Catatan akhir tahun: Jerat narkoba bupati termuda

id nofiandi, bupati ogan ilir, oi, narkoba, terjerat narkona

Catatan akhir tahun: Jerat narkoba bupati termuda

Tersangka dugaan penyalahgunaan narkoba jenis Sabu, Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Ahmad Wazir Nofiandi dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Badan Narkotika Nasional (BNN), Jakarta, Senin (14/3). (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

....Bagaimana pula negeri ini, bupati narkoba disuruh memimpin rakyat....
Palembang (Antarasumsel.com) - Kasus narkoba yang menjerat bupati termuda di Tanah Air, Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiandi (27) langsung menarik perhatian masyarakat, bukan hanya skala lokal tapi menjadi pembicaraan hingga ke ranah nasional.

Maklum saja, untuk kali pertama di Indonesia didapati seorang bupati yang sedang menjabat terkena kasus narkoba, meski sejatinya sudah menjadi rahasia umum di masyarakat bahwa ada pejabat yang menjadi pemakai tapi tidak tersentuh hukum.

Kasus ini semakin menarik karena bupati termuda pada Pilkada Serentak Sumsel 2015 ini, belum satu bulan menduduki kursi empuk sebagai "raja kecil".

Nofianda dilantik pada 17 Februari 2016, itu ditangkap oleh pertugas BNN pada 13 Maret 2016 di kediaman orangtuanya yang diduga sedang berpesta sabu-sabu.

Kontan dua julukan langsung disematkan terhadapnya, yakni bupati termuda sekaligus tercepat dalam artian tercepat turun dari jabatannya.

Belum lagi sekelumit kisah yang terjadi saat penangkapan putra bupati terdahulu ini. Petugas BNN yang mengepung rumah orangtua Ovi, sapaan akrabnya, harus berhadapan dengan empu rumah plus "bodiguard"-nya yang merupakan pejabat negara, ada yang berseragam polisi dan Satpol PP.

Setelah bersitegang selama tiga jam, akhirnya petugas bisa memasuki kediaman Ovi dan menyeret 18 orang untuk menjalani tes urine, dan hasilnya lima orang dinyatakan positif.

Munculnya kasus ini seakan membenarkan ungkapan para penggiat antinarkoba, yakni narkoba telah menyerang siapa saja tanpa memandang latar belakang seseorang, mulai dari rakyat jelata hingga pemimpin daerah pun tak luput dari jamahannya.

Sejak awal pilkada sejatinya Ovi sudah menarik perhatian, karena usianya masih muda, belum menikah, dan putra dari pejabat petahana.

Banyak pihak yang meragukan kemampuannya sebagai pemimpin daerah, bahkan isu bahwa yang bersangkutan merupakan pemakai narkoba sudah santer terdengar.

Kebenaran bahwa dirinya merupakan pemakai pun tidak terbantahkan, karena saat rumahnya digerebek BNN dan langsung digelandang untuk tes urine, terbukti si bupati mengasumsi zat methamphetamine.

Di persidangan, Ovi juga mengakui bahwa telah mengenal narkoba sejak SMA, kemudian berlanjut hingga kuliah. Namun pada 2011, frekwensi pemakaian dikurangi dan hanya memakai pada Sabtu dan Minggu atau pada akhir pekan sejak setahun terakhir seperti analisis dokter dari BNN.

Tak hanya kelakuannya sebagai pemakai, kemudian masyarakat juga mengaitkan kemenangannya di pilkada berkat peran vital sang ayah yang telah memimpin Ogan Ilir selama dua periode.

Pengamat sosial politik asal Universitas Sriwijaya Djoko Siswanto mengatakan kejadian ini telah mencederai hati rakyat karena seorang pemimpin daerah terlibat narkoba.

Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah benar-benar darurat narkoba. Tidak pandang bulu, mulai dari rakyat biasa hingga pejabat pun terkena, secara etis sebenarnya sudah tidak layak menjadi pemimpin jika pada akhirnya terbukti, imbuhnya.
   
                                                              Antiklimaks
Meski belum menjalani persidangan, pemerintah melalui Mendagri Tjahjo Kumolo langsung merespon dengan mengeluarkan SK tanggal 18 Maret 2016 tentang pemberhentian sementara, dan SK nomor 131 tanggal 21 Maret 2016 tentang pemberhentian tetap dan pengangkatan Wakil Bupati Pandji Ilyas sebagai Pelaksana Tugas.

Namun, sepertinya kasus yang menjerat tidak membuat Ovi kekurangan akal untuk mempertahankan jabatannya sebagai bupati dengan menggugat SK Mendagri ke PTUN.

Mengejutkan, Pengadilan Tata Usaha Negara memutuskan pembatalan SK pemberhentian terhadap Ovi sehingga berdasarkan putusan itu berstatus bupati nonaktif, bukan seperti dalam SK Mendagri yang memberhentikannya dari jabatan sebagai bupati.

Tim penasihat hukum AW Nofiadi menggugat Surat Keputusan Mendagri ke PTUN pada 4 April 2016 karena menilai terjadi kesalahan prosedur dalam pemberhentian.

Keputusan Mendagri ini diluar kelaziman jika mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Teknis pemberhentian kepala daerah dijelaskan Pasal 80 huruf a UU No 23/2014, yakni pemberhentian diusulkan kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar dan atau melakukan Perbuatan tercela.

Pendapat DPRD diputus melalui Paripurna dengan paling sedikit 3/4 jumlah aggota. Kemudian MA memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lama 30 hari setelah permintaan DPRD diterima (registrasi) oleh MA.

Atas hasil PTUN ini, Mendagri Tjahjo Kumolo hanya menanggapi dingin.

"Bagaimana pula negeri ini, bupati narkoba disuruh memimpin rakyat," kata Tjahjo.

Setelah kasusnya menghebohkan masyarakat, mantan bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi terdakwa penyalahgunaan narkoba hanya divonis menjalani rehabilitasi ketergantungan narkotika selama enam bulan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.

Vonis yang dijatuhkan majelis hakim pada sidang di Pengadilan Negeri Palembang ini diketahui sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Ursula Dewi dengan menjerat terdakwa dengan Pasal 127 ayat 1 huruf a UU Nomor 35 tahun 2009 tentang penyalagunaan narkoba.

Putusan yang sama juga diberikan kepada dua "pengawal" Ovi yang juga ditangkap petugas BNN, yakni Murdani dan Faizal Roche.

"Serbagai WNI yang taat hukum, apa yang diputuskan hakim akan saya jalani. Saya juga mengucapkan terima kasih atas kehadiran masyarakat di persidangan. Apa yang terjadi ini menjadi pelajaran untuk saya dan memohon masyarakat terus mendoakan," ucap Ovi seusai persidangan.

Dalam kasus ini Jaksa Penutut Umum Ursula Dewi dalam surat dakwaan menjerat terdakwa dengan pasal 112 ayat (1) dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara, dan dakwaan sekunder pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara.

Sementara barang bukti yang dihadirkan dipersidangan berupa hasil tes urine, rambut, telepon seluler atau tidak ada bukti kuat berupa narkoba.

Kasus yang sempat menghebohkan ini seketika menjadi antiklimaks.