Stop Eksploitasi pekerja rumah tangga di Indonesia

id pembantu rumah tangga, prt, menjalani, profesi, asisten rumah tangga, pekerja, objek eksploitasi, suasana kerja, mempekerjaka

Stop Eksploitasi pekerja rumah tangga di Indonesia

Ilustrasi (FOTO ANTARA/Eric Ireng/Ang)

.... Mereka mengalami bermacam-macam pelanggaran hak, yaitu upah murah, tidak dibayar, penundaan dan pemotongan gaji, jam kerja tidak jelas dan beban kerja berlebihan.....
Bandarlampung (Antarasumsel.com) - Sudah sekitar 12 tahun bertahan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT), Sari Andiyati (27) mengaku mengalami pahit getir saat terpaksa menjalani profesi dikenal awam sebagai "pembantu" ini.

Dia pun menuturkan, pada awalnya berbagai kondisi yang kurang mengenakkan terkait dengan suasana kerja pernah dialaminya.

Namun semua itu terus dijalani, karena memang keterdesakan untuk dapat meneruskan sekolahnya.

Saat ini, setelah dirinya berkesempatan mencuri-curi waktu untuk dapat mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Sekolah PRT di Bandarlampung, mulai banyak perubahan yang dialami, terutama terkait dengan kondisi kerja.

Ia pun mengaku kini masih harus berjuang bersama rekan-rekannya sesama PRT, dibantu lembaga swadaya masyarakat, untuk mendapatkan pengakuan atas profesi PRT agar ke depan tidak lagi menjadi objek eksploitasi atau perlakuan semena-mena majikan yang mempekerjakan mereka.

Sari memulai bekerja sebagai PRT sejak usia 15 tahun, dan hingga saat ini berusia 27 tahun, masih bertahan bekerja sebagai PRT.

Pengalaman pahit dan getir, sebutnya, masih dialami umumnya para PRT di Indonesia, termasuk PRT anak.

Dalam workshop diselenggarakan di sebuah hotel di Bandarlampung, Kamis (2/2), empat narasumber yaitu Sari Andiyati (PRT), Sely Fitriani (Direktur Eksekutif Perempuan DAMAR), Wiwin Hefrianto (KSPI), dan Ahmad Marzuki (JARAK) mengungkapkan para PRT rentan terhadap pelbagai kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial.

Mereka mengalami bermacam-macam pelanggaran hak, yaitu upah murah, tidak dibayar, penundaan dan pemotongan gaji, jam kerja tidak jelas dan beban kerja berlebihan.

Para PRT itu dipekerjakan untuk melakukan semua pekerjaan di rumah, jam kerja berlebihan, kebanyakan lebih dari 12-16 jam per hari sehingga membahayakan kesehatan, tidak ada libur mingguan, tidak ada cuti tahunan, akses pergaulan terbatas, dan terkurung di rumah majikan.

"PRT juga rentan mengalami eksploitasi oleh penyalur, menjadi korban traficking, tanpa jaminan sosial, tidak diperbolehkan berorganisasi atau berserikat, tidak ada perjanjian kerja, dan tidak ada perlindungan hak," ujar Sely Fitriani, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR.

Karena itu, keberadaan para PRT termasuk yang masih anak-anak memerlukan jaminan perlindungan dengan adanya undang-undang atau peraturan mengikat yang berlaku secara nasional maupun di tingkat daerah.

Desakan agar pemerintah bersama DPR segera mengesahkan undang-undang perlindungan PRT, dan pemerintah daerah juga mengupayakan aturan di tingkat lokal itu, mengemuka dan disampaikan lagi dalam workshop perumusan kebijakan perlindungan PRT yang digelar bekerjasama dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) Perwakilan Indonesia di Jakarta.

Nasib para PRT itu pun mendorong adanya jaringan advokasi yang berbasiskan nasional dan terbentuk pada 11 Juli 2004 yang terdiri dari 26 lembaga swadaya masyarakat dan individu-individu yang peduli terhadap perlindungan PRT yaitu JALA PRT.

