Derita nelayan seiring reklamasi pantai Jakarta

id reklamasi, nelayan, pantai, kerusakan lingkungan

Derita nelayan seiring reklamasi pantai Jakarta

Reklamasi Teluk Jakarta Aktivitas proyek pembangunan salah satu pulau kawasan reklamasi Teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta, Selasa (5/4). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro)

...Kawasan Jakarta Utara ditutup, bagaimana kapal bisa masuk. Bohong kalau (reklamasi) tidak berdampak pada nelayan...
Jakarta (ANTARA News) - "Proyeknya 24 jam penuh, bahkan kami  yang setiap hari di sini tidak sadar tahu-tahu sudah berbentuk pulaunya," ucap Rudi Hartono (38) kepada Antara.

 Dia menunjuk salah satu pulau reklamasi yang terlihat dari Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.

Rudi adalah salah satu dari ratusan nelayan tradisional di Muara Angke yang kini nasibnya tidak karuan akibat pembangunan 17 pulau buatan itu.

Pulau-pulau reklamasi yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari pantai telah menjauhkan ikan yang menjadi sumber kehidupan mereka.

"Dulu kita lewat sedikit dari pulau buatan masih bisa dapat ikan, setelah ada pulau itu kita harus melaut lebih jauh. Biaya solar habis banyak, begitu pula perbekalan makan, sedangkan penghasilan tidak ada," ungkap Rudi.

Semakin keruhnya air laut oleh pasir dan material pembangunan pulau diyakini menjadi penyebab utama berkurangnya hasil tangkapan para nelayan hingga lebih dari 50 persen.

Jika sebelum reklamasi Rudi dan rekan-rekannya bisa menjaring dua hingga tiga ton ikan dalam sehari, kini mereka hanya mampu membawa pulang satu atau dua kuintal ikan.

"Dulu per orang bisa dapat Rp200 ribu atau sedikitnya Rp150 ribu sekali melaut, sekarang paling hanya kebagian Rp25 ribu sampai Rp50 ribu karena satu perahu kami diisi 30 nelayan," katanya.

Pendapat serupa diungkapkan oleh Kasirin (60), seorang nelayan yang telah akrab dengan perairan utara Jakarta sejak 1970-an.

"Dulu sekali melaut bisa dapat dua ton ikan tembang atau ikan kembung, kalau sekarang hanya dapat dua basket sekitar 80 kilogram sampai satu kuintal," ujarnya

Sementara dari sisi penghasilan, sebelum pelaksanaan reklamasi ia dan rekan-rekan satu perahu bisa menjual ikan hingga Rp25-Rp50 juta, kini mereka hanya mengantongi sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.

Ia pun mengeluhkan semakin jauh jarak yang harus ditempuh para nelayan untuk mendapat ikan karena kapal mereka harus memutari pulau-pulau buatan tersebut.

"Apalagi ini tiga hari belum ada penghasilan. Uang yang didapat dari hasil menjual ikan dipakai untuk makan dan membeli solar, jadi ABK belum dapat uang," ungkap Kasirin dengan raut muka murung.

Karena pendapatan yang terus berkurang, kata dia, maka beberapa anak buah kapal mulai berpikir untuk pulang ke kampung halaman mereka masing-masing.

"Anak-anak ini sudah ingin pulang, mereka sebagian besar berasal dari Brebes," tuturnya.

Dulu gampang
Wakil Ketua Forum Kerukunan Masyarakat Nelayan Muara Angke Sugiyanto mengakui berbagai kegiatan nelayan di sekitar tempat tinggalnya berkurang sejak 2012 atau sejak proyek reklamasi mencuat.

"Dulu kalau ke pulau gampang, sekarang tidak bisa. Tidak bisa bikin ternak kerang ijo lagi karena hancur akibat proyek Pulau G, kapal juga tidak bisa masuk," ungkapnya.

Nelayan di Muara Angke dan sekitaran Teluk Jakarta mencari hasil laut dengan perahu cumi, perahu rampus, dan bagan tancap. Namun, kata Sugiyanto, proyek reklamasi mengurangi kegiatan melaut para nelayan.

