Pakar: Perlu terapkan UU Pers terkait Bloger

id UU pers, bloger, pengamat, jurnalisme warga, citizen journalism, organisasi profesi

Pakar: Perlu terapkan UU Pers terkait Bloger

Ilustrasi (Antarasumsel.com/ist/17)

Semarang (Antarasumsel.com) - Organisasi kewartawanan perlu menerapkan Undang-Undang Pers ketika akan menjadikan bloger maupun "citizen journalism" (jurnalisme warga) anggota organisasi profesi itu, kata pakar komunikasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang Gunawan Witjaksana.

Ketua STIKOM Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. di Semarang, Rabu pagi, mengatakan pandangan itu ketika merespons pernyataan Rofiuddin dari Aliansi Jurnalis Independen yang menyatakan perlunya para bloger dan "citizen journalism" yang karya-karyanya bagus menjadi anggota AJI (www.lpmhayamwuruk.org).

Gunawan menegaskan bahwa pernyataan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 1, disebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Selanjutnya, pada Pasal 1 Ayat (1) sampai dengan Ayat (4), khususnya Ayat (2), menjelaskan bahwa Pers, tempat wartawan berkarya, haruslah berbadan hukum. "Bloger jelas bukanlah badan hukum," katanya.

Di sisi lain, bila disebut tentang "citizen journalism", menurut dia, faktor keteraturan dalam menghasilkan karya, tentu tidak serutin para wartawan yang berkarya pada sebuah media yang berbadan hukum dengan segala konsekuensinya yang melekat, baik secara moril serta materiil.

Bila mencermati kegiatan "citizen journalism", terutama di televisi, misalnya, sebenarnya hanyalah upaya para pengelola media untuk bisa menyajikan berbagai informasi.

"Informasi itu mungkin mengandung 'human interest' yang layak dan menarik untuk disajikan dengan menghemat waktu serta mungkin saja biaya," ucapnya.

Para bloger, lanjut Gunawan, merupakan orang yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menyampaikan sesuatu yang mungkin saja terkait dengan berbagai kejadian di tengah masyarakat, atau opini penulis dengan menggunakan referensi yang mungkin saja akurat.

"Namun, tidak menutup kemungkinan tidak akurat, bahkan beberapa di antaranya cenderung tendensius demi kepentingan tertentu," kata Gunawan.