Klaim ganti rugi pencemaran Pantai Nongsa terancam gagal

id tumpahan minyak, Pantai Nongsa, pencemaran, ganti rugi, Kepulauan Riau, kecelakaan kapal tanker

Klaim ganti rugi pencemaran Pantai Nongsa terancam gagal

Ilustrasi- Dokumentasi petugas melepas perangkap minyak ke laut . ( (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/Ang)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Upaya pemerintah untuk mendapatkan ganti rugi atas pencemaran Pantai Nongsa, Batam,Kepulauan Riau  akibat tumpahan minyak dari kecelakaan kapal tanker di Johor, Malaysia yang terjadi awal Januari lalu, terancam gagal.

Pasalnya, rencana klaim ganti rugi terkendala telah hilangnya barang bukti tumpahan minyak di kawasan Pantai Nongsa yang akan dijadikan sampel untuk diklaim ke Revolving Fund Committee.

Melalui siaran pers di Jakarta, Jumat, disebutkan bahwa tumpahan minyak sudah ditangani oleh Badan Lingkungan Hidup dan nelayan di sekitar Pantai Nongsa, Batam.  
Salah satu perwakilan dari Badan Lingkungan Hidup Kota Batam yang hadir dalam acara itu mengakui ketidaktahuannya tentang adanya prosedur standar (SOP) dari Revolving Fund Committee.

Selain itu, pihaknya juga khawatir bila limbah tumpahan minyak tidak segera ditangani maka wisatawan dan nelayan yang berada di Pantai Nongsa akan mengalami gangguan kesehatan.

Deputi I Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman Arif Havas Oegroseno melakukan sosialisasi penanganan tumpahan minyak untuk mengantisipasi masalah tersebut.

Sosialisasi tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut penanganan tumpahan minyak akibat kecelakaan dua kapal asing di Pelabuhan Pasir Gudang Johor Malaysia yang limbahnya terkena arus laut hingga ke Pantai Nongsa, Batam, Kepulauan Riau.

Materi yang disosialisasikan adalah Standard Operating Procedure (SOP) penanganan tumpahan minyak bersama di Selat Malaka dan Singapura yang dibuat oleh Revolving Fund Committee.

Havas mengaku SOP tersebut dipilih karena sebelumnya telah ada nota kesepahaman/MoU (Memorandum of Understanding) antara Indonesia, Malaysia, Singapura dan Dewan Selat Malaka (Malacca Strait Council) pada 1981.

MoU tersebut mengatur tentang mekanisme pengananan bersama tiga negara terhadap polusi minyak yang disebabkan oleh kegiatan kapal atau kecelakaan kapal di wilayah Selat Malaka dan Singapura.

"Dari MoU itu ada dana perwalian (trust fund) yang disediakan khusus untuk penanggulangan dampak limbah tumpahan minyak dari kapal," ujarnya.

Untuk itu, pemerintah bermaksud mengklaim dana tersebut dari Revolving Fund Committee, pengelola dana Trust Fund, untuk menangani masalah minyak di Pantai Nongsa, Batam.

"Malaysia dan Singapura menjalankan SOP Revolving Fund Committee dengan cepat sehingga mereka saat ini sudah mendapatkan dana untuk penanggulangan tumpahan minyak dari kecelakaan kapal di Johor," tambahnya.

    
Pahami
Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Kemaritiman Basilio Dias Araujo meminta para pemangku kepentingan yang hadir untuk memahami SOP Revolving Fund tersebut khususnya untuk penanganan masalah tumpahan minyak di wilayah Selat Malaka.

"Bila rekan-rekan di lapangan menemukan tumpahan minyak, jangan ambil sekop, tapi segera ambil handphone dan telpon NOC (National Operation Center) agar tim investigasi segera turun," jelasnya.

Tim investigasi tersebut, lanjutnya salah satunya terdiri atas anggota Revolving Fund Committee.

Lebih jauh, Basilio mengatakan kepada peserta sosialisasi agar menginformasikan nomor NOC yakni (021) 3456614 serta nomer kontak KPLP (Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai) kepada masyarakat di wilayah mereka.

"Agar koordinasi dan penanganannya bisa cepat," ujarnya.

Peserta yang diundang dalam sosialisasi adalah semua pemangku kepentingan yang berada di kawasan Selat Malaka, antara lain Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Karimun, Kepala Kantor Pelabuhan Kota Batam, Kepala Kantor Pelabuhan Aceh Timur dan Kepala Kantor Pelabuhan Bengkalis.

Selain itu, Kemenko Kemaritiman juga mengundang Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Kementerian Luar Negeri serta Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Indonesia telah memiliki instrumen hukum untuk menangani tumpahan minyak di laut, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2006 tentang penangulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut. Peraturan tersebut merupakan pelaksanaan  UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan ratifikasi konvensi UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of the Sea).

Peraturan tersebut digunakan untuk menangani dampak kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi, serta kegiatan lainnya mengandung risiko terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan terjadinya tumpahan minyak di dalam negeri.