Petani karet 'galau' tergiur bersawah kembali

id karet, kebun karet, tanaman karet, alih fungsi karet, penjualan karet, padi sawah

Petani karet 'galau' tergiur bersawah kembali

Seorang buruh penyadap karet melakukan penyadapan di kebun karet (Foto Antarasumsel.com/Feny Selly)

....Sebaiknya sabar saja....
Palembang, (ANTARA Sumsel) - Anjloknya harga getah karet ke kisaran Rp4.000,00 per kilogram sejak awal 2016 membuat petani mulai tergiur untuk mengalihfungsikan lahannya menjadi persawahan.

Jika satu hektare sawah bisa memproduksi 7 sampi dengan 8 ton gabah kering giling untuk satu kali panen dengan harga per kilogram sekitar Rp3.500,00, petani meraup keuntungan lebih besar daripada tetap mengolah lahan karet.

Dalam 1 hektare lahan karet, diketahui dapat memproduksi rata-rata 200 kg getah per bulan sehingga dengan harga Rp4.000,00/kg membuat petani hanya meraup sekitar Rp800.000,00/bulan.

Dorongan pun makin menguat karena sejumlah program pemerintah lebih banyak dialihkan ke pertanian, seperti bantuan sarana dan prasarana, modal berupa kredit dengan bunga disubsidi pemerintah, hingga asuransi agar petani tidak merugi di saat mengalami gagal panen.

Sejumlah petani karet di Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, sudah menyatakan ke pemerintah setempat untuk mengalihfungsikan lahannya.

Syaiful, petani setempat, mengatakan bahwa dirinya sudah merencanakan untuk mengalifungsikan lahannya menjadi sawah. Namun, dirinya masih terkendala dana.

"Untuk membersihkan 1 hektare lahan karet, setidaknya dibutuhkan dana Rp7 juta, saya sangat mengharapkan bantuan pemerintah," kata pemilik Syaiful yang memiliki lahan seluas 3 hektare ini.

Ia mengemukakan keinginan ini sudah dipertimbangkannya dengan matang meski sudah menginvestasikan dana untuk menanam karet hingga puluhan juta.

"Investasi terbesar bukan hanya biaya membersihkan lahan, membeli bibit, dan lainnya, melainkan menunggu hingga 5 tahun sampai getahnya bisa diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, sudah ditunggu hampir 3 tahun, harga terus turun, bukannya membaik," katanya.

Kepala Dinas Pertanian Ogan Komering Ilir Syarifuddin mengatakan bahwa di Kecamatan Lempuing dan Lempuing Jaya terdapat sekitar 25.000 hektare lahan perkebunan yang siap dialihfungsikan menjadi pertanian.

Untuk merespons keinginan warga ini, Pemkab OKI sudah menggangarkan dana APBD sebesar Rp100 juta untuk membantu pencabutan tunggul-tunggul karet dan sawit.

"Ini sejalan dengan program cetak sawah yang saat ini digalakkan di OKI. Jika banyak perkebunan karet dan sawit beralih, pemerintah sangat optimistis target 851.511 ton gabah kering giling pada tahun ini dapat tercapai," katanya.

Bupati Ogan Ilir Iskandar menambahkan bahwa pemerintahnya merespons positif karena langkah tersebut lebih baik daripada membiarkan masyarakat terus tertekan oleh anjloknya harga karet.

"Jika masyarakat tidak bisa keluar dari himpitan ekonomi, justru ini lebih bahaya lagi. Bisa terjadi kerawanan sosial, apalagi diketahui bahwa OKI ini sangat rawan dengan kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu, OKI merangkul jika ada petani yang mau mengalihfungsikan lahannya," katanya.

Menghadapi anjloknya harga komoditas karet membuat Pemerintah Provinsi Sumsel memutar otak mengingat komoditas ini menjadi andalan daerah sejak puluhan tahun.

Sumsel yang mulai menggarap perkebunan karet sejak awal 1990-an dan menjadi daerah penghasil getah terbanyak di Indonesia, disusul Sumatera Utara dan Jambi kini terkena dampak buruk pelemahan ekonomi global.

Untuk itu, sejumlah program mulai ditawarkan kepada petani, salah satunya program upaya khusus tanaman pangan (tumpang sari).

Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan Erwin Noor Wibowo mengatakan bahwa program tersebut bertujuan agar petani karet memiliki penghasilan lain di tengah rendahnya harga jual, yakni di kisaran Rp4.000,00/kg.

"Program upaya khusus (upsus) tanaman pangan ini akan diperuntukkan bagi areal seluas 300.000 hektare se-Sumsel. Bantuan kepada petani karet berupa benih tanaman buah, sayur, dan hortikultura," katanya.

