Julukan Presiden penyair Indonesia Sutardji "digugat"

id sair, Sutardji, Sastra, sastrawan, Sitok Srengenge, Rengat, Indragiri Hulu, K.H. A. Mustofa Bisri

Julukan Presiden penyair Indonesia Sutardji "digugat"

Sutardji Calzoum Bachri. (Youtube.com)

Semarang (Antarasumsel.com) - Julukan Presiden Penyair Indonesia yang diberikan kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri "digugat" pada ajang Sastra Pelataran Semarang di Kantor PWI Jawa Tengah, Semarang, Jumat (5/5) malam.
    
"Gugatan" itu disampaikan sastrawan Sitok Srengenge, bukan karena julukan tersebut tidak pantas, melainkan karena semestinya penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941 itu, mendapatkan julukan yang lebih tinggi dari presiden.

"Kalau presiden, kapan berhentinya? Kapan jabatannya berakhir? Siapa wakil presidennya? Presiden itu istilah untuk jabatan politik, ada batas waktunya. Sementara penyair itu ranah sastra yang tidak akan pernah habis," kata Sitok.

Semestinya, Sutardji yang selama ini nama besarnya telah mewarnai perjalanan sastra di Indonesia mendapatkan julukan yang lebih dari presiden, kata Sitok yang langsung disambut aplaus dari para hadirin ajang sastra itu.

Selain Sitok dan deretan penyair lainnya, hadir pula pada ajang sastra yang secara khusus menampilkan Sutardji itu, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Thalibien, Rembang, K.H. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus.

Menanggapi itu, Sutardji yang tahun ini akan berusia 76 tahun itu menceritakan asal mula julukan yang sengaja disebutkannya sendiri pada suatu perhelatan sastra sekitar tahun 1970-an sebagai metafora dalam pesona kesusasteraan.

"Kalau Amir Hamzah kan dijuluki Raja Penyair Pujangga Baru, Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45, saya sebut ketika itu, sayalah Presiden Puisi Indonesia. Presiden puisi, bukan penyair," katanya disambut tawa hadirin.

Tak disangka, julukan yang disebut sendiri oleh Sutardji itu kemudian melekat dengan sosoknya yang banyak disebutkan oleh media massa, sampai sekarang ini meski sebenarnya Sutardji sendiri tidak menganggap penting julukan itu.

Bahkan, Sutardji pun sempat khawatir ketika surat-surat kabar ketika itu banyak menyebutnya dengan julukan "presiden", sebab pada masa itu istilah "presiden" sebagai sesuatu yang tidak boleh disebut, kecuali Presiden Soeharto.

"Saking masa itu kan banyak orang takut. Apalagi, disebut 'presiden' meski presiden puisi. Bagi saya, julukan itu hanya pemanis, tidak usah diseriuskan. Saya sendiri tak pernah mengucapkan itu lagi setelah manggung waktu itu," katanya.

Pada kesempatan itu, Sutardji membacakan sekitar 10 puisinya, salah satunya berjudul "Laila Seribu Purnama" yang diakuinya terinspirasi dari momentum malam Lailatul Qodar karena sebentar lagi memasuki Ramadhan.