Tahun ajaran baru 2017/2018 sudah tiba, mulai dari tingkat
Taman Kanak-kanan (TK), Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Khusus
untuk di wilayah Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, proses
belajar mengajar ditetapkan pada Senin, 10 Juli 2017. Pagi nan cerah
itu, kendaraan roda dua dan roda empat bersliweran memadati jalan-jalan
sampai di pinggiran kota itu. Bersamaan pula dengan keberangkatan para
pegawai ke kantor.
Umumnya pengguna jalan
membawa penumpang anak-anak berseragam. Bahkan, ada dalam satu sepeda
motor memboncengkan tiga orang anak-anak berpakaian seragam sekolah
mulai dari tingkat TK hingga SLTA.
Karena
sesuatu yang pertama dalam segala aktivitas kehidupan manusia jelas
merupakan hal baru dikenal, termasuk dalam dunia pendidikan. Apalagi,
bagi anak-anak usia dini ketika masuk ke Taman Kanak-kanak (TK), serba
baru, baru pertama berpakaian seragam, baru punya teman banyak, baru
punya guru formal berpakaian seragam.
Umumnya
di hari pertama tahun ajaran baru anak-anak diantarkan para orang tua ke
sekolah, baik TK, SD maupun SLTP. Sembari mengenalkan dengan lingkungan
baru dan sama tenaga pengajar, terutama untuk anak-anak di usia TK yang
baru mengenal dunia pendidikan formal.
Kebanyakan
dalam mengantarkan anak-anak ke sekolah adalah ibunda. Jika pun ada
yang didampingi sang ayah, hanya sebagian kecil. Sebab, tidak semua
orang tua laki-laki yang mau direpotkan menemani anaknya di hari pertama
masuk sekolah tahun ajaran baru tersebut.
Sebab,
hari pertama masuk sekolah akan banyak arahan dan penyampaian para
tenaga pengajar kepada orang tua, baik terkait tata tertib dan ketentuan
lainnya tentang anak, orang tua dan lingkungan sekolah.
Namun,
hal yang berbeda terlihat pada hari pertama dimulai tahun ajaran baru
di TK Alifah II, Jalan Rimbo Tarok, Kelurahan Gunung Sarik, Kecamatan
Kuranji, Kota Padang. Ada beberapa sang ayah tampak mengantarkan dan
langsung mendampingi anaknya yang berseragam biru ke ibu guru yang sudah
menunggu di perkarangan TK.
Danis (36) ayah
dari Rava (6) Warga Rimbo Tarok II, Kelurahan Gunung Sarik, Kuranji
ketika ditemui, mengakui mengantarkan di hari pertama ke TK karena
permintaan dari putra bungsunya itu. Setelah mengantarkan putra
sulungnya yang kelas IV SD 44 Kelumbuk, Kecamatan Nanggalo, Padang,
langsung ke menuju TK.
Selain ibunya jualan
berangkat pagi, tapi kalau anaknya minta ibu mengantar masih bisa
dilaksanakan. "Tapi permintaan mengantarkan jatuh pada saya, tentu
dilaksanakan karena hari pertama masuk TK. Jika tidak, bisa mematahkan
semangatnya dan mengantarkan anak ke sekolah sudah bisa juga," ujarnya.
Pria
pegawai swasta itu, menyadari terlambat sedikit datang ke tempat kerja
dari biasanya, dan ia berharap semoga atasan bisa memaklumi. "Saya hanya
mengatarkan menjelang masuk ruangan, setelah itu bisa berangkat, dan
pulang dia bisa sama teman-temannya," kata suami dari Weni itu.
Begitu
juga halnya dengan Antoni (40), yang langsung mengantarkan putranya S.
Alqadri (6) di TK yang sama pada hari pertama tahun ajaran baru itu.
Tampak di lingkungan sekolah sedang berkomunikasi dengan tanaga pengajar
taman kanak-kanak tersebut, sambil memegang satu lembaran kertas yang
berisi peraturan sekolah.
Selain itu, juga
mengamati putranya tengah bermain dengan teman-teman di lingkungan TK
tersebut menjelang masuk ke dalam ruangan.
"Ini
permintaan anak saya yang sudah sejak Minggu (9/7) malam
disampaikannya. Makanya dituruti, apalagi hari pertama. Hal sudah
dibiasakannya datang ke sekolah anaknya, termasuk saat menerima rapor,"
ujarnya sembari mengulangi ucapan anaknya "Besok yang ngatar dedek ke
sekolah papa ya.., dan mama ke sekolah (SLTP) uni saja,".
Saat
di sekokah, tambah dia, bisa langsung bertemu dan berkomunikasi dengan
para guru dan mendapatkan penjelasan tentang peraturan dan perkembangan
anak selama di sekolah.
