Lebaran lalat, menggugah kesadaran untuk hidup sehat

id sampah, lebaran, idul fitri, kaum miskin, pendekatan budaya, Dompet Dhuafa, tumpukan sampah, tukang sampah, pemulung, pulang kampung

Lebaran lalat, menggugah kesadaran untuk hidup sehat

Kotak Sampah (Antarasumsel.com)

....Lalu ke mana lagi, di simpan di rumah bau....
            Lebaran lalat.
Maksudnya, lalat yang sedang berpesta pora menikmati sisa-sisa sajian Lebaran Idul Fitri, setelah dikonsumsi manusia dalam wujud tumpukan sampah yang menggunung karena tukang sampah dan pemulung pulang kampung.

Satu atau dua hari setelah Lebaran, tumpukan sampah banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan dan tempat-tempat yang biasa dipakai sebagai pembuangan sampah secara resmi dan lebih banyak lagi yang tidak resmi.

Lebaran, akhir Ramadhan, adalah hari istimewa bagi kebanyakan Muslim. Istimewa dalam arti menyediakan makanan dan minuman yang tidak biasa dikonsumsi di hari-hari biasa. Maklum, setahun sekali.

Banyak orang yang cenderung "mengada-ada", sehingga ada yang menyebut hari balas dendam untuk makan dan minum sepuasnya selepas berpuasa satu bulan. Maka, sampahnya pun juga luar biasa banyak volume, jenis serta aroma baunya.

Tak pelak lagi, aroma bau sisa-sisa makanan dan minuman itu mengundang lalat dan kucing-kucing liar untuk berpesta pora, ikut menikmati rezeki Lebaran.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI mengumumkan volume sampah ibu kota menurun signifikan pada hari Raya Idul Fitri, 2017, yakni mencapai sekitar 3.000 ton saat Lebaran dibandingkan H-1.

Penurunan itu disebut sejalan menurunnya aktivitas ekonomi dan perdagangan selama libur Lebaran dan banyaknya warga Jakarta yang mudik ke kampung halaman sehingga jumlah sampah rumah tangga juga turun (Republika, 29/6/17).

Sebanyak 3.000 petugas kebersihan, menurut berita itu, disiagakan selama musim libur Lebaran. Kenyataannya, di luar sebuah kompleks perumahan di Jakarta Selatan Rabu pagi, 28 Juni, atau tiga hari setelah Idul Fitri sampah berceceran di pinggir jalan dan menumpuk seperti gunung.

Satu per satu warga luar kompleks itu dengan kendaraan bermotor membuang sampah yang sudah dibungkus kantong plastik dengan santai. Aksi membuang sampah umumnya dilakukan pagi-pagi, tatkala masih sepi. Masing-masing membuang satu sampai dua kantong.

Ketika seorang petugas kebersihan setempat mengingatkan agar mereka tidak membuang sampah di situ, dengan tenangnya para pembuang sampah itu menjawab: "Lalu ke mana lagi, di simpan di rumah bau". Rumah warga di luar kompleks itu umumnya berukuran kecil, berhimpitan di lahan sempit. Jadi, jawaban itu harap dimaklumi, karena tidak ada pilihan lain.

Pada pagi hari ketiga, setelah Idul Fitri itu, petugas kebersihan resmi (Pemda DKI) dengan mobilpengangkut sampahnya belum masuk, sementara tukang sampah yang dibayar warga secara urunan sedang mudik.

Setelah seorang warga mengunggah foto-foto gunungan sampah itu di media sosial, petugas kebersihan dan mobil pengangkut sampah Pemda DKI sampah datang untuk membereskannya.

    
               Pangkal kesehatan
Persoalan sampah di kota-kota, apalagi kota sebesar Jakarta, sudah menjadi penyakit kronis. Upaya Pemda pasti ada dampak positifnya, tapi produksi sampah terus meningkat pesat sejalan dengan derasnya arus urbanisasi pencari rezeki kelas bawah dan terbatasnya daya dukung lingkungan membuat dampak upaya pemerintah itu hampir tidak kelihatan.

Bahkan, sulit untuk bisa mengatasi masalah sampah, tanpa dukungan masyarakat yang sadar dan peduli lingkungan.

Kebiasaan membuang sampah sembarangan itu sudah lama dilakukan oleh banyak warga hampir sepanjang masa, tidak hanya saat Lebaran.Mereka biasanya membuang sampah saat masih sepi dengan berkendaraan motor sambil berangkat ke kantor.

Tidak hanya warga tetangga, tapi juga yang tinggal agak jauh dari kompleks perumahan itu. Mereka multi lintas: suku bangsa, budaya, agama, profesi dan ideologi politik.

Membangun kesadaran dan kepedulian lingkungan di kalangan kelas menengah ke bawah, apalagi kaum miskin, yang merupakan mayoritas penduduk kota tidak lah mudah, kecuali dengan cara yang pas dan mudah dipahami oleh mereka.

Kaum miskin yang hidup dengan penghasilan pas-pasan atau "dicukup-cukupkan" yang sebenarnya tidak cukup, umumnya terkungkung oleh pikiran untuk bertahan hidup: "dari tangan, ke mulut, perut dan bawah perut". Tidak perlu teori dan metode yang muluk-muluk.

Karena mayoritas orang miskin itu beragama Islam dan mereka yang masih berakar kuat pada budaya lokal (asal-usulnya), maka penyadaran dengan pendekatan agama dan budaya nampaknya yang paling tepat.

Islam mengajarkan "kebersihan adalah bagian dari iman", budaya lokal mengajarkan gotong-royong dan kearifan lokal yang tumbuh secara empiris mengajarkan "kebersihan adalah pangkal kesehatan".

Ketiga ajaran itu bisa dijadikan modal dasar untuk kampanye penyadaran dan kepedulian lingkungan demi kesehatan bersama.

Singkat kata, bisa dipakai cara Pancasila, yang sekarang sedang ramai diwacanakan. Para pembuang sampah sembarangan itu sama dengan mereka yang diberi amanah untuk menyejahterakan kaum miskin "apa pun suku bangsa, budaya, agama dan pilihannya waktu Pilkada", jika ditanya mungkin dengan lancarnya akan menjawab: "Saya Indonesia, saya Pancasila".

Sadar akan perannya sebagai lembaga filantropi Islam yang berkhidmat untuk pemberdayaan kaum miskin dengan pendekatan budaya, Dompet Dhuafa (DD) mulai Lebaran 2017/IdulFitri 1438 H, menerjunkan tim relawan kebersihan dan kesehatan peduli sampah Lebaran.

Relawan DD mendatangi tumpukan-tumpukan sampah, menyapu dan mengangkut sampah ke tempat pembuangan, bekerja sama dengan pihak terkait dan memeriksa kesehatan tukang sampah dan rakyat miskin yang hidup berdampingan dengan sampah.

Gerakan Pramuka beberapa tahun lalu telah meluncurkan aksi peduli sampah. LSM peduli sampah dan Bank Sampah juga sudah muncul. Wartawan dan media massa, termasuk medsos, peduli sampah perlu digalakkan karena media telah terbukti besar kontribusinya dalam setiap kampanye.  


*) Penulis adalah wartawan, relawan sosbudling, mantan ketua Komite Evaluasi Lingkungan Kota (KELK) DKI Jakarta