Berdasarkan Rapat Upaya Pengembangan Komoditas Karet Nasional di Palembang, kata Menteri Pertanian RI Andi Amran, beberapa kementerian sudah bersedia menyerap karet dalam negeri untuk pembangunan infrastruktur dan lainnya.

Ia menyebutkan sejumlah kementerian, di antaranya Kementerian PU dan Perumahan Rakyat bersedia membeli 250.000 ton, Kementerian Perindustrian 100.000 ton, Kementerian BUMN 100.000 ton, dan Kementerian Perhubungan 100.000 ton.

"Ini cara untuk mendorong penyerapan karet dari petani mengingat berdasarkan perjanjian tiga negara pengekspor karet, Indonesia kebagian menahan ekspor sebesar 238.763 ton. Jika hitung-hitungan penyerapan dari kementerian ini bisa maksimal, setidaknya Indonesia sudah menahan 550.000 ton," katanya.

Agar lebih menguatkan kebijakan baru tersebut, kata dia, pemerintah akan membuat inpres (instruksi presiden).

Selain menyerap karet di dalam negeri sendiri, pemerintah juga akan melancarkan program replanting lahan perkebunan bagi karet yang sudah tua.

"Replanting kan butuh waktu hingga 7 tahun. Sembari menunggu masa tumbuh karet, pemerintah akan memberikan bibit ubi sela, jagung, dan kedelai kepada petani agar bisa ditanam di sekitar karet," katanya.

Untuk bibit yang dipakai, Kementan memberikan secara cuma-cuma kepada petani yang diakomodasi oleh pemerintah daerah.

Tidak hanya bibit tiga jenis komoditas itu, pihaknya juga menyediakan bibit padi gogo.

Pada tahun ini, Kementan menyiapkan bibit padi gogo sebanyak 4.000.000 hektare agar petani tenang dalam penanaman aneka komoditas ini.

"Untuk itu, pemerintah menggandeng BRI dalam hal KUR (kredit usaha rakyat) dan Bulog dalam hal penjualannya," kata dia.



     Bukan Solusi

Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Provinsi Sumatera Selatan menilai pengalihfungsian lahan karet menjadi sawah bukan suatu solusi di tengah rendahnya harga komoditas ekspor tersebut.

Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Alex K. Eddy menilai langkah itu justru membuat petani makin sulit karena sudah menyia-nyiakan modal yang sudah ditanam dalam 5 tahun.

"Pohon karet itu baru bisa dipanen dalam waktu 5 tahun. Jika saat jatuh begini, mau ditebang untuk dijadikan sawah, artinya petani karet rela merugi. Bagaimana jika harga normal kembali? Apakah bisa mengejar untuk menanam lagi? Lebih baik ditunggu saja," kata Alex.

Ia menganjurkan petani untuk berpikir jernih mengingat pelemahan harga komoditas itu bukan hanya terjadi pada karet semata.

Bahkan, harga mineral juga terkena imbas dari pelemahan ekonomi global, seperti batu bara dan minyak mentah.

"Jika harga karet hancur, lalu ramai-ramai beralih menanam padi, jagung, atau ubi. Apakah mereka yakin bahwa tanaman selain karet ini tidak bakal turun juga? Sebaiknya sabar saja, yakinlah bahwa harga normal kembali karena karet alam ini belum ada yang bisa menggantikan," kata Alex.

Menurut dia, pergerakan harga karet dunia saat ini sudah terasa sebagai imbas membaiknya harga minyak mentah pada pekan ini.

Jika awal Maret lalu masih di bawah satu dolar per kg, kini sudah menyentuh angka 1,3 dolar/kg.

Untuk itu, Gapkindo lebih menganjurkan pemerintah untuk menjalankan program Upaya Khusus Tanaman Pangan (tumpang sari), yakni mengajak petani karet menanam tanaman lain di sela-sela pohon karet untuk dijadikan pemasukan tambahan.

"Untuk Upsus, Gapkindo sangat mendukung. Tinggal lagi diberikan penyuluhan mengenai tanaman apa saja yang cocok. Akan tetapi, untuk alih fungsi, jelas Gapkindo menolak karena ini hanya emosi sesaat saja dan bukan solusi," katanya.

Harga karet di tingkat petani melorot akibat pengaruh krisis ekonomi global yang berimbas dengan penurunan permintaan di pasar dunia.

Pada tahun 2011, harga karet sempat berada di kisaran Rp25 ribu/kg seiring dengan tingginya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, yakni 9,2 persen.

Bank Indonesia memperkirakan harga komoditas ekspor masih tertekan pada tahun 2016. Meski demikian, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla optimitis pada tahun ini bakal terjadi perbaikan ekonomi karena sudah meletakkan fondasi yang kuat pada tahun 2015.