Selamat Tahun Baru 2017. Naskah ini saya tulis pada malam hari menjelang
Tahun Baru 2017. Saya beruntung, tergolong ke kelompok masyarakat yang
secara ekonomis mampu merayakan pergantian tahun secara hura-hura,
suka-cita, gembira-ria, pesta-pora di hotel-hotel berbintang-bintang
sambil mengunyah steak serta menghirup minuman anggur ketika menonton
pergelaran para bintang dengan membayar tiket mahal bukan alang
kepalang.
Namun secara emosional, saya tidak tega melakukan keserba-gemerlapan
itu, mengingat banyak sesama warga Indonesia yang tidak mampu merayakan
pergantian tahun secara gemerlap akibat mereka kebetulan berada pada
situasi dan kondisi yang tidak gemerlap, terutama para sesama warga
Indonesia yang pada tahun 2016 terpaksa jatuh sebagai korban
penggusuran.
Mungkin kalimat terdahulu sebelum kalimat ini terkesan dibuat-buat
bahkan didramatisir sebab apa yang disebut penggusuran atas nama
pembangunan sudah dilakukan sejak bangsa Indonesia mulai membangun
infrastruktur.
Namun perlu disadari fakta bahwa penggusuran yang bahkan istilahnya
sudah diperhalus menjadi penertiban yang dilakukan di kota Jakarta pada
tahun 2016 memang beda dari penggusuran yang dilakukan sebelum 2016.
Diawali pada tanggal 12 Januari 2016, Pemprov DKI Jakarta melakukan
penggusuran terhadap warga Bukit Duri RW 10, RT 02, RT 11, dan RT 15,
padahal ketika itu gugatan warga terhadap surat perintah bongkar yang
dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta terhadap warga Bukit Duri sedang
diproses para penegak hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kemudian 28 September 2016 Pemprov DKI Jakarta kembali resmi
menugaskan laskar penggusuran untuk membumiratakan kawasan RT 06 RW 12
Bukit Duri, padahal bangunan dan tanah yang digusur sedang dalam proses
hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta PTUN Jakarta Utara.
Penggusuran Bukit Duri memang beda dari penggusuran-penggusuran
lazimnya dalam hal bukan cuma dilakukan dengan bentuk pelanggaran
tunggal namun malah bhinneka. Pelanggaran hukum merangkap pelanggaran
HAM sekaligus pelanggaran kemanusiaan.
Saya tidak ingin meratapi sejarah namun sekadar berikhtiar
mendayagunakan sejarah sebagai bekal perjalanan menyambut atau bahkan
kalau bisa; membentuk masa depan yang lebih baik.
Memang nasi sudah menjadi bubur namun marilah kita olah sang bubur menjadi hidangan yang malah lebih lezat ketimbang nasi.
Memang dalam kasus Bukit Duri dan mungkin juga dalam kasus
lain-lainnya yang di luar pengetahuan saya, Pemerintah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta telah melakukan penggusuran dengan cara yang
menurut Majelis Hakim PN Jakpus, PTUN Jakut, LBH Jakarta, mantan Ketua
MK, Prof Mahfud MD, Menhukham, Dr. Yasonna Laoly, merupakan pelanggaran
hukum secara sempurna.
Penggusuran Bukit Duri juga tidak selaras dengan 17 Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan yang telah diikrarkan PBB sebagai pedoman
pembangunan abad XXI yang telah disepakati segenap anggota PBB, termasuk
Indonesia.
Komnas HAM juga telah menegaskan bahwa penggusuran rakyat atas nama
pembangunan yang dilaksanakan tanpa proses musyawarah-mufakat terutama
mengenai bentuk dan jumlah ganti rugi bagi rakyat tergusur merupakan
pelanggaran HAM.
Hanya mereka yang gagal-paham dan ingkar-realita saja yang tega
menyatakan bahwa penggusuran Bukit Duri tidak melanggar hukum, HAM dan
kemanusiaan adil dan beradab.
Seyogianyalah, penggusuran yang telah terbukti terjadi terhadap
Bukit Duri pada tahun 2016 dicegah agar jangan sampai terulang kembali
terjadi pada tahun 2017 dan tahun-tahun selanjutnya selama Republik
Indonesia masih merupakan negara hukum yang menghormati HAM serta masih
menjunjung tinggi Pancasila.
Insya Allah, para kepala daerah yang akan terpilih pada Pilkada 2017
semuanya masih taat hukum, menghormati HAM dan menjunjung tinggi
Pancasila maka tidak akan melakukan penggusuran rakyat atas nama
pembangunan infrastruktur secara melanggar hukum, HAM dan Pancasila.
Bagi para kepala daerah yang belum tahu mengenai apa yang disebut
sebagai Pembangunan Berkelanjutan, masih tersedia waktu untuk
mempelajari kesepakatan PBB atas pembangunan di planet bumi tanpa
mengorbankan kepentingan lingkungan hidup, lingkungan budaya apalagi
manusia.
Sekumuh-kumuh dan semiskin-miskin rakyat, mereka tetap sesama warga
Indonesia dan sesama manusia yang seorang pun tidak layak dikorbankan
dengan alasan apa pun juga.
Apabila masih ada kepala daerah yang berpegang teguh pada keyakinan
bahwa rakyat tidak-bisa-tidak harus dikorbankan demi kelancaran
pembangunan infra struktur, sebaiknya melakukan penggusuran secara
mandiri seorang diri sendiri saja, tanpa memaksa Satpol PP di bawah
ancaman dipecat untuk menggusur sesama warga Indonesia.
Juga sebaiknya jangan sampai masih ada kepala daerah yang gegabah
merusak kemanunggalan TNI dengan rakyat dengan minta bantuan TNI untuk
mengawal para Satpol PP menggusur rakyat.
Marilah kita bersama menjaga citra Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang menghormati HAM dan menjunjung tinggi Pancasila agar jangan
sampai beredar lelucon tentang apa beda antara penindasan di Indonesia
pada masa penjajahan dengan penindasan di Indonesia pada masa
kemerdekaan yang kemudian dijawab bahwa penindasan di Indonesia pada
masa penjajahan adalah sesama manusia menindas sesama manusia, sementara
penindasan Indonesia pada masa kemerdekaan adalah sebaliknya.
* Penulis adalah seniman dan budayawan, pemrihatin nasib rakyat tergusur
Membentuk masa depan yang lebih baik
....Saya tidak ingin meratapi sejarah namun sekadar berikhtiar mendayagunakan sejarah sebagai bekal perjalanan menyambut atau bahkan kalau bisa; membentuk masa depan yang lebih baik....