"Kawasan Jakarta Utara ditutup, bagaimana kapal bisa masuk. Bohong kalau (reklamasi) tidak berdampak pada nelayan," ucapnya, dengan nada tinggi.

Negatif
Reklamasi atau kegiatan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan telah dilakukan di Ibu Kota sejak 1980-an.

Beberapa contoh wilayah yang merupakan hasil reklamasi yakni permukiman mewah Pantai Mutiara, kawasan industri dan rekreasi Ancol, serta permukiman mewah dan bangunan komersial Pantai Indah Kapuk.

Meskipun menuai pro dan kontra, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menjalankan program perluasan daratan tersebut dengan mengedepankan keuntungan ekonomi.

Namun dari sisi lingkungan, pakar Oseanografi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan Koropitan mencatat beberapa dampak negatif reklamasi seperti peningkatan sedimentasi (pengendapan material) sehingga berpotensi banjir, penurunan kualitas air akibat logam berat dan bahan organik yang berdampak pada kematian ikan dan penurunan kecepatan arus sehingga proses sirkulasi air tidak berjalan dengan lancar.

"Kematian ikan karena pengaruh logam berat dan bahan organik, terjadi penurunan arus sehingga material yang masuk dari sungai cenderung tertahan di situ (teluk)," katanya.

Bahkan reklamasi pulau di Teluk Jakarta terbukti tidak layak menurut dokumen dari Danish Hydraulic Institute (DHI), sebuah konsultan peneliti sumber daya air yang dipekerjakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 2012 untuk mengecek analisis dampak lingkungan (amdal) proyek tersebut.

Selain itu, Alan juga menggarisbawahi dampak reklamasi secara sosial yakni ribuan nelayan dan anak buah kapal yang harus direlokasi serta potensi timbulnya konflik.

"Kalau nelayan mau ke Pulau Seribu nanti ada konflik dengan masyarakat lokal. Sedangkan jika direlokasi ke 17 pulau reklamasi nanti ada kesenjangan karena pulau itu kan ditujukan untuk daerah elite," ungkapnya.

Menteri pun keberatan
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti menyatakan keberatannya kepada Pemprov DKI jika nelayan hanya diberi ganti rugi berupa rumah susun tanpa memikirkan kelangsungan mata pencaharian mereka.

"Di pesisir ada stakeholders yaitu para nelayan, mereka punya mata pencaharian. Kalau depan pantai ditutup dengan pulau-pulau lalu mereka akan ke mana? Ini harus jadi pertimbangan," tuturnya.

Kecaman penghentian proyek reklamasi Teluk Jakarta terus muncul dari berbagai organisasi masyarakat karena pembangunan tersebut dianggap merugikan lingkungan dan masyarakat pesisir.

Terkuaknya dugaan korupsi yang membuka keterlibatan legislatif, swasta, dan tidak menutup kemungkinan eksekutif itu, dinilai Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta sebagai momen tepat hentikan proyek reklamasi.

"Reklamasi bukanlah kepentingan masyarakat Jakarta tetapi menjadi kepentingan sekelompok elite dan kapitalis dengan mengorbankan kelestarian alam dan masyarakat nelayan tradisional," ujar Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Puput TD Putra.

Sejak kasus suap terkait reklamasi mengemuka, DPRD DKI Jakarta sepakat menunda pembahasan dua raperda yang dimaksud karena telah masuk ke ranah hukum.

Sambil menunggu proses hukum serta membereskan aturan perundangan yang tumpang tindih, Menteri KKP Susi Pudjiastuti meminta pembangunan di pulau-pulau reklamasi dihentikan sementara.

Namun, tidak demikian yang terjadi di lapangan. Menurut pengakuan Rudi, proyek pembangunan pulau buatan masih tetap berlangsung meskipun sedang dibelit kasus hukum.

"Semenjak para nelayan berdemo karena isu korupsi mencuat, mereka (pengembang) lebih aktif bekerja pada malam hari," ungkapnya.