Menurut JALA PRT, Pekerja Rumah Tangga atau disingkat PRT adalah orang yang bekerja pada rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dengan memperoleh upah.

JALA PRT mencatat tahun 2012 ada 327 kasus kekerasan terhadap PRT, 2013 ada 336 kasus. Sedangkan pada 2014 ditemukan 408 kasus, dan 402 kasus di tahun 2015.

Hingga periode September 2016 terdapat 217 multikasus berupa kekerasan, gaji tidak dibayar, dan perdagangan orang.

Sebanyak 65 persen kasus itu adalah upah yang tak dibayar atau dipotong semena-mena, kekerasan fisik, dipukul, dibenturkan; 37 persen mengalami pelecehan seksual; 46 persen mengalami eksploitasi dan perdagangan, penyekapan, pemerasan oleh agen penyalur.

Berdasarkan data ILO tahun 2004, hampir 2,6 juta orang bekerja sebagai PRT di Indonesia, dan lebih 111.000 di antaranya adalah pekerja rumah tangga anak (PRTA), yaitu berusia di bawah 18 tahun.

Hasil analisa data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2012 menunjukkan terdapat sekitar 2.555.000 PRT berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di Indonesia, dan 1,7 juta di antaranya bekerja di Pulau Jawa. Sekitar 75 persen PRT di Indonesia adalah perempuan dan sebagian besar berasal dari kawasan perdesaan, dan umumnya berpendidikan rendah.

Pada workshop yang didukung oleh Perwakilan ILO di Jakarta itu, selain Sari Andiyati yang menyampaikan pengalaman menjadi seorang PRT, narasumber lainnya yaitu Sely Fitriani (DAMAR) memaparkan mengenai hasil pengorganisasian dan penjangkauan PRT, Wiwin Hefrianto (KSPI) tentang sosialisasi PRT di kalangan anggota serikat pekerja dan kampanye advokasi perlindungan PRT, serta Ahmad Marzuki (JARAK) mengenai pemantauan berbasis komunitas di Lampung, Kota Layak Anak, dan peta jalan menuju penghapusan pekerja anak termasuk pekerja rumah tangga anak.

    
Ratifikasi Konvensi ILO
Muhammad Nour, Perwakilan ILO di Jakarta mengungkapkan bahwa standar perlindungan PRT secara internasional telah dituangkan dalam Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, dengan poin-poin utamanya adalah pengaturan mengenai jam kerja layak, upah layak, perlindungan sosial, hak cuti, dan kontrak kerja.

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, telah mengatur beberapa standar khususnya kontrak kerja, upah, dan asuransi.

Namun, kebijakan ini dinilai relatif masih lemah karena tidak memiliki kekuatan penegakan hukum terkait perlindungan PRT.

"Walaupun ILO ILO telah mengadopsi Konvensi ILO No. 189 tahun 2011 tentang Kerja Layak Bagi PRT, sayangnya hingga saat ini Pemerintah Indonesia juga belum ada rencana meratifikasi Konvensi ILO 189 ini," kata Nour pula.

Direktur DAMAR Sely Fitriani menambahkan walau pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja telah menerbitkan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, kebijakan tersebut belum secara konkret dimplementasikan.

Padahal, menurutnya lagi, Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga belum mengatur jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dan kewajiban pekerja yang bekerja di sektor domestik/rumah tangga.

Ikram Badila, akademisi FISIP Universitas Lampung (Unila) mengatakan PRT, sifat pekerjaannya memiliki kekhasan dalam relasi antara PRT-pemberi kerja, lingkup kerja dan tempatnya, masih menguatnya anggapan PRT sebagi pekerjaan non-ekonomis sehingga PRT ditempatkan pada posisi yang tidak layak dan jauh dari standard seorang pekerja.

"Ketiadaaan perlindungan dan pengakuan terhadap keberadaan sektor pekerjaan rumah tangga menjadikan PRT menjadi salah satu jenis kerja yang paling termarjinalkan dan berada dalam kondisi yang mudah untuk dijadikan obyek eksploitasi dan kekerasan," katanya lagi.

