"Sepertinya kita tidak bisa mencegah kepunahan gajah di Bengkulu. Hanya
bisa memperlambat," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA) Bengkulu-Lampung Abu Bakar Cekmat.
Pernyataan itu menggambarkan suramnya masa depan satwa langka
dilindungi gajah Sumatera (Elephas maximus Sumatranus) di wilayah
Provinsi Bengkulu.
Data, kata Abu, menunjukkan populasi satwa berbelalai panjang
tersebut terus menyusut. Diperkirakan tersisa 70 individu gajah liar
yang hidup berkelompok dan terpisah.
Penyusutan populasi dikarenakan perburuan liar untuk perdagangan
bagian tubuh gajah, konflik yang tinggi antara manusia, pihak perkebunan
dan gajah serta habitat yang terfragmentasi akibat alih fungsi lahan
untuk berbagai kepentingan.
Abu mengatakan saat ini kelompok-kelompok kecil gajah
"terperangkap" dalam kantong-kantong habitat yang rentan terhadap
gangguan. Kondisi ini dikhawatirkan semakin mempercepat kepunahan gajah
sebab potensi konflik semakin tinggi.
Tidak hanya potensi konflik, gajah yang hidup berkelompok dan tidak
bisa bertemu dengan kawanan lain membuat potensi perkawinan sekerabat
atau "inbreeding" semakin tinggi.
Perkawinan sekerabat diketahui bisa menurunkan fungsi genetik sehingga dikhawatirkan mempercepat kepunahan satwa tersebut.
Bila tak ada upaya nyata, kepunahan satwa kunci itu tak bisa
dihindarkan, kata Abu dalam rapat koordinasi pembentukan koridor gajah
yang digelar di Bengkulu, Rabu (18/10).
Ekosistem Esensial
Ancaman terhadap kelestarian gajah Sumatera ini pun
melatarbelakangi inisiatif para pihak membentuk koridor gajah Sumatera
di Bengkulu. Koridor itu berupa kawasan ekosistem esensial yang
berfungsi menyambung habitat yang terfragmentasi akibat alih fungsi
lahan untuk berbagai kepentingan.
Diskusi pertama telah digelar pada September 2017 yang menyepakati
pembentukan tim percepatan inisiasi koridor gajah Sumatera. Dikusi kedua
menyepakati pembentukan Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem
Esensial Koridor Gajah Sumatera di Lansekap Seblat, Bengkulu.
Sejumlah pihak yang terlibat dalam forum antara lain Akar Network,
gabungan delapan lembaga yang berkerja di sekitar Taman Nasional Kerinci
Seblat (TNKS), Balai Besar TNKS, Jurusan Kehutanan Universitas
Bengkulu, The Wildlife Conservation Society - Indonesia Program
(WCS-IP), perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Anglo Eastern
Plantations (AEP), dan perusahaan hak pengusahaan hutan PT Anugerah
Pratama Inspirasi (API).
Dosen Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu (Unib) Gunggung
Senoaji mengatakan koridor gajah di lansekap Seblat sangat mendesak
dalam upaya menyelamatkan gajah Sumatera yang tersisa di Provinsi
Bengkulu.
Koridor ini, katanya, akan menjadi penyambung atau re-koneksi habitat alami gajah yang telah terputus.
Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) adalah ekosistem di luar kawasan
hutan konservasi yang secara ekologis penting bagi konservasi
keanekaragaman hayati yang mencakup ekosistem alami dan buatan yang
berada di dalam dan di luar kawasan hutan.
Dikenal beberapa tipe KEE, antara lain tipe ekologis penting atau
nilai konservasi tinggi di dalamnya, termasuk kawasan mangrove, karst,
gambut dan perairan darat/lahan basah (danau, sungai, rawa, payau, dan
wilayah pasang surut yang tidak lebih dari 6 meter), tipe lansekap di
dalamnya termasuk habitat endemik dan lintasan satwa liar dan tipe
pencadangan sumberdaya alam didalamnya termasuk taman keanekaragaman
hayati (Kehati).
Ketua Program Studi Lingkungan (PSL) Unib ini mencontohkan kawasan
Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara, yang merupakan
habitat alami gajah Sumatera telah kehilangan gajah liarnya dalam
beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, jalur migrasi gajah telah
terputus.
Akibatnya, gajah liar yang keluar dari TWA Seblat menuju Hutan
Produksi Air Rami tidak dapat kembali lagi ke kawasan konservasi itu
karena terhalang hamparan kebun sawit milik PT Agro Alno Utama.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bengkulu Agus
Priambudi mengatakan koridor gajah yang diusulkan membentang dari TWA
Seblat di mana terdapat Pusat Latihan Gajah Seblat hingga Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) seluas 29 ribu hektare.
