Dampak kemitraan transpasifik layu sebelum berkembang

id Trans-Pasifik, tpp, Presiden RI, Joko Widodo, Presiden AS, Barack Obama, ekonomi

Dampak kemitraan transpasifik layu sebelum berkembang

Trans-Pacific Partnership (Antarasumsel.com/Grafis/Ag/17)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Presiden RI Joko Widodo saat berkunjung ke Amerika Serikat pada Oktober 2015, pernah menyatakan ketertarikannya untuk bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) kepada Presiden AS, Barack Obama.

Namun, pada saat ini, Pemerintah Indonesia menyatakan akan menghentikan rencana keikutsertaan dalam perundingan Kemitraan Trans Pasifik (TPP), setelah Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika menarik diri dari negosiasi tersebut.

Menurut Deputi Sekretariat Wapres Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Dewi Fortuna Anwar mengatakan usai kunjungan kehormatan Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph R Donovan di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (25/1), bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Indonesia tidak akan menindaklanjuti rencana bergabung dengan TPP.

Terkait dampak penarikan diri AS terhadap kerja sama dengan Indonesia, Dewi mengatakan Indonesia baru tertarik untuk bergabung dengan TPP karena melihat adanya peluang untuk berkompetisi di pasar yang lebih luas, oleh karena itu posisi Indonesia masih menunggu posisi negara-negara lain terkait kerja sama perdagangan regional tersebut.

Mundurnya pemerintah RI dari ketertarikan untuk mengikuti TPP terutama terpicu dari Presiden AS yang baru, Donald Trump, yang setelah dilantik segera mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan AS dari TPP.

Donald Trump melakukan hal itu untuk menepati janji kampanye yang telah dicetuskannya pada masa pemilu tahun lalu.

Akibatnya, Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland pada Selasa (24/1), mengatakan TPP tidak bisa diteruskan jika Amerika Serikat tidak ikut serta di dalamnya.

"Perjanjian ini sudah dibuat sedemikian rupa sehingga hanya bisa diberlakukan jika Amerika Serikat juga meratifikasinya," kata Menlu Freeland kepada para wartawan di Calgary, sebagaimana dikutip kantor berita Reuters.

TPP itu sendiri merupakan perjanjian perdagangan antara ke-12 negara di lingkup Pasifik. Selain Amerika Serikat, negara lainnya adalah Australia, Brunei Darussalam, Chile, Jepang, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam.

TPP itu sendiri telah ditandatangani di Auckland, Selandia Baru, pada tanggal 4 Februari 2016 setelah perwakilan antarnegara itu melakukan tujuh tahun negosiasi.

Tujuan dari TPP, berdasarkan 30 bab dalam perjanjian tersebut adalah mempromosikan pertumbuhan ekonomi, mendukung penciptaan lapangan kerja, meningkatkan inovasi, produktivitas dan daya saing, menaikkan tingkat kesejahteraan penghidupan, mengurangi kemiskinan, mempromosikan transparansi, dan tata kelola pemerintahan yang baik, serta meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan lingkungan.

Dalam prinsip teknisnya, TPP seperti halnya perjanjian bebas lainnya, adalah berisi perihal menurunkan tarif bea masuk perdagangan, serta membuat mekanisme penyelesaian perselisihan antara investor dan negara.

    
Apresiasi
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan mengapresiasi Pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan tidak tertarik lagi dan mengurungkan niatnya untuk turut serta dalam perjanjian dagang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP).

Heri Gunawan menyatakan apresiasinya terhadap pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo karena bergabung dengan TPP dinilai merupakan kekeliruan besar yang bertentangan dengan ekonomi kerakyatan yang dianut Indonesia.

"Bergabung dalam TPP sama saja melayani kepentingan korporasi besar dan orang-orang kaya. Ini jelas bertentangan dengan jalan kerakyatan yang selama ini dikobarkan," tuturnya.

Politisi Partai Gerindra itu juga berpendapat TPP mengancam kepentingan nasional, karena ada skema liberalisasi perdagangan barang dan jasa yang komprehensif, terjadwal, dan mengikat.

"Bahkan, TPP disebut-sebut lebih progresif karena mencakup isu-isu WTO-plus," ujar Heri.

Menurut dia, dengan keluar dari TPP, berarti pemerintah telah menyelamatkan bangsa besar ini dari skenario yang sangat merugikan.

Selanjutnya, ia menyatakan bahwa Indonesia bisa berperan sebagai pelopor usaha dan kerja sama regional, dan bukan sebagai pengikut.

"Indonesia harus memelopori usaha yang mengarahkan negara-negara anggota ASEAN dan Asia Timur untuk lebih fokus pada upaya-upaya kerja sama ekonomi dalam kerangka ASEAN," tegas Heri.

TPP dinilai Heri sebagai alat politik dan ekonomi AS yang tidak lain merupakan intervensi penguasaan korporasi atas berbagai sektor kehidupan manusia dan warga masyarakat suatu negara.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani juga menegaskan, tanpa adanya AS dalam TPP, Indonesia seharusnya tak lagi membahas rencana untuk bergabung dalam perjanjian tersebut.

