Sekuel "An Incovenient", Trump mundur dunia

id Greenland, Trump, presiden amerika, hamparan gletser

Sekuel "An Incovenient", Trump mundur dunia

Donald Trump. (REUTERS/Carlos Barria)

Permukaan gletser-gletser di Greenland meleleh. Lelehannya mengalir menuju moulin-moulin berukuran kecil di permukaan hamparan gletser di sana yang segera berubah menjadi moulin-moulin besar.

Lapisan es di bawah Swiss Camp yang biasa menjadi pondok para peneliti di Greenland terlihat becek pada musim panas. Ahli perubahan iklim yang mendampingi Al Gore mengunjungi gletser Kangerlussuaq dan Swiss Camp di sana menjelaskan bahwa pulau yang berada di pertemuan utara Atlantik dan Samudra Arktik ini semakin cepat kehilangan lapisan esnya.

Tampak pula dalam film dokumenter berdurasi 1 jam 40 menit yang menjadi sekuel dari "An Inconvenient Truth" ini semacam moulin-moulin kecil atau retakan di dalam lapisan tebal gletser yang mengingatkan kita pada sepon.

Al Gore juga menyusuri salah satu fjord di sana yang sebelumnya tertutup oleh gletser dan kini hanya menyisakan bongkahan-bongkahan es kecil mengapung.

Sekuel dokumenter dengan budget satu juta Dolar AS yang disutradarai Bonni Cohen dan Jon Shenk ini lantas menyuguhkan pula berbagai jenis bencana alam yang kini kian kerap melanda bumi. Gelombang panas yang melanda India dan menewaskan 1.200 jiwa di Pakistan di 2015, hingga Topan Haiyan yang mengempas Tacloban, Filipina, dan menghilangkan nyawa ribuan orang pada 2013.

Animasi tentang luapan banjir yang menjangkau hingga "Ground Zero", lokasi bekas berdirinya gedung WTC di New York, Amerika Serikat (AS), yang ada di film terdahulu dan sempat dicemooh sejumlah kalangan dianggap berlebihan kini tergambarkan nyata di dalam "An Inconvenient Sequel: Truth of Power".

Al Gore mengeluh, bagian bawah celana jeans yang dikenakannya mendatangi lokasi genangan di Miami Beach, pesisir timur AS yang terkena pasang air laut di 2013 tetap basah meski dirinya sudah memakai sepatu boots. Pompa-pompa air berfungsi, namun tidak mampu mengembalikan air laut ke asalnya.

Tanggul setinggi 30 centimeter (cm) yang dibangun sebelumnya jelas tidak mampu menahan peningkatan air laut di sana.

Tidak ada cara lain, harus lebih banyak lagi pihak yang terlibat aksi pengendalian perubahan iklim, karenanya mantan Wakil Presiden AS ini mendatangi Menteri Negara untuk Listrik, Batubara, Energi Baru Terbarukan, dan Pertambangan India, Shri Piyush Goyal. Dirinya mendorong Pemerintah India untuk mulai menggunakan energi bersih dan meninggalkan bahan bakar fosil.

Kunjungan tersebut tidak membuahkan hasil. Menteri Piyush Goyal dengan tegas mengatakan India perlu berkembang dan energi menjadi kebutuhan krusial yang harus dipenuhi, sehingga dengan anggaran yang ada rasanya tidak mungkin AS menyuruh begitu saja mengganti ratusan pembangkit listrik tenaga uap dengan batubara yang akan dibangun ke penggunaan sumber energi bersih yang masih mahal.

Kondisi ini tetap sama sampai pelaksanaan Conference of Parties (COP) 21 Paris. Saat China menyerukan komitmen memperbanyak pembangkit listrik dengan energi bersih dan mengurangi penggunaan batubara, India masih pada pendirian yang sama, mereka butuh solusi lebih visioner untuk dengan segera meninggalkan energi fosil.

Berhari-hari perundingan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Paris berjalan alot dan melelahkan. Tidak ingin momen penting konferensi ini gagal, Al Gore kembali mencoba meyakinkan Pemerintah India untuk mau lebih menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan menggunakan energi terbarukan.

