Cerita tentang kotak kosong untuk guru

id guru, kotak kosong, penyewaan gedung, perpisahan sekolah, sd,smp, sma, budaya baru bagi sekolah

Cerita tentang kotak kosong untuk guru

Ilustrasi (Ist)

....hampir setiap tahun akhir masa pelajaran sekolah, aula hotel berbintang banjir pesanan oleh sekolah-sekolah yang akan mengadakan perpisahan kelulusan siswa, baik itu PAUD, TK hingga tingkat SLTA/sederajat....
Akhir tahun masa pelajaran sekolah menjadi momen berharga bagi sektor perhotelan maupun penyewaan gedung di Kalimantan Selatan.

Bagaimana tidak, hampir setiap tahun akhir masa pelajaran sekolah, aula hotel berbintang banjir pesanan oleh sekolah-sekolah yang akan mengadakan perpisahan kelulusan siswa, baik itu PAUD, TK hingga tingkat SLTA/sederajat.

Perpisahan sekolah di hotel berbintang, seakan menjadi budaya baru bagi sekolah-sekolah di Banjarmasin, yang mungkin bertujuan untuk menaikkan pamor dan gengsi sekolah yang bersangkutan.

Hal itu tergambar saat para orangtua, guru bahkan siswa, menceritakan atau menggambarkan, bahwa sekolah A perpisahanya di hotel berbintang yang berada di pusat kota, sekolah B di rumah makan mewah, sekolah C di ballroom hotel berbintang empat, dan lainnya.  

Kebanggaan tersebut, juga tampak dari pascaperpisahan, di mana para guru, siswa dan orangtua, seakan berlomba me-upload foto-foto di sosial media, tentang kemeriahan dan kemewahan perpisahan yang mereka selenggarakan.

Gaun-gaun indah para siswa, juga tidak luput dari perbincangan, karena gaun perpisahan, seakan menjadi salah satu syarat wajib untuk digunakan, karena sebagian sekolah akan melombakan gaun terbaik yang dipakai siswa dalam acara tersebut.

Tentu acara mewah tersebut, membawa konsekuensi tinggi terhadap pengeluaran para orang tua murid, yang harus merogoh kantong lebih dalam untuk membantu terselenggaranya perpisahan putra-putrinya.

Sebab sekolah tidak mungkin menyelenggarakan perpisahan biaya tinggi tersebut dari dana BOS maupun dana subsidi lainnya dari pemerintah.

Akibatnya, dibalik megahnya acara tersebut, tidak sedikit kritik dan keluhan para orangtua, yang kurang mampu terhadap tingginya iuran yang diminta sekolah untuk acara perpisahan.

Bahkan dalam beberapa hari terakhir, sosial media juga banyak tulisan, terkait dengan besarnya pungutan acara perpisahan. Bahkan untuk sekadar perpisahan PAUD atau TK, orangtua harus mengeluarkan uang tambahan sebesar Rp700 ribu.

Sebuah nilai yang tidak sedikit bagi sebagian orangtua siswa yang berpenghasilan pas-pasan, yang mau tidak mau harus tetap membayar, karena ingin anaknya tetap ikut kegiatan sekolah.

Bukan hanya masalah perpisahan, biaya kenang-kenangan untuk guru, yang seakan wajib diadakan setiap tahun, juga menjadi salah satu bahasan di sosial media.

Akhir tahun ajaran, seakan menjadi salah satu momen bagi para orangtua untuk membagikan, tas, kain, baju dan hadiah lainnya, yang sebagian hadiah bernilai cukup mahal.

Cerita tentang perpisahan sekolah yang beredar di masyarakat, di sosial media, bahkan media massa di Kalsel, seakan mencerminkan, bahwa dunia pendidikan mulai kehilangan rohnya, tentang arti pendidikan yang seharusnya mencerminkan tentang kejujuran, kesederhanaan dan empati.

    
        Kotak Kosong

Dibalik cerita tentang kemewahan perpisahan sekolah-sekolah di Banjarmasin tersebut, ternyata ada cerita perpisahan salah satu sekolah madrasah di Banjarmasin, yang terletak tidak jauh dari Pelabuhan Trisakti, yang tidak kalah "indah" dan "mewah" dibanding sekolah-sekolah lainnya.

Indah, karena dibalik segala kekurangan biaya, para guru berjuang, bahu membahu untuk bisa menyelenggarakan perpisahan sekolah sebagaimana sekolah lainnya, walaupun perpisahan dilaksanakan di dalam lingkungan sekolah.

Sekolah yang sebelumnya kumuh dan nyaris ambruk itu, kini menjadi sekolah yang lebih bagus, setelah pengusaha ternama di daerah ini, membangun kembali sekolah yang sebelumnya terbuat dari kayu itu menjadi bangunan beton yang jauh lebih kokoh.

Setelah dibangun, sekolah yang sebagian besar siswanya berasal dari masyarakat kurang mampu itu, sejak empat tahun terakhir, berupaya untuk menyelenggarakan perpisahan dengan mengundang pihak luar, antara lain para kepala-kepala sekolah di sekitar daerah tersebut, perwakilan Kemenag, dinas pendidikan dan para orangtua.

Mendukung acara itu, mayoritas orangtua siswa, di sekolah swasta, yang selama ini tidak memungut biaya pendidikan sepeserpun, bersedia urunan Rp10 ribu per orang untuk membiayai acara perpisahan, karena sekolah tidak mungkin menggunakan anggaran dana BOS untuk menyelenggarakan acara tersebut.

"Dari uang tersebut, Rp6 ribu dimanfaatkan untuk membeli makanan ringan untuk suguhan tamu dan para siswa kelas empat, lima, enam, sedangkan untuk siswa kelas satu sampai tiga diliburkan untuk menghemat biaya," kata Qurota A'yunin, salah seorang guru.

