Media diminta cerdas beritakan teror

id media, memberitakan, pemberitaan, peristiwa teror, wartawan, bersikap cerdas, bijaksana, kontraproduktif

Media diminta cerdas beritakan teror

Ilustrasi (ANTARA)

Medan (Antarasumsel.com) - Kalangan media massa diminta untuk mampu bersikap cerdas dan bijaksana dalam memberitakan peristiwa teror agar tidak menghasilkan kondisi yang kontraproduktif.

Dalam workshop "Penguatan Perspektif Korban Dalam Peliputan Isu Terorisme" yang diselenggarakan Yayasan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Medan, Minggu, Direktur Indonesia News Medi Watch Agus Sudibyo mengatakan, peliputan tentang aksi teror memang sering menarik perhatian masyarakat.

Namun faktor yang patut dipertimbangkan, kelompok teror selama ini sangat sadar terhadap keberadaan media.

Karena itu, kelompok yang sering melakukan aksi teror tersebut menjadikan media massa untuk menyampaikan provokasi dan misi teror.

Melalui informasi yang disampaikan media, kelompok teror tersebut juga sering mendapatkan data yang akan dikalkulasikan dalam menentukan langkah-langkah dan aksi selanjutnya.

Untuk itu, kalangan media massa harus hati hati dan bijaksana dalam meliput, termasuk selektif dalam membuat berita.

Sebelum membuat berita, praktisi media perlu mengkaji dampak dari pemberitaan yang akan disampaikan tersebut.

Kalau tidak cerdas atau terlalu banyak memberitakan, tidak tertutup kemungkinan kalangan media terjebak dalam skenario kelompok teror itu.

Selain cerdas dalam menampilkan berita, media massa juga perlu memahami aturan liputan, termasuk tidak terjebak dalam "fanatisme buta" terhadap kebebasan pers.

Kekurangbijaksanaan dalam tugas di lapangan bisa memberikan hasil yang kontraproduktif, bahkan membantu kelompok yang melakukan teror.

Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) tersebut mengambil contoh aksi teror yang terjadi di Hotel Taj Mahal, India, pada tahun 2008.

Dengan alasan kebebasan pers, sejumlah stasiun televisi memaksa untuk menyiarkan peristiwa dan langkah penanganan terhadap aksi tersebut secara live.

Tayangan live terhadap penanganan peristiwa itu justru menyebabkan pelaku teror mengetahui langkah-langkah yang dilakukan tim antiteror India.

"Mereka dengan mudah melempar granat atau menembak tim antiteror karena mengetahui gerakan yang dilakukan. Akibatnya, 13 polisi India tewas," katanya.

Kemudian, untuk menghindari kesan "kambing hitam" dan penuduhan terhadap kelompok tertentu, Agus Sudibyo menyarankan agar media menghindari "profiling" terhadap pelaku teror.

Ia mencontohkan penyebutan agama dan etnis pelaku. "Kesalahan itu adalah kesalahan individu, bukan kesalahan kolektif," ujar anggota Dewan Pers tersebut.