Pelaku hubungan sejenis mulai disidangkan

id pengadilan, disangkan, sesama jenis, homoseksual, Mahkamah Syariah, berlangsung tertutup, Rosmani Daud, H Yusri

Pelaku hubungan sejenis mulai disidangkan

Ilustrasi (Antarasumsel.com/Nova Wahyudi)

Banda Aceh (Antarasumsel.com) - Dua pelaku hubungan lelaki sesama jenis yang ditangkap warga beberapa lalu mulai disidangkan.

Persidangan perkara liwath atau homoseksual tersebut berlangsung di Mahkamah Syariah Banda Aceh, Rabu. Persidangan perkara liwath pertama di Aceh tersebut berlangsung tertutup.

Sidang dengan majelis hakim diketuai Khairil Jamal, didampingi hakim anggota Rosmani Daud dan H Yusri. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni Mardiah dan Gulmaini.

Dua terdakwa pelaku hubungan sesama jenis tersebut yakni,  M Taufik bin Faisal Riza, 23 tahun, asal Stabat, Sumatera Utara, dan M Habibi bin Ismail, 20 tahun, asal Bireuen. Keduanya hadir ke persidangan tanpa didampingi penasihat hukum.

Dua terdakwa, M Habibi dan M Taufik ditangkap warga Gampong Rukop, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Selasa 28 Maret 2017, sekitar pukul 23.00 WIB.

Keduanya ditangkap di rumah kos M Habibi, yang juga mahasiswa akademi perawatan di Banda Aceh. Keduanya lalu diserahkan ke Waliyatul Hisbah atau polisi syariat Islam.

Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan Satuan Polisi Pamong Praja dan WH (Satpol PP dan WH) Aceh Marzuki mengatakan, warga setempat sudah lama mencurigai pasangan ini karena selalu menampakkan kemesraan di depan umum.

"Dari keduanya, diamankan minyak bayi, dua pakaian dalam, tiga kondom baru dan satu yang sudah terpakai, tisu, telepon genggam, serta dompet keduanya," kata dia.

Marzuki menyebutkan, kedua lelaki tersebut mengaku sudah tiga bulan berhubungan sejenis. Dan di rumah kos tersebut, keduanya mengaku sudah dua kali berhubungan badan.

Mereka juga mengaku tidak tertarik dengan perempuan atau lawan jenis. Keduanya dijerat Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat dengan ancaman 100 kali cambuk.

"Kasus pasangan sejenis ini yang pertama sejak Qanun Nomor 6 Tahun 2014 diberlakukan. Sebelumnya, ada dua kasus serupa, namun terpaksa dihentikan karena qanun sebelumnya tidak mengaturnya," kata Marzuki.