Dana yang masih tersisa digunakan untuk membuat nasi kotak yang dimasak oleh para guru secara gotong royong, menyewa peralatan, dan untuk kelengkapan siswa yang lulus, sehingga iuran siswa tersebut, nyaris tidak mencukupi.

"Yang penting anak-anak kami bisa perpisahan seperti anak-anak di sekolah lain, walaupun dengan sangat sederhana," katanya.

Seperti layaknya sekolah lain, acara perpisahan diisi dengan menampilkan kreatifitas siswa, antara lain tari-tarian, musik panting, juga penyerahan kenang-kenangan dari para siswa untuk sekolah.

Pada penyerahan kenang-kenangan, siswa yang ditunjuk, maju bersama kepala sekolah, untuk menyerahkan kotak kenang-kenangan dihadapan undangan dan orangtua murid.

Setelah mendapatkan tepuk tangan meriah, kepala sekolah pun menyerahkan kotak kenang-kenangan, yang terbungkus kertas warna coklat tersebut, kepada salah seorang guru untuk disimpan, hingga akhirnya perpisahan pun diakhiri dengan bersalaman seluruh siswa kelas enam dengan para guru, diiringi lagu terimakasih guruku.

Disebut kotak kenang-kenangan, bukan kotak hadiah, karena kotak yang terbungkus indah tersebut, memang benar-benar kotak kenangan, yang selalu diterima secara berulang oleh kepala sekolah sejak empat tahun terakhir, walaupun diserahkan oleh para siswa angkatan yang berbeda.

Ya...pada tahun pertama kotak tersebut, sengaja disediakan oleh para guru, untuk "mematutkan diri" dihadapan para undangan, bahwa dibalik keterbatasan, para siswa juga masih menyediakan kenang-kenangan.

Pada tahun kedua, upacara perpisahan juga kembali diselenggarakan, karena waktu itu, para guru tidak sempat memikirkan kotak kenang-kenangan baru, akhirnya kotak kenangan lama, yang ternyata masih tergeletak di lemari guru, kembali diambil untuk dilapisi dengan bungkus sehingga terlihat baru, begitu juga dengan tahun ketiga.

"Terus terang, kami tidak sengaja menyimpan kotak tersebut, tetapi karena tidak ada isinya atau kosong, setiap kali habis menerima kenang-kenangan, kotak tersebut langsung dilempar ke atas lemari," tambahnya.

Hingga akhirnya, perpisahan tahun ke empat, Rabu (24/5), para guru asyik menyiapkan konsumsi acara, sehingga lupa kembali  menyiapkan kotak hadiah perpisahan dari siswa. Karena bingung, beberapa guru pun kembali melihat kotak yang sejak tiga tahun terakhir selalu diterima oleh kepala sekolah.

Kotak yang penuh debu tersebut kembali dibersihkan, dan dilapisi dengan bungkus baru, sehingga kembali terlihat indah.

Saat guru membungkus kotak tersebut, kepala sekolah Aina Spd, lewat dan melihat sang guru sedang membungkus kotak yang sama dengan tiga tahun sebelumnya. "Hah kotak itu lagi," serunya. Kemudian dia melanjutkan pembicaraan, "Jangan sampai kotak itu menjadi keramat," katanya sambil tertawa.

                
        Pas-pasan
    
Mungkin, kotak kosong kenang-kenangan itu, tidaklah bermakna apa-apa bagi para guru sekolah tersebut. Namun sebenarnya, kotak tersebut mencerminkan keiklasan dan perjuangan para guru sesungguhnya, yang masih memegang nilai-nilai luhur tentang pendidikan.

Sebuah nilai yang tidak hanya diukur oleh angka-angka atau rupiah, atau mungkin benda-benda mewah dan gemerlap lainnya, tetapi nilai kehidupan yang sesungguhnya, tentang kasih sayang, rasa empati dan harapan tentang masa depan yang lebih baik bagi para siswanya.

Bukan hanya saat perpisahan, para guru yang rela digaji seadanya itu, bahkan akan mencari siswanya yang tidak masuk sekolah, sampai ke rumah agar mereka tetap sekolah.

Bahkan tidak jarang, dengan gaji yang pas-pasan, para guru harus iuran untuk membantu siswa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Keiklasan tersebut, mungkin yang kini jarang ditemukan, terutama di kota besar seperti Banjarmasin, sehingga nilai-nilai tersebut, kini menjadi "barang mewah" yang sangat sulit untuk didapatkan.

Benar kata kepala sekolah, kotak kenangan tersebut akan menjadi kotak keramat bagi para guru, karena kotak kosong tersebut, suatu saat nanti, akan diisi terus menerus oleh para alumni.

Diisi dengan cerita-cerita perjuangan dan kesuksesan para siswa saat mengejar mimpinya, cerita sukses saat mereka menjadi dokter, wartawan, polisi, guru, dosen dan lainnya, yang tentu tidak akan pernah bisa penuh, karena sesungguhnya kotak tersebut adalah kotak keramat.

   
Dari kotak tersebut, akan keluar ribuan, bahkan mungkin jutaan, amal jariah para guru, yang kini rela mencari pekerjaan sampingan, sebagai penjahit, tukang pijat, guru mengaji dan lainnya, asalkan mereka tetap bisa mengajar anak-anak dari keluarga kurang mampu tersebut.

Cerita tersebut, adalah gambaran tentang kemewahan dan keindahan yang sesungguhnya, dan Indonesia, kini sangat memerlukan pejuang-pejuang pendidikan yang masih iklas mendidik, yang menjadikan siswa, lebih bernilai dari angka-angka, bahkan angka raport maupun nilai kelulusan ujian nasional sekalipun.