Anak berkebutuhan khusus yang belum terlindungi

id anak berkebutuhan khusus, diskriminatif, perundungan, autis, protes, angkutan umum, Ilah Holilah

Anak berkebutuhan khusus yang belum terlindungi

Dokumentasi-Anak Penderita autis sedang melakukan latihan gerak (Antarasumsel.com/Feny Selly)

....pemerintah untuk secara komprehensif menjadikan sekolah-sekolah negeri sebagai sekolah inklusi....
Jakarta (Antarasumsel.com) - Kasus kekerasan terhadap anak masih terus terdengar, dan salah satunya yang sedang sering terdengar adalah perlakuan diskriminatif terhadap anak.

Seperti perundungan terjadi kepada mahasiswa autis di Kampus Gunadarma, yaitu MF. Di dalam sebuah video yang viral di meda sosial sejak Sabtu (15/7) ditunjukkan bahwa MF yang sedang berjalan ditarik tasnya hingga dia tidak bisa berjalan oleh sekelompok orang.

Perundungan itu pun dilakukan beramai-ramai.

Berbagai protes dari masyarakat dilayangkan terhadap pelaku perundungan itu,dan  saat ini pihak kampus telah menjatuhkan hukuman bagi pelakunya.

Rektorat Universitas Gunadarma memberikan sanksi kepada pelaku perundungan kepada mahasiswa setempat MF (angkatan 2016), setelah melakukan investigasi selama tiga hari.

Pimpinan perguruan tinggi ini menyatakan pihak kampus mengutuk tindakan perundungan tersebut. Sesudah mendengar keterangan semua pihak dan mempertimbangkan tata tertib kampus maka sanksi sudah diputuskan berupa skorsing.

Sebagai tindak lanjut peristiwa itu, maka pihak kampus akan membuat aturan khusus tentang anak berkebutuhan khusus. Selain itu telah dibuat juga aplikasi pelaporan perundungan.

Agar hal yang sama tidak terluang kembali, Yayasan Lotus Kita merekomendasikan revisi terhadap UU terkait anak, khususnya mengenai batasan kategori anak, yang selama ini hanya dibatasi pada usia 18 tahun atau kurang.

Yayasan yang bergerak di bidang sosial, keagamaan, dan pendidikan itu menilai perubahan batas usia ini penting untuk melindungi anak berkebutuhan khusus atau disabilitas.

Ketua Yayasan Lotus Kita Ilah Holilah mengatakan anak berkebutuhan khusus memiliki perbedaan usia biologis dan mental jika dibandingkan dengan anak lainnya.

Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan perubahan dengan menambahkan kategori tingkat pendidikan, sehingga pembatasan kategori anak adalah sampai dengan usia 18 dan atau bersekolah tingkat SMA atau sederajat.

Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi secara besar-besaran atau masif kepada masyarakat agar terbentuk paradigma yang positif dan perlahan-lahan menghilangkan stigma negatif terhadap anak berkebutuhan khusus.

Untuk mendukung upaya sosialisasi ini, pemerintah juga dapat meminta institusi lain melaksanakan fungsi tersebut, termasuk KPAI, LSM, dan komunitas lainnya.

"Kami pun mendorong pemerintah untuk secara komprehensif menjadikan sekolah-sekolah negeri sebagai sekolah inklusi," kata Ilah Holilah.

Di institusi pendidikan, tenaga pengajar harus memiliki kompetensi penanganan disabilitas atau anak berkebutuhan khusus dan memiliki program prioritas pendidikan karakter bagi anak didik.

Yayasan Lotus Kita juga mendesak pemerintah segera untuk mengefektifkan unit layanan disabilitas di seluruh lembaga pendidikan serta menyiapkan regulasi terkait peluang kerja bagi penyandang disabilitas.

Lembaga-lembaga mitra dan pengawas pemerintah untuk mencermati secara intensif dan sungguh-sungguh mengawal pelaksanaan peraturan untuk perlindungan pada penyandang disabilitas.

"Orang tua dan pihak sekolah juga hendaknya menekankan empati kepada siswa-siswi sebagai satu landasan penting penerimaan penyandang disabilitas anak berkebutuhan khusus di lingkungan mereka".

Secara bersamaan, orang tua anak berkebutuhan khusus pun melakukan penerimaan secara penuh terhadap kondisi anak-anak sebagai anugerah terbaik dari Tuhan, sebagai langkah awal penanganan dengan fokus pada pengembangan kelebihan ABK.

"Kami juga mendorong media untuk mendukung upaya sosialisasi aturan terhadap penyandang disabilitas sekaligus melakukan perubahan framing media terhadap para penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus dengan lebih mengedepankan aspek prestasi atau kelebihan dan meredukasi alasan rasa kasihan," ucap dia.

    

    Pencegahan dari keluarga

Untuk mencegah perlakuan diskriminasi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise berpendapat keluarga harus memberikan perlindungan kepada anak.

Keluarga merupakan awal mula pembentukan kematangan individu dan struktur kepribadian seorang anak. Anak akan mengikuti dan mencontoh orang tua dengan berbagai kebiasaan dan perilaku.

Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran yang dapat mendorong keluarga Indonesia agar memiliki pengasuhan yang berkualitas, berwawasan, keterampilan dan pemahaman yang komprehensif dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.

Tak hanya itu, Yohana Yembise juga menekankan pentingnya ketahanan keluarga, keluarga dengan ketahanan yang kuat maka akan menghasilkan anak-anak dengan kualitas yang baik.

Peran ayah dan ibu yang setara untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan di dalam keluarga juga merupakan bagian yang sangat penting dari landasan ketahanan keluarga.

Yohana menambahkan ketahanan keluarga perlu ditingkatkan di dalam pembangunan keluarga agar mampu menghadapi berbagai tantangan menuju terciptanya keluarga yang sejahtera dan tantangan era globalisasi.

Untuk membangun sinergi berbagai bidang pembangunan dalam rangka mempercepat pelaksanaan Undang-Undang No. 52 Tahun 2009, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak nomor 06 tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Ketahanan Keluarga.

Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Aris Sirait mengatakan lingkungan rumah tidak boleh menjadi tempat menanamkan nilai-nilai kebencian bagi anak.

"Untuk itu, sebaiknya rumah menjadi tempat yang netral dari nilai-nilai kebencian," kata Aris Sirait.

Menurut dia, saat ini banyak tempat seperti sekolah yang menanamkan nilai kebencian, sehingga pemerintah harus menguatkan fungsi agama, sekolah dan rumah menjadi tempat yang ramah bagi anak.

Komnas PA juga mendorong agar sekolah menanamkan nilai-nilai persatuan sehingga tidak ada kebencian diantara siswa.