Tampak mantan senator asal Tennessee ini mencoba mencari solusi dengan mengontak langsung pimpinan SolarCity Corporation, penyedia teknologi solar panel yang bermarkas di San Mateo, California, di sela-sela perundingan alot COP 21, untuk meminta mereka melakukan transfer teknologi panel surya kepada India. Dalam film diceritakan transfer teknologi kepada India ini yang menjadi pemecah kebuntuan dalam konferensi, yang akhirnya menghasilkan Kesepakatan Paris atau yang dikenal Paris Agreement.

Namun satu tahun pascapenandatanganan Kesepakatan Paris di New York, kabar yang tidak mengenakkan datang, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan mundur dari kesepakatan. Suasana dalam film langsung terasa muram.

    
              Mengajak Akar Rumput
Film sekuel ini terasa berbeda dengan film perdananya di 2006, yang menghantarkan Al Gore meraih hadiah Nobel Perdamaian di 2007. An Inconvenient Truth dengan animasinya, fakta datanya, serta potongan-potongan video bencana, emisi dari industri terasa menghentak penonton yang kemudian memaksa mereka "mengakui" bahwa ada yang salah dengan bumi yang sedang dihuninya.

Bagi mereka yang sudah menonton film pertama tentu akan merasa kehilangan gereget di film kedua. Namun boleh jadi ini karena mereka yang melihat sekuel film ini sudah memiliki dasar pengetahuan mengenai perubahan iklim hingga dampaknya, ditambah lagi infomasi terkait perubahan iklim yang semakin banyak dan mudah ditemui di media massa maupun media sosial.

Film dokumenter ini lebih menceritakan pemeran utamanya, yakni Al Gore, yang digambarkan berperan besar di tengah kebuntuan dalam perundingan-perundingan mencapai Kesepakatan Paris di 2015.

Film ini kembali menempatkan Wakil Presiden ke-45 AS ini menjadi tokoh penting dalam upaya membujuk Donald Trump untuk membuat Amerika tetap pada komitmennya terhadap Kesepakatan Paris. Namun pada akhirnya toh Amerika mundur dari kesepakatan tersebut.

Pada akhirnya film ini menjadi media untuk memberikan semangat, sekaligus semacam pernyataan bahwa pengendalian iklim tidak melulu bergantung pada keputusan pemimpin negara melainkan penduduk bumi secara keseluruhan.

Justru di saat Donald Trump mundur, gerakan-gerakan mitigasi dan adaptasi mulai nyata bermunculan. China menghasilkan 21.000 Mega Watt energi bersih, India sudah memangkas rencana pembangunan ratusan pembangkit listrik batubara dan menggantikannya dengan panel surya.

Pembina Climate Reality Indonesia Kartini Sjahrir mengatakan film "An Inconvenient Sequel: Truth to Power" setelah film pertama di 2006 berisi dokumentasi yang meyakinkan bumi menghadapi krisis perubahan iklim, maka kali ini film datang dengan solusi.

"Mudah-mudahan setelah nonton film semua punya solusi untuk berbuat, sesuai dengan kesepakatan kita di Kesepakatan Paris," ujar Kartini.

Sementara itu, Manager The Climate Reality Project Indonesia Amanda Katili Niode mengatakan pemutaran film ini merupakan momen unik untuk mengumpulkan tekan dan jaringan, serta meminta mereka untuk membantu meyakinkan semua kalangan bahwa krisis iklim adalah isu yang harus diperhatikan saat ini dan masa mendatang.

Karena itu pula, ia mengatakan The Climate Reality Project Indonesia mengimbau BUMN dan sektor swasta ikut menggelar pemutaran film yang digagas oleh Al Gore sebagai pendiri The Climate Reality Project ini untuk karyawannya, relasi, mahasiswa di berbagai kota di Indonesia. Selain juga membagikan buku dengan judul yang sama untuk pemangku kepentingan, terutama perpustakaan berbagai universitas di seluruh Indonesia.

Jika pada film "An Inconvenient Truth" yang diproduksi di 2006, Al Gore berhasil meyakinkan masyarakat global perihal pemanasan global nyata dan penyebab utamanya adalah manusia, maka di film sekuelnya yang diputar di beberapa bioskop mulai 25 Agustus 2017 ini lebih berupaya membangkitkan semangat mulai dari akar rumput hingga sektor swasta berperan langsung mengendalikan perubahan iklim, terutama mendorong melakukan revolusi energi.