Dekolonisasi kebudayaan di Indonesia paling tertinggal

id kebudayaan Indonesia, Hilmar Farid, kebudayaan, Dekolonisasi politik, dekolonisasi ekonomi

Dekolonisasi kebudayaan di Indonesia paling tertinggal

Direktur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid (kedua kiri), setelah menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Nasional "Peran Kebudayaan dalam Pembangunan" di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (4/4/2017). (ANTARA/Gilang Galia

Jakarta (Antarasumsel.com) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, menyatakan kebudayaan merupakan aspek yang proses dekolonisasinya paling tertinggal di Indonesia.

Hal itu pula yang menurut Hilmar kerap membuat orang Indonesia cenderung merasa lebih bangga ketika kebudayaan mereka dibicarakan oleh orang non-Indonesia, demikian disampaikan disela Seminar Nasional "Peran Kebudayaan dalam Pembangunan" di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, Selasa.

"Memang ada problem dekolonisasi yang tidak selesai. Dekolonisasi politik terjadi, Indonesia merdeka. Kemudian dekolonisasi ekonomi, tadi sebagaimana disebutkan masih ada dominasi penguasaan asing dan sebagainya," kata Hilmar.

"Dalam kebudayaan, dekolonisasinya paling tertinggal," ujarnya menambahkan.

Hilmar menuturkan pada era 1960-an - 1970-an sejumlah ilmuwan sosial di Indonesia menggulirkan ide untuk pribumisasi Ilmu Sosial Indonesia.

"Gagal sebagai proyek, tetapi usahanya jelas ada. (Itu) mencoba melihat lagi kearifan lokal apa sih yang bisa dipakai untuk menata sistem sosial dan sebagainya. Ada upaya-upaya semacam itu," ujar Hilmar.

Sementara jika berkaca pada era kiwari, lanjut Hilmar, hal itu bisa dilakukan antara lain dengan menyuntikkan instrumen-instrumen kearifan lokal ke dalam proses perencanaan pembangunan.

Salah satu contohnya adalah kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang disebut Hilmar sebagai suatu inisiatif yang luar biasa.

"Saya kira itu sesuatu inisiatif yang luar biasa dan perlu didorong lebih maju menjadi misalnya dalam bentuk Sonjo Kampung," kata Hilmar merujuk pada kegiatan kunjungan dari kampung ke kampung yang lazim dilakukan masyarakat Jawa.

       Bukan hal mudah

Hilmar menyatakan kearifan lokal semacam Sonjo Kampung tersebut yang saat ini paling mungkin untuk digunakan dan dikembangkan, namun hanya untuk skala kecil atau lokal.

Sementara jika seluruh kearifan lokal diserap dalam perencanaan pembangunan tingkat nasional itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

"Coba bayangkan betapa rumitnya, karena harus menyusun beragam ekspresi pengetahuan, pemikiran dan segala macam itu menjadi program, itu ideal sekali, mimpi kita lah boleh dibilang. Di mana segala macam kearifan lokal bisa masuk dalam perencanaan pembangunan, tetapi itu menurut saya hal yang tidak mudah," kata Hilmar.

"Gampang dikatakan. Kita bisa pakai kata-kata dekolonisasi dan sebagainya, tetapi untuk bisa mencapai ke sana itu pekerjaan rumah yang besar," ujarnya menambahkan.

Pasalnya untuk mewujudkan hal tersebut pasti akan menyangkut dengan perombakan sistem pendidikan, sistem pendidikan tinggi, dan sebagainya.

"Bukan tidak mau dijalankan, tetapi itu bukan perkara yang mudah," pungkasnya.