"Sabuk hijau" dibuat di Pulau Tikus Bengkulu

id mangrove, tanaman mangrove, tempat wisata, wisata belajar, Kelompok Tani Mangrove, Komunitas Mangrove Bengkulu, bibit mangrove, Riki Rahmansyah, Kecam

"Sabuk hijau" dibuat di Pulau Tikus Bengkulu

Anggota Komunitas Mangrove Bengkulu menyiapkan wadah penanaman Mangrove jenis "Rhizophora stylosa" dengan teknik Riley Encased Methodology (sistem bungkus) di Pulau Tikus, Bengkulu, kamis (25/5). (ANTARA FOTO/David Muharmansyah)

Bengkulu (Antarasumsel.com) - Anggota Komunitas Mangrove Bengkulu (KMB) menanam 1.000 mangrove jenis "Rhizophora stylosa" sebagai tumbuhan pionir untuk menciptakan sabuk hijau atau "green belt" di pesisir Pulau  Tikus, pulau kecil berjarak 10 mil laut dari Kota Bengkulu.

"Ini percobaan dengan risiko yang cukup tinggi untuk menumbuhkan ekosistem mangrove di Pulau Tikus di mana tidak ada sejarah keberadaan mangrove di pulau ini," kata Koordinator KMB, Riki Rahmansyah di Pulau Tikus, Kamis.

Ia mengatakan kegiatan yang didukung sejumlah dosen Universitas Bengkulu dan lembaga "Australia Global Alumni" itu untuk mengatasi laju abrasi yang membuat luas daratan pulau itu terus menyusut dari sebelumnya dua hektare menjadi 0,6 hektare.

Penanaman mangrove tersebut dilakukan dengan sistem paralon atau "Riley Encased Methodology" yakni memasukkan bibit ke dalam paralon yang ditancapkan di pinggir pulau. Tujuannya untuk menghindari bibit hanyut terbawa arus dan gelombang tinggi.  
"Tantangan terbesar memang gelombang dan arus yang kencang membuat tanaman hanyut. Jadi kami tanam dengan sistem paralon yang sudah dipraktikkan di negara-negara kepulauan," ujarnya.

Pulau Tikus merupakan pulau kecil dengan daratan 0,6 hektare ditopang ekosistem terumbu karang seluas 200 hektare. Laju abrasi yang tinggi membuat daratan pulau tak berpenghuni ini terus menyusut.

Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu, Yansen yang juga anggota Australia Global Alumni mengatakan habitat mangrove dapat menjadi benteng alami untuk melindungi daratan pulau-pulau kecil dari abrasi, gelombang tinggi hingga ancaman bencana tsunami.

"Bengkulu termasuk dalam zona merah bencana gempa bumi dan tsunami, jadi benteng pesisir harus diperkuat, yaitu ekosistem mangrove," katanya.

Penanaman mangrove di Pulau Tikus, menurut dia, menjadi pionir dan percobaan penting untuk menumbuhkan mangrove di pulau-pulau kecil guna melindungi pulau tersebut.

Ia menambahkan, mangrove jenis Rhizophora stylosa dipilih karena merupakan jenis pionir dan mampu hidup di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove.

"Mangrove jenis ini mampu tumbuh di substrat karang, di mana karang ini mengandung sejumlah nutrisi untuk mendukung pertumbuhan mangrove," kata dia.

Petugas menara suar Pulau Tikus, Feri Aurora menambahkan abrasi Pulau Tikus cukup mengkhawatirkan di mana sejumlah rumah jaga aset Menara Suar Tikus, Distrik Navigasi Kelas I Tanjung Priok, Dirjen Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, sudah beberapa kali berpindah tempat karena roboh dikikis abrasi.

"Kami berharap mangrove yang ditanam ini tumbuh dan bisa menjadi benteng alami pulau dari ancaman abrasi," ucapnya.

Selain sebagai benteng penahan gelombang tinggi dari Samudera Hindia, Pulau Tikus, menurut dia, juga strategis bagi nelayan tradisional yang mengandalkan perairan sekitar pulau tikus untuk menangkap ikan.

Pulau Tikus yang dapat diakses dengan perahu nelayan selama 60 menit juga berfungsi sebagai tempat berteduh atau berlindung nelayan saat cuaca buruk melanda perairan Bengkulu.