Jakarta (ANTARA Sumsel) - Direktur Regional Asia Centre for Humanitarian Dialogue, Michael Vatikiotis menilai pencapaian terbesar ASEAN selama hampir 50 tahun berdiri yakni tidak ada perang terbuka antara negara anggotanya.
Meskipun ketegangan sempat meningkat di antara beberapa negara seperti Indonesia dengan Malaysia, Kamboja dengan Thailand, dan Malaysia dengan Filipina, tetapi konflik tersebut bisa diselesaikan tanpa harus melalui perang.
"Hampir tidak ada wilayah lain di dunia yang dapat mencetak rekor seperti ASEAN," ujar Michael dalam diskusi "50 Years of ASEAN: Beyond Imagination" yang merupakan bagian program Festival Sastra ASEAN diselenggarakan di Kota Tua, Jakarta, Minggu.
Sayangnya, di tengah keberhasilan ASEAN untuk mempromosikan perdamaian regional, konflik dalam negeri justru terjadi di beberapa negara seperti perang saudara di Myanmar dan selatan Thailand, juga selatan Filipina yang berusaha dikuasai kelompok radikal.
Berbagai konflik tersebut, menurut Michael, dilatarbelakangi oleh kesenjangan ekonomi dan sosial yang sangat tinggi di negara-negara ASEAN.
Laporan Global Wealth Report yang dirilis Credit Suisse beberapa waktu lalu menempatkan Indonesia pada peringkat keempat negara dengan kesenjangan ekonomi tertinggi dunia, di mana satu persen orang terkaya di Indonesia mampu menguasai hampir 50 persen total kekayaan negara.
Sementara Thailand berada di peringkat ketiga dengan prosentase kesenjangan ekonomi 58 persen.
"Sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen di setiap negara, fakta ini tidak bisa diterima. Masyarakat memiliki hak untuk menikmati kesejahteraan ekonomi yang selama lari ke kantong-kantong segelintir orang saja," tutur Michael.
Tantangan lain yang dihadapi ASEAN menjelang hari jadi ke-50 yakni munculnya bibit-bibit intoleransi, prasangka, dan kebencian berdasar etnis dan agama.
Malaysia, sebagai contoh, sekarang menjadi sangat diawasi oleh supremasi Muslim yang menyulitkan warga etnis India dan China untuk merasa disambut dan dihargai di negara tersebut.
Sedangkan Myanmar masih menghadapi ketegangan antara kelompok Muslim dan Buddha, sebuah potensi konflik yang akan memengaruhi stabilitas negara dan kawasan.
"Nilai-nilai pluralisme perlu diperkuat karena keberagaman adalah keunggulan ASEAN. Selama ratusan tahun penduduk Asia Tenggara dari berbagai agama, etnis, dan identitas telah hidup bersama, saling berinteraksi, dan menghormati kebebasan satu sama lain," ujar Michael.
Mantan jurnalis BBC dan editor Far Eastern Economic Review itu berharap pada masa depan negara-negara ASEAN akan bersama-sama membangun kedaulatan dan solidaritas, terutama di masa-masa sulit.
"Indonesia selama ini memainkan peran penting dalam mempromosikan semangat persaudaraan itu, salah satunya saat membantu Myanmar menyelesaikan konflik berbasis agama di negara bagian Rakhine, beberapa waktu lalu," kata penulis "Blood and Silk: Power and Conflict in Modern Southeast Asia" (2017).
Berita Terkait
Kalahkan Australia, Timnas Indonesia naik peringkat dua Grup A Piala Asia U-23
Kamis, 18 April 2024 22:36 Wib
Pratinjau Indonesia U23 vs Australia U23: Garuda Muda menjaga asa
Kamis, 18 April 2024 16:44 Wib
STY ajak suporter "hibur" pemain timnas jelang lawan Australia
Rabu, 17 April 2024 23:34 Wib
Jonatan teruskan tradisi tunggal putra Indonesia sebagai finalis BAC
Minggu, 14 April 2024 11:21 Wib
Fokus membawa Gregoria amankan tempat di 16 besar BAC 2024
Rabu, 10 April 2024 20:31 Wib
STY kerucutkan 23 pemain Piala Asia U-23 2024
Rabu, 10 April 2024 20:29 Wib
Gugur di babak pertama BAC, Bagas/Fikri tak lolos ke Paris
Rabu, 10 April 2024 10:53 Wib
Prawira lolos Kualifikasi BCL Asia 2024 Putaran 2
Minggu, 7 April 2024 19:39 Wib