebagai bupati.

Saat itu, DPRD mengancam akan mengajukan hak interpelasi karena sisa kesepakatan mengenai uang suap sebesar Rp17,5 miliar baru disetor senilai Rp2,56 miliar.

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irene Putri mengatakan kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin yang turut menyetorkan dana untuk menyuap anggota DPRD dapat dimajukan ke persidangan dengan status terdakwa.

"Saat ini memang belum, dan muaranya belum ke sana karena masih sebatas saksi, tapi ke depan tidak tahu, bisa jadi, tergantung dengan peranannya masing-masing," kata Irene.

Para Kelapa SKPD ini dihadirkan untuk memberikan keterangan sebagai saksi bahwa memang benar ada suruhan dari orang dekat bupati (Syamsuddin Fei/Kepala Badan Pengelola Aset Daerah dan Faisyar/Kepala Bappeda) untuk mengumpulkan uang yang akan diserahkan ke anggota DPRD.

"Berdasarkan pengalaman saya dalam menanggani kasus korupsi yang melibatkan pemkab dan DPRD, pasti akan melibatkan SKPD untuk menggalang dana. Mengenai bagaimana ke depannya, akan dilihat lagi, saat ini mereka jadi saksi dulu," kata dia.

Berdasarkan surat dakwaan JPU diketahui, sebanyak 14 SKPD telah menyetor dana suap berkisar Rp5 juta hingga Rp2 miliar ke bupati.

Sementara, sisanya sebanyak 14 SKPD belum menyetor meski sudah didata besarannya.

Dari 14 SKPD itu diperoleh Rp475 juta kemudian mendapatkan tambahan dari Dinas PU Bina Marga sebesar Rp2 miliar, Dinas pendidikan 25 juta, ditambah dari dua terdakwa yakni Syamsudin Fei (Kepala BPKAD) dan Faisyar (Kepala Bappeda) sebesar Rp35 juta.

Akhirnya, kasus suap yang melibatkan Pemkab Muba dan DPRD Muba ini terungkap setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan di kediaman Bambang Kariyanto (Anggota DPRD) pada 19 Juni 2015.

Pada saat ini, dilakukan penyerahan sisa kesepakatan Rp17,5 miliar atau ansuran kedua yakni uang senilai Rp2,56 miliar.



PNS Profesional

Anggota Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Nuraidah Mokhsen mengatakan kasus ini merupakan muara dari kurang diimplementasikannya UU Nomor 5 tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara.

Seharusnya, pemilihan pejabat eselon I dan II untuk menempati posisi sebagai sekretaris daerah, kepala dinas, asisten dan staf ahli di pemerintah kabupaten/kota harus melalui seleksi berdasarkan kapabilitas yang dimiliki sehingga yang dikedepankan yakni profesionalisme.

"Jadi bukan karena kedekatan dengan bupati, jika sudah begini maka sangat rentan dengan konflik kepentingan," kata dia.

Ia mengemukakan dalam UU tersebut disebutkan bahwa ketentuan wajib membentuk tim panitia seleksi untuk mendapatkan calon pemimpin tinggi.

Mengenai hal ini sudah tersosialisasi dengan baik ke pemkab dan pemkot di seluruh Indonesia dalam setahun terakhir.

"Sejak akhir Desember 2014, KASN sudah sepakat bahwa UU ini harus sepenuhnya diterapkan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota, apalagi sudah dikeluarkan Permenpan-nya, Surat Edaran Kemendagri, hingga terbentuknya KASN," kata Nuraidah.

Sehingga, ia melanjutkan, jika terdapat pejabat wali kota dan bupati yang masih mengangkat pejabat tingginya berdasarkan pendekatan politik atau tanpa seleksi maka KASN akan bertindak tegas, seperti membatalkannya.

"Jika masih melakukan maka untuk tahap awal KASN akan meminta klarifikasi. Jika memang dianggap tidak melaksanakan sesuai aturan UU maka bisa jadi dibatalkan dan memberikan rekomendasi untuk menggelar seleksi atau seleksi ulang. Ini sudah terjadi di beberapa daerah," kata dia.

Ia mengemukakan bahwa penerapan UU ini tidaklah mudah mengingat kepala daerah kerap merasa pembentukan tim seleksi ini telah mengganggu kewenangan.

"Atau bisa jadi ada maksud memasukkan anggota tim suksesnya, tapi karena aturan baru ini jadi sulit karena banyak rekannya yang tidak memenuhi persyaratan. Selain itu, dari tubuh birokrasinya juga tidak terbiasa dengan proses ujian untuk menduduki jabatan karena selama ini berdasarkan kedekatan saja. Ada juga hambatan psiokologis yakni takut tidak lulus dan menjadi malu," kata dia.

Menurut Nuraidah, sangat penting dari berbagai pihak untuk mengimplementasikan UU ini karena sebagai payung hukum untuk melindungi birokrasi dalam semangat reformasi birokrasi.

Dalam arti, ia melanjutkan, meski wali kota memiliki wewenang untuk mengangkat dan memecat tapi tetap harus ada dasar.

"Jadi tidak ada lagi atas suka atau tidak suka, jadi sisi profesional yang dikedepankan. Pejabat tidak perlu lagi terpaksa bekerja sama dengan wali kota atau bupati, atau hingga setor uang lantaran tidak punya cara lain untuk bertahan pada jabatannya karena yang dikedepankan adalah kemampuan," kata dia.

Dalam kasus suap ini akhirnya dapat diketahui mengenai betapa pentingnya penerapanan sistem merit yakni kebijakan dan manajemen SDM Aparatur Sipil Negara berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar, tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, dan asal usul, jenis kelamin, serta status.