Pengamat: Blokir Medsos Indonesia seperti Korut

id pemblokir, media sosial dilarang, Hendri Satrio, telegram, pengamat komunikasi politik, masyarakat Korea Utara, Pemerintah Indonesia

Pengamat: Blokir Medsos Indonesia seperti Korut

Ilustrasi (Antarasumsel.com/Grafis/Aw)

Jakarta (Antarasumsel.com) - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio berpendapat bahwa upaya pemblokiran media sosial, misalnya Telegram, oleh Pemerintah seperti meminta rakyat Indonesia berperilaku layaknya masyarakat Korea Utara.

"Pemerintah harus menemukan cara baru dalam mencegah radikalisme, cara yang lebih canggih daripada sekadar membubarkan, memblokir, apalagi meminta rakyat Indonesia berperilaku seperti rakyat Korea Utara," kata Hendri Satrio ketika dihubungi Antara dari Jakarta, Senin.

Menurut dia, tindakan tersebut adalah hal termudah dibandingkan dengan upaya pencegahan yang lebih sistematis.

"Menutup atau memblokir adalah tindakan termudah dalam mencegah dan sifatnya hanya sementara," katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa mencegah penyebaran radikalisme adalah kewajiban pemerintah, tetapi pemblokiran Telegram dan direncanakan juga media sosial lainnya adalah tindakan yang terburu-buru yang menggambarkan lemahnya fungsi serta perencanaan negara terhadap pencegahan radikalisme.

Pemerintah Indonesia terhitung mulai Jumat (14/7) resmi memblokir layanan percakapan instan Telegram dengan alasan Telegram "dapat membahayakan keamanan negara karena tidak menyediakan SOP dalam penanganan kasus terorisme".

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada hari Jumat (14/7/2017) telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas domain name system (DNS) milik Telegram.

"Pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia," demikian siaran pers Kementerian Kominfo, Jumat (14/7).

Pavel Durov, CEO Telegram, melalui cuitan di Twitter mengungkapkan keheranannya mengapa layanan mereka diblokir di Indonesia.

"Aneh, kami tidak pernah mendapatkan permintaan atau protes dari pemerintah Indonesia. Kami akan selidiki dan membuat pengumuman," kata @durov membalas cuitan seorang warga net.