Oligarki partai dan strategi "Dua Kaki" pilkada

id pilkada, pilkada dki, gubernur dki, pengamat politik, perbedaan politik, kader partai, oligarki partai, strategi dua kaki, suara kader akar rumput,

Oligarki partai dan strategi "Dua Kaki" pilkada

Ilustrasi (FOTO ANTARA)

....Perbedaan pandangan politik antara segelintir kader dengan partainya, dapat terjadi apabila pemimpin partai mengelola partai dengan tangan besi atau oligarki....
Jakarta (ANTARA Sumsel) - Perbedaan pandangan politik kerap terjadi antara segelintir kader dengan partai politik tempatnya bernaung.

Menurut Pengamat politik dari lembaga penelitian Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago hal tersebut dapat terjadi karena dua sebab yakni oligarki partai dan strategi dua kaki.

Partai sebagai suprastruktur politik merepresentasikan apa yang menjadi keinginan masyarakat dan kehendak masyarakat, dengan harus tetap mendengar suara kader akar rumput.

Namun belakangan menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, yang disebut-sebut sebagai barometer Pilpres 2019, terjadi perbedaan pikiran, pandangan dan dukungan antara arus bawah dengan elite penentu partai politik.

Dua kader inti Partai Demokrat Ruhut Sitompul dan Hayono Isman berbeda pandangan dengan partainya dalam hal dukungan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Saat Demokrat menjatuhkan dukungannya pada sosok Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni, Ruhut dan Hayono justru terang-terangan mendukung pasangan petahana yang didukung PDI Perjuangan, Golkar, Hanura dan Nasdem yakni Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.

Perbedaan pandangan juga terjadi antara kader PDI Perjuangan Boy Sadikin dengan partainya. Boy mendukung pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang didukung Gerindra dan PKS.

Namun tidak seperti Ruhut dan Hayono yang tetap sebagai kader Demokrat, belakangan Boy dengan tegas menyatakan mundur dari PDIP atas perbedaan pandangan politik tersebut.

Menurut pandangan Pangi, perbedaan pandangan politik adalah cerita lama yang hampir dihadapi setiap partai. Kini, tinggal bagaimana kemampuan dan kemahiran setiap partai mengelola perbedaan tersebut.

Perbedaan pandangan politik antara segelintir kader dengan partainya, dapat terjadi apabila pemimpin partai mengelola partai dengan tangan besi atau oligarki.

Pangi mengatakan partai yang berpotensi terjadi oligarki biasanya partai yang kepemimpinannya sangat kuat hanya dimiliki satu orang seperti Hanura dengan kepemimpinan Wiranto, Demokrat dengan kepemimpinan SBY, PDIP dengan kepemimpinan Megawati, Perindo dengan kepemimpinan Hary Tanoe, serta Nasdem dengan kepemimpinan Suryo Paloh.

Dia menekankan seyogyanya sebelum mengambil keputusan partai politik harus memberikan ruang, dealitika berfikir, kebebasan berpendapat di antara akar rumput.

Tetapi yang terjadi kadang kala proses ruang berselancar dengan perbedaan tersebut ditutup rapat. Keputusan diambil oleh elite penentu yang memiliki hak prerogatif, penguasaan dalam pengambilan keputusan, sehingga kader diminta loyal dan tidak membangkang.

Manakala ada kader yang tidak loyal maka akan disiapkan sanksi yang tegas dan akan ditertibkan.

Praktik oligarki partai ini tidak mengindahkan keputusan kolektif kolegial, tanpa memperhatikan riak-riak di bawah.

Kasus perbedaan pandangan politik Ruhut, Hayono, Boy Sadikin dan mungkin segelintir kader lain, kata Pangi, tidak perlu terjadi jika proses demokratisasi berjalan di tubuh partai dan elite politik mampu memberikan pengertian serta pemahaman ke kadernya.

Tapi di sisi lain, kata dia, apabila proses demokratisasi tidak juga mampu menyatukan perbedaan pandangan, maka pilihan selanjutnya adalah hengkang dari partai, layaknya dilakukan Boy Sadikin.

Pangi mengapresiasi langkah Boy Sadikin yang mengundurkan diri tanpa menunggu partai memecatnya. Langkah Boy menunjukkan yang bersangkutan enggan setengah hati dalam berpolitik.

Jika ada kader yang berbeda pandangan dan menunggu untuk dipecat, boleh jadi kader itu menantikan komoditas politik baru.

Mereka ingin seolah-olah sedang terdzolimi. Hal ini dapat dimanfaatkan partai lain guna meningkatkan elektabilitas pasangan tertentu.

    
    "Dua Kaki"
Politik sering disebut sebagai sebuah seni mengelola kemungkinan. Segala macam hal dapat terjadi dalam dunia politik, tidak terkecuali soal perbedaan pandangan politik menyongsong Pilkada DKI Jakarta.

Pangi menegaskan perbedaan pandangan politik bisa jadi digunakan sebagai strategi permainan "dua kaki" partai tertentu. Partai menugaskan kadernya untuk berbeda pandangan politik, dan menyusup ke partai lain guna menggali informasi dan strategi lawan politik.

Semuanya tentang bagaimana mencari kelemahan lawan sebanyak-banyaknya dan meminimalisir kelemahan sendiri. Menurut Pangi, seni menjaga peluang bukan sesuatu yang tidak mungkin.

Termasuk jika ada kader yang dibiarkan berbeda pandangan politik tanpa diberikan sanksi. Kader itu bisa saja bertindak sebagai mata-mata politik agar pertarungan elektoral dengan mudah dimenangkan.

Pilkada DKI Jakarta diikuti tiga bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Mereka berturut-turut dari yang pertama mendaftar ke KPU DKI Jakarta yakni Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang didukung PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem; Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang didukung Demokrat, PAN, PKB, PPP; serta Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang didukung Gerindra serta PKS.