Ikram melanjutkan, melihat kondisi kehadiran negara yang masih minim dalam hal perlindungan PRT, maka solusi yang perlu dilakukan Pemprov Lampung adalah menerbitkan kebijakan lokal yang merealisasikan kerja layak bagi PRT dan melindungi hak pemberi kerja.

Dia menyatakan, kekerasan terhadap PRT hanya dianggap kekerasan dalam rumah tangga biasa dan itu hanya urusan polisi. Padahal di antara PRT itu ada yang masih tergolong remaja dan anak-anak yang lebih rentan mengalami kekerasan.

Meskipun menurut peraturan di Indonesia, anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak boleh dipekerjakan sebagai PRT, namun setidaknya 25 persen dari PRT di Indonesia diperkirakan berusia 18 tahun.

Di Bandarlampung, data DAMAR menyebutkan ada sekitar 215 PRTA yang bekerja di rumah tangga pada beberapa kecamatan di kota ini.

Workshop yang digelar Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR yang tergabung dalam JALA PRT bersama JARAK dan KAPPRTBM ini melibatkan pemangku lintas kepentingan yang terdiri dari aparatur Pemprov Lampung, akademisi, NGO, serikat pekerja, media massa, dan ormas yaitu Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Tenaga Kerja, P2TP2A Provinsi Lampung, FISIP Unila, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Fatayat NU, Muslimat NU, Aisiyah, AJI Bandarlampung, YLPMD, LAdA, LBH Bandarlampung, WALHI Lampung, Mitra Bentala, KSPSI, KSPI, KSBSI, dan pekerja media.

Kondisi pahit getir dialami para PRT akibat tak menentu hak dan kewajiban para PRT di Indonesia itu, memerlukan adanya perlindungan terhadap keberadaan PRT berupa peraturan yang memberikan pengakuan PRT sebagai pekerja, dan penghormatan serta perlindungan atas hak-hak yang melekat padanya serta situasi kerja layak PRT sebagaimana pekerja umumnya.

"Perangkat peraturan perwujudan situasi kerja layak bagi PRT juga merupakan sarana untuk membawa PRT dalam perekonomian formal," kata Wiwin Hefrianto (KSPI) yang didukung pula oleh Ahmad Marzuki (JARAK) serta Sely Fitriani (DAMAR).

Diharapkan setelah workshop ini akan lahir sebuah kebijakan yang terkait dapat memberikan perlindungan bagi PRT, setidaknya di Provinsi Lampung, mengingat hingga saat ini kebijakan perlindungan PRT masih minim.

"Kami berhadap di Lampung ada aturan dikeluarkan oleh gubernur, bupati maupun wali kota di daerah ini tanpa harus menunggu adanya undang-undang khusus tentang PRT, sehingga keberadaan PRT di Lampung dapat terlindungi dengan baik," ujar Ahmad Haryono dari Yayasan Lembaga Pembinaan Masyarakat Desa (YLPMD) di Metro, Lampung yang ikut menjadi pendamping advokasi PRT di Lampung.

Pengalaman buruk dialami para PRT seperti Sari Andiyati dan sesama PRT lainnya, termasuk PRT anak seharusnya segera diakhiri.

PRT memerlukan perlindungan dalam bentuk aturan perundangan formal yang sudah lama didesakkan kepada pemerintah dan DPR namun belum diwujudkan sampai sekarang.

Profesi PRT perlu pula pengakuan formal atas keberadaan mereka sebagai pekerja umumnya, dengan hak dan kewajiban, berikut sanksi bagi majikan yang lalai dalam memperkerjakan PRT ini.

Kini saatnya PRT di Indonesia lebih dimanusiakan, dan jangan lagi membiarkan praktik serupa perbudakan terjadi di era modern saat ini masih terus berlanjut.

Stop eksploitasi PRT termasuk PRT anak.

Pemerintah Indonesia bersama DPR seharusnya mendukung upaya itu, dengan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, serta menetapkan undang-undang dan peraturan untuk perlindungan PRT di Indonesia agar tak terus dieksploitasi.