Selain hutan konservasi TWA dan TNKS, beberapa kawasan hutan di
wilayah Bengkulu Utara dan Mukomuko yang dicadangkan untuk koridor itu
antara lain hutan produksi Air Ipuh dan Air Rami, hutan produksi
terbatas Lebong Kandis, dan sedikit area hak guna usaha perkebunan
swasta dan konsesi hak pengusahaan hutan.
Untuk hutan non-konservasi, katanya, ada Kesatuan Pengelolaan Hutan
yang jadi pemangku di tapak, mereka akan membuat zonasi kawasan.
Kasubdit Koridor dan Areal Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT) Dirjen
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Mirawati Soedjono mengatakan KEE penting
untuk perlindungan dan kelestarian gajah sumatera.
Sebab fakta di lapangan, katanya, 80 persen satwa lindung berada di
luar kawasan konservasi, ini yang menjadi dasar membentuk KEE.
Ia mencontohkan KEE Koridor Orangutan di bentang alam Wehea Kelay
Kalimantan Timur yang dikelola forum kolaborasi antara pemerintah
daerah, lembaga non-pemerintah, akademisi, masyarakat dan pihak swasta.
Dalam jangka panjang kata Mirawati perlu dianalisis pembentukan
koridor gajah di bentang alam Bukit Barisan mulai dari Provinsi Aceh
hingga Lampung.
Bila terbentuk, KEE koridor gajah Bentang Seblat ini menurut dia
akan menjadi koridor gajah pertama dan percontohan di Pulau Sumatera.
Komitmen Parapihak
Berdasarkan data yang dikumpulkan anggota Forum Konservasi Gajah
Indonesia (FKGI), habitat gajah di Indonesia terus mengalami penyusutan.
Dalam lima tahun terakhir, dari 56 habitat gajah, 11 habitat dalam
kondisi kritis, dua habitat dalam kondisi diambang kritis, dan 13
habitat gajah telah hilang.
Sementara data yang dihimpun FKGI di Pulau Sumatera tercatat ada
1.700 individu gajah di alam. Penurunan populasi gajah di alam
diakibatkan hilangnya habitat alami gajah, pembunuhan serta perburuan
bagian-bagian tubuh gajah, konflik sumber daya antara manusia dengan
gajah.
Koordinator Akar Network Ali Akbar menilai pembentukan koridor
tersebut tidak cukup sebatas dokumen dan surat keputusan, tapi lebih
pada tanggung jawab moral dan komitmen semua pihak, termasuk dunia usaha
untuk melestarikan gajah.
Ia mencontohkan PT Agro Alno Utama yang masuk dalam grup PT Anglo
Eastern Plantations (AEP) pemilik perkebunan kelapa sawit dan PT API
pemilik konsesi hak pengusahaan hutan yang berdampingan langsung dengan
habitat gajah di TWA Seblat.
Pertanyaannya adalah, kata dia, apakah para pihak ini sepaham untuk melestarikan gajah? Itu menjadi pertanyaan kunci.
Menurut dia, lansekap Seblat tidak hanya menjadi habitat gajah,
tapi juga hutan yang menyimpan keanekaragaman hayati, penyangga
kehidupan. Karena itu, keterlibatan masyarakat yang hidup berdampingan
dengan habitat gajah menjadi keharusan.
General Manajer PT Anglo Eastern Plantations wilayah Sumatera
bagian Selatan, Ali Nasir Purba mengatakan selama ini konflik dengan
gajah ditangani dengan berbagai cara antara lain membangun parit
pembatas kebun dan kawasan serta membuat pos penghalau gajah di
perbatasan kebun.
Dalam pemaparannya saat rapat koordinasi pembentukan forum
kolaborasi, Nasir mengatakan gajah merupakan salah satu "hama" bagi
usaha perkebunan. Sesuai dengan prinsip "Indonesian Sustainable Palm Oil
System" (ISPO), pihak perusahaan sudah membuat sistem pengendalian hama
terpadu.
Menanggapi hal ini, Firdaus Rahman dari WCS-IP meminta perusahaan
mengubah cara pandang pihak swasta yang menyebut gajah sebagai hama.
Gajah itu, kata dia, satwa kunci yang tinggal selangkah lagi akan
punah. Pernyataan gajah sebagai hama sangat kontraproduktif dengan upaya
pemerintah dan dunia internasional melestarikan satwa ini.
Gajah Sumatera adalah mamalia darat terbesar di bumi yang merupakan
sub-spesies gajah asia yang hanya hidup di Pulau Sumatera.
Penyusutan populasi satwa itu membuat "International Union for
Conservation of Nature" (IUCN) mengganjarnya dengan status Critically
Endangered yang menandakan selangkah lagi akan punah jika tidak ada
upaya serius dalam menanganinya.
Urgensi koridor gajah sumatera di bentang seblat
....Penyusutan populasi dikarenakan perburuan liar untuk perdagangan bagian tubuh gajah, konflik yang tinggi antara manusia, pihak perkebunan dan gajah serta habitat yang terfragmentasi akibat alih fungsi lahan....