Konsultan: Mal harus beradaptasi dengan generasi milenial

id mal, belanja online, perubahan, Colliers International, pusat perbelanjaan, pengunjung, entertainment

Konsultan: Mal harus beradaptasi dengan generasi milenial

Dokumentasi- Acara promosi produk di salah satu Mall di Palembang. (Antarasumsel.com/Feny Selly/Ag/17)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Konsultan properti Colliers International menyatakan, pihak pengelola mal atau pusat perbelanjaan harus beradaptasi dengan perilaku generasi milenial sebagai salah satu potensi konsumen terbesar saat ini.

"Peritel mesti berevolusi ke 'life style' (gaya hidup) dan 'entertainment' (hiburan), karena kebanyakan saat ini adalah generasi 'digital-minded'," kata Senior Associate Director Retail Services Colliers International Indonesia, Steve Sudijanto, Selasa.

Karena itu, ujar dia, saat ini banyak pengelola mal yang melakukan renovasi dalam rangka memuaskan keinginan para pengunjungnya.

Di tingkat global, Steve mencontohkan peritel pakaian Uniqlo di Jepang yang telah menjual produknya melalui 'vending machine' (mesin otomat), atau di Inggris yang memiliki kompleks "container park" di mana seluruh toko yang ada di kawasan itu terdiri atas kontainer.

Ia mengingatkan bahwa "nyawa"-nya mal adalah pengunjung, tetapi tidak hanya berdasarkan jumlah pengunjungnya yang banyak, tetapi juga dengan banyaknya pengunjung yang berbelanja di mal tersebut.

Sebelumnya, pengembang apartemen Green Pramuka menyatakan kinerja mal di Jakarta yang mengalami tren kecenderungan jumlah pengunjung sebenarnya bukan terkait daya beli tetapi akibat kesalahan strategi pengembang properti.
    
"Kami sudah melihat itu sejak delapan tahun yang lalu. Saat itu, pada tahun 2010 jumlah pusat perbelanjaan atau mal yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih atau setara lahan seluas 4 juta meter persegi. Melebihi batas ideal mal dan jumlah penduduk,"ber kata Marketing Director Green Pramuka City Jeffry Yamin.

Menurut dia, hal tersebut juga direpotkan dengan sejumlah pengembang yang justru terus membangun mal.

Hal tersebut, lanjutnya, juga membuat Pemprov DKI bahkan sampai mengeluarkan pembatasan pembangunan mal dengan mengeluarkan instruksi gubernur pada tanggal 20 Oktober 2011.

Ia berpendapat bahwa potensi pengembangan mal saat itu disebabkan karena kecenderungan masyarakat Jakarta yang kerap menjadikan pusat perbelanjaan sebagai obat stres.

"Bahkan ada data rata-rata orang Jakarta, mayoritas perempuan, menghabiskan sekitar tiga jam setiap kali mengunjungi mall," katanya.

Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, pembangunan pusat perbelanjaan terus berjalan di berbagai daerah di wilayah ibu kota.

Diketahui bahwa sampai tahun 2013 terdapat 564 pusat perbelanjaan di Jakarta dengan jumlah terbanyak terdapat di area CBD (Central Business District).

"Sayangnya, para pengembang mengabaikan tren yang sedang terjadi pada masyarakat yang tinggal di megapolitan di negara-negara lain. Itu kalau Anda buka data, di negara Amerika Serikat sejak tahun 2010 sejumlah mal raksasa mulai sepi, beberapa malah tutup," tuturnya.

Menurut Jeffry, saat itu pengembang mal di AS ramai-ramai menuding belanja daring sebagai biang keladi sepinya mal, padahal tidak disadari bahwa hal itu karena jumlah mal yang terlalu banyak.