Pengerukan batu bara hilangkan areal persawahan di Bengkulu

id batu bara, sawah, areal persawahan, desa lumbung pangan, tertimbun material longsoran, tambang batu bara

Pengerukan batu bara hilangkan areal persawahan di Bengkulu

Ilustrasi - Terminal batu bara (ANTARA FOTO)

Bengkulu (Antarasumsel.com) - Pengerukan batubara di Desa Gunung Payung, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu menghilangkan ratusan hektare areal persawahan, padahal desa itu ditetapkan sebagai desa lumbung pangan pada tahun 2009.

"Sebelumya ada 300 hektare areal persawahan di desa kami, tapi kini tinggal 20 hektare yang masih bisa ditanami," kata Abu Hanifah, tokoh masyarakat Desa Gunung Payung, Kamis.

Ia mengatakan pengerukan batubara dari PT Injatama dimulai pada 2009, bertepatan dengan pencanangan desa lumbung pangan bagi Gunung Payung.

Konsesi pertambangan yang dimiliki perusahaan itu mencapai 6.000 hektare di mana seluas 444,2 hektare merupakan lahan budidaya masyarakat.

Sejak perusahaan beroperasi, petani padi mulai mengeluh sebab aliran air irigasi dari Sungai Ketahun tidak lagi sampai ke sembilan pintu air irigasi.

Air irigasi yang tidak sampai ke areal persawahan membuat sebagian petani padi menjual areal persawahan mereka dan dijadikan modal untuk menanam tanaman tahunan.

Kehilangan areal persawahan diperparah dengan kejadian longsor di tebing penambangan pada 2013. Akibatnya sekitar 100 hektare persawahan tertimbun material longsoran.

Ada solusi dari perusahaan dengan membeli sawah, tapi masyarakat menjual dengan terpaksa karena sebelumnya sudah sulit mendapatkan air, ujarnya.

Sekretaris Desa Gunung Payung, Gusnan Buyung mengatakan saat ini sebagian besar warga di sana terpaksa membeli beras sebab desa mereka tak lagi jadi lumbung pangan.

Aktivis lingkungan dari Yayasan Genesis Bengkulu, Uli Siagian mengatakan Gunung Payung menjadi contoh nyata dampak pengerukan batubara yang menghilangkan akses masyarakat terhadap pangan.

Padahal pemerintah sedang mengupayakan perluasan areal lahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, katanya.

Menurut dia, pengawasan yang lemah dari pemerintah daerah membuat aktivitas pertambangan di wilayah itu telah merugikan warga, terutama kehilangan akses terhadap lahan pangan.