Nasionalisme berbahasa

id nasionalisme berbahasa, bahasa indonesia, indonesia

Nasionalisme berbahasa

Ilustrasi. (Foto Antarasumsel.com/Feny Selly/15/den)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Mereka yang gigih memperjuangkan bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu bangsa agaknya layak bertanya: Ada apa dengan suasana psikis kebahasaan para petinggi negeri ini pada dasawarsa 70-an?
Pertanyaan itu layak dilontarkan sebab pada 1972 itulah lahir sebuah keputusan presiden yang menandai terbentuknya badan berskala nasional yang tugasnya menangani musibah kecelakaan dan pelayaran.

Keputusan Presiden No 11 Tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972 itu  menjadi dasar lahirnya Badan SAR Indonesia (BASARI), yang  berkedudukan dan bertanggung jawab kepada Presiden dan sebagai pelaksanan di lapangan diserahkan kepada PUSARNAS (Pusat SAR Nasional) yang diketuai oleh seorang pejabat dari Departemen Perhubungan.

Secara evolusioner, pada 1980 berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan nomor KM.91/OT.002/Phb-80 dan KM 164/OT.002/Phb-80, tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, PUSARNAS berganti kelamin menjadi Badan SAR Nasional (BASARNAS).

Publik tahu SAR di sana adalah kependekan dari "search and rescue", yang bisa diartikan sebagai "pencarian dan penyelamatan atau penolongan". Di antara sekian lembaga pemerintah nonkementerian, Basarnaslah yang secara telanjang mengadopsi kata-kata asing tanpa mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia.

Bisa ditebak, pertimbangan pemakaian SAR kemungkinan karena singkatan yang sekaligus bisa dipandang sebagai akronim ini sudah menjadi cap dagang yang mendunia.

Dalam dunia nyata, bukan dunia bahasa, penanda (yang menandai/simbol) dan petanda (yang ditandai), hubungan makna lebih penting dibandingkan dengan perkara bentuk bahasa.

Di lapangan, yang dipentingkan adalah kesesuaian simbol yang sudah melekat di benak orang dan objek yang disimbolkan. Itu sebabnya mereka yang tak berkepentingan dengan nasionalisme berbahasa, tak mempedulikan bahwa di dalam penamaan Basarnas, ada unsur asing yang menempel di sana.

Namun, argumen bahwa mempertahankan akronim dan singkatan SAR dalam Basarnas agar dikenal secara internasional, tampaknya kurang berterima. Sebab, begitu SAR itu melebur menjadi Basarnas, publik dunia luar sudah tak mengenali lagi unsur SAR itu.

Pembela penamaan Basarnas tentu akan bersikukuh dengan mengatakan bahwa pada tataran organisasi di bawah, unsur SAR dengan mudah dikenali publik sebab yang dimunculkan di sana bukan lagi Basarda tapi kantor SAR (diikuti nama-nama daerah).

Sebenarnya, Basarnas adalah satu kasus dari sekian kata-kata nama yang tak mau tunduk pada nasionalisme berbahasa. Apa itu nasionalisme berbahasa? Kurang lebih itu mengandung makna penempatan bahasa Indonesia, entah itu kosakatanya entah itu kaidah sintaksisnya di atas kosakata dan sintaksis asing.

Salah satu contoh ketaktepatan konstruksi gramatikal yang menandai nama sebuah lembaga negara adalah Badan Narkotika Nasional (BNN). Yang tepat adalah Badan Nasional Narkotika. Argumennya sudah gamblang: yang dirujuk oleh sifat nasional itu adalah Badan bukan Narkotika. Narkotika tak punya fitur makna bertingkat seperti narkotika internasional, nasional, regional atau lokal.

Kasus lain menyangkut nama partai politik yang didirikan pengusaha Surya Paloh, Partai Nasional Demokrat. Andaikan partai itu diringkas sebagai PND, penamaan itu masih bisa diterima dalam kaidah bahasa Indonesia. Dalam PND, Nasional bisa dijadikan adjektiva Partai. Tapi, akronim yang dipilih bukan itu, melainkan NasDem, Nasional Demokrat. Inilah penamaan gado-gado, yang sebagian berwatak Inggris dengan hukum Menerangkan-Diterangkan, sebagian menggunakan kosakata Indonesia.

Tentu para pendukung NasDem bisa berargumen: ada kemerdekaan tiap orang memilih nama, cap dagang, dan untuk kepentingan itu yang dinomorsatukan bukan unsur kegramatikalan tapi sugesti psikis yang dibangkitkan oleh sebuah nama, simbol, penanda. Untuk itu NasDemlah yang dipilih, bukan DemNas yang lebih mengikuti aturan kebahasaan di Tanah Air.

Terlepas dari kontroversi mana yang lebih sugestif antara NasDem dan DemNas, bersyukurlah publik politik di Indonesia sebab nama-nama parpol yang lain masih berjalan di rel nasionalisme berbahasa: Partai Kebangkitan Nasional,  Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan, Partai Golongan Karya.

Sebenarnya, jika Surya Paloh hendak mengejar akronim NasDem tanpa mencederai gramatika bahasa Indonesia, dia bisa memanjangkannya menjadi Nasionalisme Demokrat.  Nasionalisme Demokrat bisa dimaknai sebagai  semangat kebangsaan dari kaum demokrat.

Untuk menghindari kesalahan kaidah berbahasa dalam  penamaan lembaga atau organisasi milik negara atau swasta, usul dari Andre Moller, pemerhati bahasa Indonesia berkewarganegaraan Swedia perlu didengar dan dipraktikkan. Dia mengusulkan perusahaan-perusahaan merekrut sarjana bidang bahasa Indonesia untuk menghasilkan iklan sebagai  produk bahasa yang baik dan benar.

Sebetulnya, Pusat Bahasa, yang dihuni para ahli bahasa Indonesia, bisa dijadikan tempat konsultasi bagi lembaga mana pun yang berurusan dengan persoalan bahasa Indonesia.

Untunglah undang-undang yang mengatur tentang kebahasaan Indonesia tak merinci hukuman bagi pelanggar aturan keharusan lembaga apa pun menggunakan bahasa Indonesia secara tepat berdasar kaidah bahasa Indonesia.

Jika itu diatur, yang terkena hukuman antara lain lembaga milik negara yang menyalahi kaidah seperti lembaga-lembaga yang disebut di atas.

Dalam jagat kebahasaan, ada dua aliran yang berseberangan dalam melihat fenomena kebahasaan. Mereka yang dimasukkan ke dalam kelompok polisi bahasa cenderung preskriptif sementara yang masuk kelompok kaum deskriptif cenderung menyerahkan urusan bahasa kepada sang pemakai.

Poinnya adalah: ada kasus-kasus yang perlu ada polisi bahasa dan ada kasus-kasus yang sebaiknya polisi bahasa bungkam seribu ba(ha)sa.