Mantan Menteri Kesehatan akan dieksekusi Kamis

id Siti Fadilah, Mantan Menteri Kesehatan, putusan hakim, pengadilan, dipenjara

Mantan Menteri Kesehatan akan dieksekusi Kamis

Ilustrasi (Antarasumsel.com/Grafis/Aw)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari akan dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan Pondok Bambu pada Kamis (22/6) karena Siti Fadilah dan Jaksa Penuntjut Umum (JPU) KPK menerima putusan hakim.

"Karena terdakwa menerima putusan dan siap membayar sisa uang pengganti dan denda, dan sebagian besar pertimbangan hakim mengambil alih tuntutan JPU  maka JPU juga menerima karena putusan sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat," kata JPU KPK yang menangani kasus ini Ali Fikri di Jakarta, Rabu.

Pada Jumat (16/6), majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan Siti Fadilah terbukti melakukan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) pada 2005 dan menerima gratifiksi sebesar Rp1,9 miliar sehingga divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah harus membayar uang pengganti Rp550 juta.

Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Siti Fadilah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp1,9 miliar subsider 1 tahun kurungan.

"Insya Allah besok Kamis akan dieksekusi ke lapas Pondok Bambu," tambah Ali. Saat ini Siti Fadilah berada di rumah tahanan (rutan) Pondok Bambu.

Dalam putusan itu juga disebutkan bahwa  uang Rp600 juta yang mengalir ke mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Amien Rais tidak terkait dengan pengadaan alkes.

       Majelis menyatakan "menimbang bahwa mengenai uang yang ditransfer kepada Sutrisno Bachir dan Amien Rais tersebut tidak dapat dipastikan uang tersebut berasal dari proyek alkes atau bukan, maka majelis hakim tidak mempertimbangan lebih lanjut karena tidak relevan dengan perkara terdakwa Siti Fadilah Supari".

       "Sebenarnya mengenai aliran uang dengan pertimbangan tentang fakta hukum adanya aliran tersebut sudah cukup sesuai tuntutan JPU.  Hakim tidak menyatakan 'bukan dari alkes'  tapi kalimatnya adalah 'tidak dapat dipastikan dari alkes atau bukan'. Setelah dikaji penekanan pada frase 'atau bukan', lain halnya bila pertimbangannya 'tidak dapat dipastikan'Maka sudah menutup kemungkinan pengkajian lebih lanjut lagi," ungkap Ali.

Sehingga menurut Ali, masih terbuka lebih lanjut untuk pengkajian aliran dana tersebut namun bukan dalam perkara Siti Fadilah.

"Tentang 'tidak relevan' maksudnya bukan tempatnya membuktikan tentang aliran dana SBF (Sutrisno Bachir Foundation) tersebut karena hakim fokus kepada pembuktian perbuatan SFS," tambah Ali.

Terkait perbedaan kerugian negara yang dinilai hakim hanya Rp5,783 miliar yang berasal dari pembayaran alkes kepada PT Mitra Medidua dan bukan sebesar Rp6,1 miliar seperti tuntutan JPU yaitu berasal dari pembayaran PT Mitra Medidua dan PT Indofarma Tbk, JPU juga tidak mempermasalahkannya.

"Mengenai kerugian negara sudah ada putusan sebelumnya atas nama Rustam Pakaya dan sudah dieksekusi, jadi tidak masalah karena unsur kerugian negara dalam perkara ini sudah terpenuhi," ungkap Ali.

Sedangkan pengacara Siti, Kholidin mengakui bahwa meski Siti Fadilah menerima putusan, ia tidak mengakui kesalahan melakukan korupsi.

"Ibu menerima putusan tapi menerima bukan berarti mengakui kesalahan. Saat ini ibu menerima kekalahan karena jika melawan pun percuma jika tidak ada yang 'melek' mata untuk menegakan keadilan untuk ibu, lihat saja pertimbangan putusannya," kata Kholidin saat dikonfirmasi.

Sehingga Kholidin mengaku bahwa kliennya masih merasa tidak adil terhadap putusan itu.

"Iya, putusan sangat tidak adil, ada fakta-fakta persidangan yang nyata yang tidak dipertimbangkan haikim dan dasar hakim memutus dengan bukti yang minim dan sumir sekali," ujarnya.