Menyinggung berbaur
dengan kaum ibu-ibu yang dominan mengantar anak ke TK, tidak membuat
pegawai Badan Usaha Milik Negara ini merasa kikuk atau kaku. "Biasa
saja, karena sebagian juga sudah ada yang kenal karena satu komplek dan
ada juga yang orang tua dari anak yang duduk di SLTP," tutur suami
Hayati itu.
Keseimbangan Emosi
Peran
sang ayah ketika mengantarkan anak ke sekolah, dan apalagi ikut
terlibat langsung memperhatikan pendidikan anak sejak di lingkungan
keluarga, sangat menentukan perkembangan buah hatinya, kata Pengamat
Pendidikan dari Universitas Negeri Padang, Dr. Abna Hidayati.
"Ketika
orang tua laki-laki mengantarkan anak ke sekolah, luar biasa
pengaruhnya terhadap perkembangan anak. Di antaranya membuat stabil
emosi, kepercayaan diri anak akan tumbuh," katanya.
Menurut
dia, sentuhan antara ayah dan ibu beda, karena ayah tegas dan biasanya
main dengan logika, maka ketika anak diantarkan bapaknya ke sekolah,
maka anak itu akan merasa diperhatikan dengan baik oleh kedua
orangtuanya.
Selain itu, kenapa emosi anak akan
stabil dengan sang ayah karena otak kiri dan kanan sama sama seimbang.
Logika ayah lebih main di otak kiri dan perasaan ibu di otak kanan.
"Jadi, kita harus punya keduanya, apalagi anak-anak yang baru tumbuh, otak kiri dan kanan harus seimbang," katanya.
Selain
itu, kedekatan anak dengan ayahnya dan bisa meluangkan waktu untuk
memperhatikan pendidikan, tentu berpengaruh kepada karakter, setidaknya
anak bisa malihat ayah bertanggung jawab.
"Tindakan
ayah yang mampu meluang waktu mendampingi anaknya ke sekolah di hari
pertama tersebut, secara tidak langsung akan menjadi contoh bagi anaknya
dalam hal tanggung jawab," katanya.
Menyinggung
adanya kecenderungan anak lebih menjalankan dan mendengarkan arahan
guru di sekolah ketimbang orang tua, menurut Abna, akibat dari orang tua
yang sepenuhnya menyerahkan pola pendidikan anak kepada guru.
Selain
itu, bisa juga selama ini orang tua belum menjadi role model bagi anak,
sehingga anak-anak tidak menurut kepada orang tua. Misalnya ketika anak
disuruh shalat, tapi orang tua tidak pernah melaksanakan.
"Jika
kondisi demikian, maka anak tidak menjadikan orang tua sebagai contoh,
dan mungkin berbeda dengan guru di sekolah. Kemudian bisa saja anak
merasa kurang perhatian dan waktu anak-anak lebih lama di sekolah,"
katanya.
Solusi menghadapi hal tersebut,
diantaranya dengan cara membangun kedekatan emosinya seperti
mengantarkan ke sekolah dan beri perhatian, mengajar anak di rumah dan
bercerita dengan mereka.
"Upaya itu harus
diterapkan secara konsisten, jangan mentang-mentang hiba kepada anak
dibenarkan dan diikuti saja semua keinginannya. Tak kalah penting
disiplinkan anak yang harus selalu diupayakan para orang tua," saran
Doktor yang disertasinya membedah tentang pendidikan karakter itu.
Apakah
memungkinkan adanya pencerahan dalam forum diskusi atau bisa workshop
antara wali murid atau orang tua dengan tanaga pengajar sekali atau dua
kali sebulan untuk menyamakan persepsi pola pembelajaran? Menurut dia,
sangat memungkinkan sekali pola demikian diterapkan sebagai wadah
komunikasi yang difasilitasi pihak sekolah atau komite sekolah.
Bentuk
lain, menurutnya para orang tua bisa membentuk wadah secara mandiri,
apalagi sekarang sudah ada ilmu parenting yang sudah dikembangkan
komunitas-komunitas tertentu, semisal asosiasi orang tua murid, ibu
menyusui dan asosiasi lain.
"Seperti adanya
pertemuan orang tua murid di awal semester sebenarnya bisa jadi solusi,
sehingga ada kesepakatan antara sekolah dan orang tua mengenai pola
pembelajaran," katanya.
Sebab, ketidaksamaan
pemahaman dalam pola pembelajaran yang diterapkan dapat berdampak
terhadap anak yang menjadi bingung, apalagi anak usia perkembangan awal.
Abna
menjelaskan bahwa dalam teori Piaget mengatakan anak usia awal yakni 2
sampai 12 tahun, mereka harus diajarkan dengan sesuatu yang konkret dan
cara mengajarkannya konsisten dengan contoh.
Justru
itu, anak seusia itu harus banyak media pembelajaran dan supaya konkret
dalam pelaksanaannya, maka guru sama orang tua harus sama ide atau
persepsinya.