"Kita tidak usah bahas itu lagi. Amerika saja keluar, untuk apa lagi kita ikut TPP?" ujarnya usai mengisi acara dialog terbuka bertema "Kebijakan Ekonomi, Bisnis, dan Politik AS dibawah Presiden Trump: Pengaruhnya terhadap Indonesia" di auditorium Centre for Strategic and International Studies, Jumat (27/1).

Rosan melanjutkan pada saat ini, Indonesia sebaiknya mengkonsentrasikan fokus kerja sama dagang dengan negara lain, daripada mempertimbangkan bergabung dalam TPP.

Dia mengingatkan bahwa Indonesia saat ini juga memiliki perjanjian dagang dengan sejumlah negara lain.

Di tempat yang sama, pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan kerja sama TPP berpotensi memperlemah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri.

"Mereka punya kemampuan teknologi, permodalan dan jaringan bisnis untuk menghancurkan UMKM dan BUMN kita. Saya menolak kita ikut TPP karena industri di dalam negeri kita masih rentan, dan berpotensi kalah bersaing," ucap Teuku Rezasyah.

Ia mengatakan keputusan Presiden Donald Trump untuk menarik diri dari TPP sangat beralasan, karena dia melihat potensi TPP yang hanya menguntungkan negara pengekspor ke Amerika Serikat, sehingga berpotensi memperlemah industri dalam negeri Amerika Serikat.

    
Ancaman
Lembaga swadaya masyarakat Indonesia for Global Justice (IGJ) mengingatkan meski Kemitraan Transpasifik (TPP) telah dipastikan bubar dengan hengkangnya Amerika Serikat, tetapi ancaman serupa masih berpotensi dihadapi Indonesia.

"Bagi kami, soalnya bukan AS keluar dari TPP, tetapi apa yang sudah TPP wariskan kepada dunia," kata Direktur IGJ Rachmi Hertanti dalam rilis, Sabtu.

Menurut Rachmi, meski Indonesia tidak bergabung dengan TPP, tetapi ancaman TPP berpotensi dihadapi Indonesia dari pelaksanaan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan perundingan perdagangan dengan Uni Eropa (IEU-CEPA).

Dia berpendapat, keluarnya AS dari keanggotaan TPP akan mempengaruhi peta perdagangan global karena akan membuat TPP tidak menarik, meski ada beberapa upaya dari Australia dan Jepang untuk tetap melanjutkannya.

"Bila TPP tetap dilanjutkan, tentu ekspektasinya akan berbeda dibandingkan RCEP. Dari jumlah pasar maupun PDB, TPP 12 minus 1 akan kalah dari RCEP," jelas Direktur Eksekutif IGJ.

Namun, Rachmi juga mengingatkan bahwa TPP selama ini telah menciptakan semacam "standar emas" aturan liberalisasi perdagangan dan investasi yang bakal ditiru ileh RCEP dan IEU-CEPA.

Padahal, menurut dia, perundingan kemitraan ekonomi komprehensif RI-Uni Eropa (IEU-CEPA) penuh dengan ketimpangan keadilan sehingga perlu dihentikan pembahasannya.

"CEPA penuh dengan ketimpangan keadilan," katanya dan mencontohkan, dalam perundingan dipaparkan mengenai penerapan mekanisme sanksi yang mengikat melalui investor yang bisa menggugat putusan yang dikeluarkan negara.

Namun, lanjutnya, terkait aturan pembangunan berkelanjutan, tidak ada satupun mekanisme sanksi tegas bagi investor yang merusak lingkungan atau melanggar HAM.

Selain itu, ujar dia, dalam bab-bab yang mengatur liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi dan tenaga kerja dibuat mengikat secara hukum.

Sayangnya, di sisi lain aturan syarat pembangunan berkelanjutan untuk memberikan perlindungan bagi rakyat dan lingkungan hanya bersifat sukarela.

Untuk itu, IGJ bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, ASEAN, dan Eropa mengirimkan surat kepada Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa untuk menuntut penghentian perundingan IEU CEPA.

"Negosiasi CEPA tidak dapat dilanjutkan sebelum adanya analisis dampak yang komprehensif terhadap keberlanjutan hidup dan hak asasi manusia," imbuh Direktur Eksekutif IGJ.

Ia menegaskan, pertimbangan terhadap segi sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia wajib diutamakan di atas perdagangan bebas dan pemberian perlindungan bagi korporasi multinasional.

Sebelumnya, proses perundingan putaran kedua IEU-CEPA yang akan berlangsung pada 24-27 Januari 2017 di Denpasar, Bali, dinilai menjadi penentu arah kemitraan strategis bagi kedua belah pihak.

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menyatakan perundingan tersebut memiliki peran strategis karena hasil perundingan itu nantinya akan menjadi landasan penentuan mekanisme dan arah perundingan selanjutnya.

Untuk itu, sebelum melangkah lebih lanjut, perlu dipikirkan hati-hati agar dampak perjanjian seperti TPP dan IEU-CEPA tidak bermanfaat negatif bagi Indonesia.